Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ini yang Bikin Abbot, Dilma, dan Lainnya seperti Kekanakan

26 Februari 2015   17:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:28 1909
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_399617" align="aligncenter" width="300" caption="http://ts1.mm.bing.net/th?id=HN.608022423038396596&pid=15.1&P=0"][/caption]

Menanggapi perlakuan emosional mirip anak-anak terhadap calon dubes Indonesia untuk Brazilia Jumat lalu, Presiden Jokowi menilai hal tersebut sebagai salah satu peristiwa amat berat karena seperti moncoreng wajah dan runtuhnya harga diri bangsa.

Rutuhnya harga diri bangsa Indonesia yang terlihat sekarang ini di mata kawan dan (apalagi) lawan sesungguhnya TIDAK terjadi dengan instan. Tidak juga semata-mata akibat proses eksekusi mati secara massal terhadap sejumlah warga asing dalam putusan mati presiden terkait mafia narkoba.

Lihat beberapa fenomena dalam serangkaian peristiwa yang terasa "menampar" harga diri bangsa dalam sejumlah peristiwa penting sebagai berikut:

  1. Pembentukan organisasi milisi perlawanan Fretelin oleh Portugal di Timor Larosae atau Timor Timur (kini Timor Leste) sejak 1960 dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hampir 3 dekade lamanya dan organisasi perlawanan lainnya, memperlihatkan lemahnya kewibawaan pemerintah.
  2. Penyiksaan menjurus pada kematian yang dialami sejumlah tenaga kerja Indonesia di sejumlah negara memperlihatkan rendahnya pengakuan bangsa kita oleh sejumlah tuan yang mempekerjakan bangsa Indonesia.
  3. Persoalan tapal batas dengan Malaysia tidak memperlihatkan perkembangan yang signifikan. Status Quo memang diharapkan oleh Malaysia sambil mengintip saat yang tepat.
  4. Investor asing yang menanam modal di Tanah Air memberikan batasan syarat yang agak berat dengan menunggangi isu keamanan sehingga kesannya mendikte kebijakan pemerintah dalam kebijakan tersebut.
  5. Penyelundupan nelayan asing ke perairan Indonesia sebelum ditingkatkan pengawalan selama pemerintahan Jokowi marak terjadi dan masih terjadi hingga saat ini, memperlihatkan tidak gentarnya nelayan asing masuk perairan Indonesia.
  6. Penyusupan pesawat udara asing dalam kapasitas black fligt semakin marak terjadi, memperlihatkan tidak gentarnya negara asing dengan ancaman hukum yang berlaku di Indonesia.
  7. Penyelundupan narkoba dari negara-negara tetangga tak urung membuat kapok dan jera mafia narkoba internasional memperlihatkan adanya dugaan hukuman gertak sambal yang diterapkan pemerintah Indonesia.
  8. Penyelundupan minyak dan gas oleh mafia Migas di tengah perairan Indonesia marak terjadi dan belum tuntas dijalankan menandakan semua urusan bisa diatur di Indonesia.
  9. Izin bermukim warga asing di Indonesia mudah dimanfaatkan oleh warga asing untuk berbagai kepentingan dengan menyulap sistem dan persyaratan administrasi ketat menjadi  sangat mudah dan menjurus gampang.
  10. Negosiasi kerjasama antarnegara tidak menguntungkan Indonesia, bahkan cenderung dijahilin saat mengacu pada pasal dan detail penjelasannya seperti barter Gas Tangguh ke Cina dan lainnya.
  11. Sebagian besar bangsa Indonesia dicap tidak disiplin dan tidak taat aturan. Sikap tersebut terbawa-bawa ke mana-mana menjadi kebiasaan, bahkan ketika berkunjung ke negeri orang pun sikap itu tak mampu diredam, terlebih lagi ketika telah berkumpul lebih dari beberapa orang, suasana pun mirip dengan di Tanah Air.
  12. Pernyataan Tony Abbot, Perdana Menteri Australia menjurus emosional dan irasional mengaitkan bantuan tsunamai Indonesia dengan penerapan hukuman mati napi narkoba Australia menandakan gambaran enteng Tony Abbot terhadap pemerintah Indonesia.
  13. Terkini, penolakan penerimaan nota kepercayaan dubes Indonesia untuk Brazil bernuansa kekanak-kanakan memperlihatkan Indonesia tak ubahnya sekelompok umat manusia yang berkasta jongos ketimbang teman yang setara dan seimbang di atas muka bumi. Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Di atas adalah sejumlah fakta kasus khusus dan umum runtuhnya harga diri bangsa Indonesia di mata kawan dan lawan. Dan situasi tersebut tidak terjadi secara instan melainkan telah berproses dan terakumulasi dari tahun ke tahun hingga berbilang dekade dan menjelma menjadi bangsa yang dianggap enteng oleh kawan dan lawan.

Tidak heran, Tony Abbot menjadi seperti kekanak-kanakan. Tak kaget juga melihat Dilma Vana Rousseff bibirnya semakin maju (monyong) saat menolak menerima dubes Indonesia untuk Brazil. Dan tidak perlu kebakaran jenggot saat diplomasi kita di pentas internasional mirip hadirnya wajah-wajah polos yang lebih sering terpana ketimbang memahami duduk persoalan dalam agenda materi diplomasi tersebut.

Oleh karenanya pantaskah kita menjerit-jerit kesakitan saat harga diri tersebut merasa terinjak setiap saat oleh miliaran bangsa lainnya di sejumlah di negara di atas bumi ini - pertanda jati diri, harga diri, martabad atau sejenis kata lain yang identik dengan indikator nasionalisme- masih bergerak-gerak (tanda hidup) di dalam jiwa bangsa Indonesia?

Nasionalisme itu senantiasa TIDAK harus indentik dengan emosional, protes dan demonstrasi? Itu adalah salah satu alat dari sejumlah alat yang lazim digunakan selama ini. Ada sebuah alat lain yang jarang digunakan, yaitu Introspeksi ke dalam.

Dalam kaitan instropeksi ke dalam itulah tulisan ini diangkat dengan judul di atas. Mari kita lihat performa bangsa kita dan apa yang menyebabkan sejumlah teman dan lawan kesannya tidak menghargai bangsa yang memiliki wilayah yang luas, penduduk yang berlimpah dan kemampuan militer yang disegani dunia ini.

Mengapa bangsa yang telah pahit dijajah ratusan tahun di seluruh Nusantara ini sekarang menjelma menjadi bangsa yang tidak dianggap penting oleh bangsa lain? Bodohkah kita atau hanya sampah pengisi dunia ini?

Tentu tidak, karena masih ada sejumlah orang yang diakui di pentas dunia di berbagai bidang sosial, pendidikan, politik, kesehatan, ekonomi, industri, perdagangan, budaya, agama, olahraga dan lainnya. Tapi jumlah itu tidak signifikan jumlahnya sehingga tidak mampu mencegah stigma subordinasi atas bangsa kita oleh bangsa atau negara lain.

Lalu apa yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan harga diri bangsa kita kembali? Berikut yang harus sama-sama kita jalankan dan lakukan segera:

  • Disiplin dalam setiap sendi kehidupan dan bersosial harus dijalankan
  • Taat aturan dan hukum tanpa merasa dijadikan obyek oleh hukum
  • Aparatur negara harus menjadi contoh teladan bagi berlakunya hukum dan aturan serta disiplin di Tanah Air. Perseteruan antara Polri- KPK dan perselisihan oknum TNI  Polri serta terjebaknya sejumlah Jaksa dan Hakim dalam kasus pidana serta performa kontra produktif sejumlah anggota DPR selama ini ikut andil meruntuhkan moral dan jati diri bangsa Indonesia di mata internasional.
  • Nasionalisme harus ditumbuh kembangkan kembali dari sekolah dasar hingga universitas. Sejumlah pegawai negeri dan BUMN harus ditata kembali format wawasan kebangsaannya melalui kursus secara bertahap dan bergelombang selama dua kali dalam setahun dan berlaku 3 tahun berturut-turut misalnya.
  • Alokasi anggaran belanja negara untuk semuak sektor pasti penting. Akan tetapi, pengalokasian dana untuk pertahanan dan keamanan serta pendidikan harus mendapat skala prioritas utama dalam anggaran belanja negara. Tanpa memperlihatkan semangat pada kedua sektor tersebut jangan heran jika topik nasionalisme hanya menjadi bahan tertawaan dan olok-olok oleh bangsa sendiri.
  • Sekolah harus memenuhi syarat. Tak dapat dipungkiri masih banyak yang tidak layak belajar. Tidak hanya di desa pedalaman, di Kota Jakarta pun masih ditemukan sekolah yang tidak layak meski alasannya klise, sementara dan sebagainya. Kesannya seperti belajar di negara belum merdeka, tidak memenuhi syarat. Padahal regulasi dan biaya serta pakar -yang katanya ahli-ahli bertaraf dunia- tidak habis-habisnya dikucurkan untuk membuat kebijakan yang berujung nihil alias sia-sia walau tidak seluruhnya. [caption id="" align="alignnone" width="259" caption="https://alfido.files.wordpress.com/2014/11/wpid-s6001653.jpg?w=460"]
    https://alfido.files.wordpress.com/2014/11/wpid-s6001653.jpg?w=460
    https://alfido.files.wordpress.com/2014/11/wpid-s6001653.jpg?w=460
    [/caption]

Atas sejumlah rangkaian peristiwa anjiloknya harga diri bangsa dan kondisi realita apa yang terjadi sejak beberapa dekade silam sampai saat ini, tak heran memang kawan dan lawan Indonesia di sejumlah negara dan bangsa lain memosisikan kita sebagai bangsa yang polos dan lugu dan pantas untuk dibodoh-bodohi ketimbang dijadikan sebagai sahabat yang mengagumkan dan patut dijaga hubungannya agar silaturrahmi semakin mesra, bukan?

Mari kita periksa, masih "begerak-gerak" kah (tanda hidup) nasionalisme kita? hehehehhe

Salam Kompasiana

abanggeutanyo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun