[caption id="attachment_399617" align="aligncenter" width="300" caption="http://ts1.mm.bing.net/th?id=HN.608022423038396596&pid=15.1&P=0"][/caption]
Menanggapi perlakuan emosional mirip anak-anak terhadap calon dubes Indonesia untuk Brazilia Jumat lalu, Presiden Jokowi menilai hal tersebut sebagai salah satu peristiwa amat berat karena seperti moncoreng wajah dan runtuhnya harga diri bangsa.
Rutuhnya harga diri bangsa Indonesia yang terlihat sekarang ini di mata kawan dan (apalagi) lawan sesungguhnya TIDAK terjadi dengan instan. Tidak juga semata-mata akibat proses eksekusi mati secara massal terhadap sejumlah warga asing dalam putusan mati presiden terkait mafia narkoba.
Lihat beberapa fenomena dalam serangkaian peristiwa yang terasa "menampar" harga diri bangsa dalam sejumlah peristiwa penting sebagai berikut:
- Pembentukan organisasi milisi perlawanan Fretelin oleh Portugal di Timor Larosae atau Timor Timur (kini Timor Leste) sejak 1960 dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hampir 3 dekade lamanya dan organisasi perlawanan lainnya, memperlihatkan lemahnya kewibawaan pemerintah.
- Penyiksaan menjurus pada kematian yang dialami sejumlah tenaga kerja Indonesia di sejumlah negara memperlihatkan rendahnya pengakuan bangsa kita oleh sejumlah tuan yang mempekerjakan bangsa Indonesia.
- Persoalan tapal batas dengan Malaysia tidak memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Status Quo memang diharapkan oleh Malaysia sambil mengintip saat yang tepat.
- Investor asing yang menanam modal di Tanah Air memberikan batasan syarat yang agak berat dengan menunggangi isu keamanan sehingga kesannya mendikte kebijakan pemerintah dalam kebijakan tersebut.
- Penyelundupan nelayan asing ke perairan Indonesia sebelum ditingkatkan pengawalan selama pemerintahan Jokowi marak terjadi dan masih terjadi hingga saat ini, memperlihatkan tidak gentarnya nelayan asing masuk perairan Indonesia.
- Penyusupan pesawat udara asing dalam kapasitas black fligt semakin marak terjadi, memperlihatkan tidak gentarnya negara asing dengan ancaman hukum yang berlaku di Indonesia.
- Penyelundupan narkoba dari negara-negara tetangga tak urung membuat kapok dan jera mafia narkoba internasional memperlihatkan adanya dugaan hukuman gertak sambal yang diterapkan pemerintah Indonesia.
- Penyelundupan minyak dan gas oleh mafia Migas di tengah perairan Indonesia marak terjadi dan belum tuntas dijalankan menandakan semua urusan bisa diatur di Indonesia.
- Izin bermukim warga asing di Indonesia mudah dimanfaatkan oleh warga asing untuk berbagai kepentingan dengan menyulap sistem dan persyaratan administrasi ketat menjadi sangat mudah dan menjurus gampang.
- Negosiasi kerjasama antarnegara tidak menguntungkan Indonesia, bahkan cenderung dijahilin saat mengacu pada pasal dan detail penjelasannya seperti barter Gas Tangguh ke Cina dan lainnya.
- Sebagian besar bangsa Indonesia dicap tidak disiplin dan tidak taat aturan. Sikap tersebut terbawa-bawa ke mana-mana menjadi kebiasaan, bahkan ketika berkunjung ke negeri orang pun sikap itu tak mampu diredam, terlebih lagi ketika telah berkumpul lebih dari beberapa orang, suasana pun mirip dengan di Tanah Air.
- Pernyataan Tony Abbot, Perdana Menteri Australia menjurus emosional dan irasional mengaitkan bantuan tsunamai Indonesia dengan penerapan hukuman mati napi narkoba Australia menandakan gambaran enteng Tony Abbot terhadap pemerintah Indonesia.
- Terkini, penolakan penerimaan nota kepercayaan dubes Indonesia untuk Brazil bernuansa kekanak-kanakan memperlihatkan Indonesia tak ubahnya sekelompok umat manusia yang berkasta jongos ketimbang teman yang setara dan seimbang di atas muka bumi. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.
Di atas adalah sejumlah fakta kasus khusus dan umum runtuhnya harga diri bangsa Indonesia di mata kawan dan lawan. Dan situasi tersebut tidak terjadi secara instan melainkan telah berproses dan terakumulasi dari tahun ke tahun hingga berbilang dekade dan menjelma menjadi bangsa yang dianggap enteng oleh kawan dan lawan.
Tidak heran, Tony Abbot menjadi seperti kekanak-kanakan. Tak kaget juga melihat Dilma Vana Rousseff bibirnya semakin maju (monyong) saat menolak menerima dubes Indonesia untuk Brazil. Dan tidak perlu kebakaran jenggot saat diplomasi kita di pentas internasional mirip hadirnya wajah-wajah polos yang lebih sering terpana ketimbang memahami duduk persoalan dalam agenda materi diplomasi tersebut.
Oleh karenanya pantaskah kita menjerit-jerit kesakitan saat harga diri tersebut merasa terinjak setiap saat oleh miliaran bangsa lainnya di sejumlah di negara di atas bumi ini - pertanda jati diri, harga diri, martabad atau sejenis kata lain yang identik dengan indikator nasionalisme- masih bergerak-gerak (tanda hidup) di dalam jiwa bangsa Indonesia?
Nasionalisme itu senantiasa TIDAK harus indentik dengan emosional, protes dan demonstrasi? Itu adalah salah satu alat dari sejumlah alat yang lazim digunakan selama ini. Ada sebuah alat lain yang jarang digunakan, yaitu Introspeksi ke dalam.
Dalam kaitan instropeksi ke dalam itulah tulisan ini diangkat dengan judul di atas. Mari kita lihat performa bangsa kita dan apa yang menyebabkan sejumlah teman dan lawan kesannya tidak menghargai bangsa yang memiliki wilayah yang luas, penduduk yang berlimpah dan kemampuan militer yang disegani dunia ini.
Mengapa bangsa yang telah pahit dijajah ratusan tahun di seluruh Nusantara ini sekarang menjelma menjadi bangsa yang tidak dianggap penting oleh bangsa lain? Bodohkah kita atau hanya sampah pengisi dunia ini?
Tentu tidak, karena masih ada sejumlah orang yang diakui di pentas dunia di berbagai bidang sosial, pendidikan, politik, kesehatan, ekonomi, industri, perdagangan, budaya, agama, olahraga dan lainnya. Tapi jumlah itu tidak signifikan jumlahnya sehingga tidak mampu mencegah stigma subordinasi atas bangsa kita oleh bangsa atau negara lain.