Guru merupakan profesi yang penting bagi sebuah bangsa, tidak terkecuali Indonesia. Guru sendiri adalah seseorang yang mengajarkan ilmu dan mendidik orang lain (baca: murid) agar menjadi manusia yang baik dan berguna bagi kehidupan. Konon kata guru merupakan akronim dari kata "digugu" dan "ditiru". Terlepas benar tidaknya akrnomi tersebut, akan tetapi sesuai dengan peran guru itu sendiri. Jejak keberadaan guru di Indonesia dapat dilacak sejak periode Hindu-Buddha, Islam, kolonial, Jepang dan kemerdekaan.
Pada periode Hindu-Buddha dan Islam pendidikan tidak berlangsung melalui institusi formal, melainkan non-formal, dan berfokus pada pendidikan agama. Guru pada periode ini mayoritas adalah tokoh keagamaan, seperti Resi dan Kyai. Pendidikan dilakukan di padepokan atau pesantren prinadi milik para Resi atau Kyai.Â
Para murid memberikan penghormatan tinggi kepada para Resi dan Kyai karena kemampuan intelektual dan juga kharisma yang mereka miliki. Tidak ada institusi resmi yang mengatur proses pendidikan pada saat itu. Meski begitu karena kemampuan dan kharisma yang  dimiliki, tidak jarang jika mereka mendapatkan perhatian dari pihak kerajaan. Banyak dari guru pada periode ini yang juga menjadi penasihat raja, baik spiritual maupun kehidupan.
Pada masa kolonial terdapat perubah ruang lingkup seorang guru diperluas, dari hanya tokoh agama menjadi tenaga pengajar profesional yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan. Semula guru pada masa kolonial hanya berasal dari kalangan orang Eropa (Belanda atau negara Eropa lainnya) yang datang ke Hindia-Belanda. Akan tetapi seiring dengan perkembangan Hindia-Belanda kebutuhan akan guru semakin meningkat.Â
Dan untuk memenuhi kebutuhan tersebut pada 1834 dibentuklah Hogere Kweekschool sebagai sekolah guru di Hindia-Belanda. Pada periode ini pemerintah melalui lembaga pengawas, mengawasi setiap tindakan para guru. Pengawasan kian diperketat ketika Indonesia memasuki masa pergerakan nasional. Guru menjadi salah satu profesi yang diawasi pemerintah selain buruh pada saat itu.
Perang Asia Timur Raya yang dilakukan oleh Jepang berhasil menggulingkan pemerintahan Hindia-Belanda pada 1942. Pada periode ini pemerintah pendudukan Jepang menghapus sistem pendidikan gaya barat, digantikan dengan pendidikan yang bertujuan untuk keberlangsungan Perang.Â
Para guru dari kalangan Eropa dilarang untuk mengajar, bahkan mereka ditangkap dan dipenjara. Hal ini tidak dialami oleh guru dari kalangan pribumi yang justru dipekerjakan oleh pemerintah pendudukan Jepang. Kondisi ini terus berlangsung sampai Indonesia memperoleh kemerdekaannya pada 1945.Â
Guru pada periode Jepang berada di bawah pengawasan organisasi PUTERA dan menjadi alat untuk melakukan Jepangnisasi (Nipponize) khususnya untuk mengajarkan Hakko I Chiu. Seluruh guru dilatih di Jakarta dan kemudian dikembalikan ke setiap daerahnya masing-masing.
Pada masa awal kemerdekaan pemerintah RI tidak terlalu fokus pada pendidikan. Perhatian pemerintah pada saat itu lebih banyak terserap untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah didapatkan. Pada periode revolusi fisik 1945-1950 terjadi kelangkaan guru yang disebabkan banyaknya guru yang memilih terjun ke medan perang untuk mempertahankan kemerdekaan. Baru pada 1950 ketika Indonesia mendapatkan pengakuan kemerdekaan secara de jure upaya untuk menata dunia pendidikan, khususnya guru mulai dilakukan. Di tahun yang sama tercatat Indonesia hanya memiliki sekitar 20 ribua-an guru. Jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat itu.
Dalam rangka pemenuhan guru, pemerintah pada periode 1950-1959 melakukan beberapa upaya, diantaranya pembentukan Sekolah Guru (SG), kursus-kursus keguruan, dan lembaga pendidikan guru. Sekolah guru yang didirikan, antara lain SGB (Sekolah Guru Bawah) lama pendidikan 4 tahun; SGA lama pendidikan 3 tahun dan SGC lama pendidikan 1,5 tahun.Â
Dan kursus keguruan yang didirikan, antara lain Kurus Lisan Persamaan SGB (KLPSGB/KLPSGA) lama pendidikan 4 dan 2 tahun; dan Rukun Belajar Persamaan SGB/SGA (RBB/RBA). Pemerintah juga mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) sebagai lembaga tinggi yang menghasilkan guru. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya, akan tetapi pada kenyataannya masih terjadi kekurangan guru. Kehidupan guru pada periode ini juga tidak dapat dikatakan baik, karena mereka masih hidup serba kesullitan.
Pada periode Demokrasi Terpimpin 1959-1965 kebutuhan akan guru masih tinggi. Tingkat buta huruf Indonesia saat itu juga masih terbilang tinggi, sebesar 80%. Meskipun lembaga pendidikan guru telah banyak didirikan, akan tetapi belum dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan guru.Â
Saat itu telah dibentuk organisasi persatuan guru Indonesia (PGRI). Akan tetapi pada periode ini kondisi politik Indonesia sedang memanas lantaran persaingan politik yang terjadi di antara tiga kekuatan politik besar, PKI, TNI AD dan Sukarno. Kondisi tersebut ikut menyeret PGRI sebagai organisasi guru pada saat itu, dan membelahnya menjadi dua bagian, PGRI Vaksentral (pemerintah) dan non-Vaksentral (PKI). Peristiwa G30S juga berdampak pada nasib guru. Banyak para guru yang terindikasi dengan komunis yang ditangkap dan hilang. Hal ini membuat krisis guru di Indonesia semakin parah.
Pada periode Orde Baru upaya pemerintah untuk pengadaan guru lebih serius. Pasca kekacauan nasional, krisis guru di Indonesia semakin parah. Jumlah guru kian berkurang tatkala pada saat itu terjadi pembersihan (baca:skrining) terhadap orang-orang yang dianggap dekat komunis, tidak terkecuali kepada anggota PGRI NV. Langkah awal yang diambil oleh pemerintah Orde Baru ialah dengan melebur SGB dan SGA menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang bertahan sampai dengan tahun 1990/91. Untuk menggenjot pertumbuhan guru, pada 1970-an pemerintah Orde Baru memberikan perizinan untuk mendirikan berbagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H