Wilsenach tak hilang akal. Bekerja sama dengan pemerintah lokal, dia akan memasang “NoMix” di tempat-tempat umum: di blok perkantoran, sekolah, mal, dan bandara. Di area publik itu urin melimpah ruah, dan selama ini terbuang percuma. Dari situlah terbuka lebar untuk memproduksi energi alternatif dari urin jadi terbuka lebar.
Amerika Serikat
Diam-diam, teknologi ini tak hanya dikembangkan di Belanda, tapi juga di sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, Meksiko, dan Skotlandia.
Di Amerika Serikat, pelopornya adalah Profesor Gerardine Botte dari Universitas Ohio. Pada tahun 2009, ia melihat ada tiga kelemahan dalam bahan bakar fosil. Pertama, tidak bisa atau sulit diperbarui. Kedua, proses eksplorasinya butuh biaya besar. Dan ketiga, emisi gasnya terbukti menyebabkan peningkatan pemanasan global.
Dia juga melihat kelemahan bahan bakar hayati (bio-fuel). Sebab, di masa depan ini akan menyebabkan perebutan antara kebutuhan akan makanan dan bahan bakar.
Maka, dia pun melirik urin. Dia melihat kemungkinan urin menjadi sumber energi masa depan buat kendaraan berbahan bakar hidrogen.
Botte melihat urea adalah zat terbanyak di urin. Urea itu merupakan sumber potensial untuk dikonversi jadi hidrogen. Lantas, dia memanfaatkan teknologi elektrolit untuk menghasilkan hidrogen dari air seni. Setiap molekul urin mengandung empat atom hidrogen. Jumlah ini lebih banyak dibanding hidrogen yang dikandung air. Dalam perhitungannya, seperti dikutip wired.com, mengolah hydrogen dari urin lebih efisien biayanya ketimbang dari air. Listrik yang digunakan juga hanya 0,37 volt, sementara dari air memerlukan 1,23 volt.
Urin juga melimpah. Saban hari setiap orang mengeluarkan urin sebanyak 0,9 sampai 1,5 liter per hari. Kalikan saja dengan jumlah penduduk dunia yang berkisar 7 miliar. Dengan demikian, tersedia 7 miliar liter urin segar setiap hari untuk dikonversi menjadi hidrogen.
Kini, Botte tengah difasilitasi Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk membuat kendaraan tempur ringan berbahan bakar hidrogen dari urin. “Dengan demikian, tentara di lapangan bisa membawa BBM-nya sendiri,” kata Botte seperti dikutip Discovery News. Itu bukan guyonan, karena memang bisa jadi persoalan serius di medan perang yang sulit, seperti gurun atau hutan.
Inggris
Di negeri Big Ben, BBM-urin diteliti Dr. Ioannis Jeropoulos dan timnya dari Universitas West England, Bristol. Menurut The Guardian, dia telah mempublikasikan hasil risetnya di Journal of Physical Chemistry.
“Urin secara kimia sangat aktif, ” kata Dr. Jeropoulos. Menurut hitungan dia, tiap manusia memproduksi urin sebanyak 6,4 triliun liter urin per tahun. Jumlah itu lebih dari mencukupi untuk mensuplai teknologi Microbial Fuel Cell (MFC) atau sel bahan bakar mikroba yang tengah dia kembangkan.
Penelitiannya sudah berjalan tiga tahun. Dia menggunakan energi MFC dari urin untuk menggerakkan robot EcoBot III yang dia rancang bersama peneliti Bristol Robotics Laboratory. Dia melihat urin banyak mengandung nitrogen, urea, klorida, kalium dan bilirubin. Ini material yang sangat baik untuk sel bahan bakar mikroba. Menurut dia, 25 mililiter urin yang disuntikkan ke kotak anoda bisa menghasilkan daya 0,25 megawatt listrik–cukup untuk menyalakan alat bantu pendengaran selama tiga hari.
Meksiko
Diungkap Space Safety Magazine, Badan Luar Angkasa Meksiko pun rupanya tengah meneliti kegunaan urin untuk kepentingan penjelajahan luar angkasa. Penelitian itu dipimpin Prof. Gabriel Lunar Sandoral. Dia meneliti urin untuk menghasilkan hidrogen dan oksigen untuk dimanfaatkan di luar angkasa. Hidrogen bisa dijadikan bahan bakar pesawat luar angkasa, sementara oksigen—tentu saja–untuk bernafas. NASA sendiri sejauh ini baru mengolah urin menjadi air minum.
Skotlandia
Di negeri “Brave Heart”, penelitian air seni untuk menjadi pengganti BBM tengah dilakukan di Fakultas Teknik dan Ilmu Fisika Universitas Edinburgh. Dua orang doktor kimia di universitas itu, Shanwan Tao dan Rong Lan, mendapat hibah 130 ribu pounds untuk melakukan riset penting tersebut.
Indonesia
Lantas bagaimana di negeri yang riuh dengan soal harga BBM ini?
Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan Teknologi Pengembangan Sumber Daya Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Ir. Erlan Rosyadi M.Eng, garuk-garuk kepala. “Riset urin? Tidak pernah kita melakukan itu,” ujarnya kepada VIVA news.
Hal senada disampaikan Dr. Neni Sitawardani, peneliti fisika senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut dia, urin belum diteliti sebagai alternatif pengganti BBM.