Pada periode Demokrasi Terpimpin 1959-1965 kebutuhan akan guru masih tinggi. Tingkat buta huruf Indonesia saat itu juga masih terbilang tinggi, sebesar 80%. Meskipun lembaga pendidikan guru telah banyak didirikan, akan tetapi belum dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan guru.Â
Saat itu telah dibentuk organisasi persatuan guru Indonesia (PGRI). Akan tetapi pada periode ini kondisi politik Indonesia sedang memanas lantaran persaingan politik yang terjadi di antara tiga kekuatan politik besar, PKI, TNI AD dan Sukarno. Kondisi tersebut ikut menyeret PGRI sebagai organisasi guru pada saat itu, dan membelahnya menjadi dua bagian, PGRI Vaksentral (pemerintah) dan non-Vaksentral (PKI). Peristiwa G30S juga berdampak pada nasib guru. Banyak para guru yang terindikasi dengan komunis yang ditangkap dan hilang. Hal ini membuat krisis guru di Indonesia semakin parah.
Pada periode Orde Baru upaya pemerintah untuk pengadaan guru lebih serius. Pasca kekacauan nasional, krisis guru di Indonesia semakin parah. Jumlah guru kian berkurang tatkala pada saat itu terjadi pembersihan (baca:skrining) terhadap orang-orang yang dianggap dekat komunis, tidak terkecuali kepada anggota PGRI NV. Langkah awal yang diambil oleh pemerintah Orde Baru ialah dengan melebur SGB dan SGA menjadi SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang bertahan sampai dengan tahun 1990/91. Untuk menggenjot pertumbuhan guru, pada 1970-an pemerintah Orde Baru memberikan perizinan untuk mendirikan berbagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H