Mohon tunggu...
Abah Ucup
Abah Ucup Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pengajar yang menjaga keresahannya

Semakin dewasa kesukaan semakin absurd

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Modernisasi dan Lunturnya Kultur Desa

6 Juni 2022   10:24 Diperbarui: 6 Juni 2022   10:43 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lebaran kali ini tidak seperti lebaran yang lalu-lalu. Lebaran kali ini saya merasakan kembali yang namanya mudik. Kampung halaman saya terletak di salah satu desa, di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. 

Terakhir saya berkunjung ke sini pada tahun 2016, dimana sekarang sudah enam tahun silam. Bukan jangka waktu yang terlalu lama. Namun dalam kurun waktu yang singkat tersebut, telah terjadi modernisasi yang terjadi sangat cepat pada desa saya, dimana hal itu membuat saya agak terkejut.


Modernisasi; Sisi Negatif dan Positif
Menurut Koentjaraningrat, modernisasi merupakan sebuah usaha untuk menyesuaikan dengan zaman dan konstelasi dunia. Modernisasi seperti halnya dua sisi koin, dimana di satu sisi memberikan dampak positif dan sisi lainnya memberikan dampak negatif. 

Sisi positif modernisasi yang terjadi di desa saya, seperti dibukanya jalan-jalan baru yang telah diaspal, dimana terakhir saya ke sini, desa ini jarang dilalui kendaraan roda empat dengan kondisi jalanan rusak dan berbatuan. Jalanan baru yang dibuka dan dengan kondisi bagus membuat intensitas kendaraan yang lalu lalang kian meningkat. 

Dampak positif lainnya perekonomian meningkat. Jalan baru yang dibuka di desa saya merupakan jalan alternatif menuju ke daerah Rembang dan Kebumen via Waduk Sempor. Warung kelontong dan warung kulineran mulai banyak. Jauh jika dibandingkan dengan kondisi dahulu yang sepi. 

Hal lain yang muncul akibat dari kondisi baru tersebut ialah meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor oleh masyarakat, baik roda dua maupun empat. 

Mobilitas masyarakat kian mudah karena telah memiliki kendaraan pribadi dan tentu saja ini semakin mendorong laju perekonomian desa. Jika dahulu masyarakat ingin menjual hasil buminya ke pengepul karena pasar terletak sangat jauh. Kini mereka bisa membawa hasil bumi sendiri menggunakan kendaraan bermotor. 

Selain perbaikan jalan dan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor, sisi positif lainnya ialah kian terbuka akses internet. Dahulu di desa saya ini sulit sinyal. Jangankan internet, sinyal telpon saja sulit. Akibatnya masyarakat kurang mengetahui informasi apapun. Namun saat ini tidak lagi. 

Banyak para provider telah masuk ke desa saya. Sehingga sinyal telpon dan internet sangat baik. Beberapa masyarakat di sini menjadi pengusaha lewat daring. Mereka menjajakan pelbagai komoditas yang hanya ada di sini. Masyarakat juga semakin melek informasi dan teknologi. Selain itu anak-anak sekolah juga memanfaatkan internet sebagai sarana belajar. 


Namun di sisi lain semua modernisasi itu memiliki dampak negatif. Kondisi jalan yang baik dan akses yang terbuka ternyata menimbulkan masalah. Banyak terjadi kecelakaan di desa saya. 

Kecelakaan yang terjadi lebih sering disebabkan oleh faktor kelalaian. Karena masyarakat yang tidak tertib mengendarai kendaraan bermotor mereka, seperti tidak menggunakan helm dan memacu kendaraan di atas kecepatan rata-rata. 

Kemudian terbukanya akses internet membuat anak-anak usia sekolah kini lebih senang bermain dengan gawai pintarnya. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan orang tua terhadap internet dan penggunaan gawai pintar membuat mereka menjadi tidak terawasi.

Dan menurut saya ada hal yang paling krusial terjadi, yakni hilangnya semangat gotong royong. Ketika saya berjalan-jalan di sore hari, saya melihat rumput-rumput tinggi di tepi jalan, saluran air dipenuhi sampah, dan kebun-kebun kurang terurus karena generasi muda lebih memilih ke kota ketimbang merawat kebun orang tuanya. 

Menurut penuturan saudara saya, kegiatan gotong royong sudah tidak berjalan selama setahun. Hal ini diperparah dengan pandemi Covid-19. 

Pihak pemerintah desa lebih memilih menggunakan tenaga kerja untuk merawat lingkungan dari pada menggerakan warganya. Mungkin mereka berpikir dari pada dana desa tidak digunakan. Saya tidak tahu, itu hanya asumsi nakal saya. Tokoh masyarakat pun akhirnya enggan bergerak dan menggerakkan warganya. 

Jika hal ini terus terjadi mungkin saja beberapa tahun ke depan kondisi desa dan masyarakatnya akan jauh berubah. Semoga semua itu tidak terjadi. 

Sebab jika itu terjadi maka modernisasi yang terjadi hanya akan bersifat dekonstruktif. Dan tentunya saya akan bingung menjelaskan kepada anak saya kenapa desa leluhurnya tidak lagi seperti desa yang dibacanya di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia atau Pendidikan Kewarganegaraan. 


Lunturnya Kultur Desa; Perubahan yang Dekonstruksi
Menurut Sugianto dalam bukunya berjudul Urgensi dan Kemandirian Desa salah satu fungsi Desa ialah pelestari kearifan lokal. Banyak sekali kebudayaan lokal yang hingga kini tetap lestari di daerah pedesaan. Dengan adanya desa, kebudayaan lokal akan senantiasa terjaga dan terus berkembang.

Tidak berbeda dengan Sugiarto menurut Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid II, digambarkan jika desa merupakan bagian dari 'batas-batas pembaratan'. Denys melihat jika secara historis desa-desa di pedalaman Jawa merupakan benteng terdalam dari pengaruh-pengaruh asing. 

Masyarakat yang berada di pedalaman Jawa mengambil sikap hati-hati dan kritis terhadap kebudayaan yang datang dari luar, yang notabene masuk dari pesisisr. Dengan kata lain jika menggunakan konteks tersebut, maka desa seharusnya menjadi 'batas terdalam' yang menjaga budaya tradisional dari gempuran budaya modern yang dekonstruktif.

Modernisasi yang kian gencar telah melemahkan fungsi Desa, sebagai 'benteng terdalam' yang menjaga kearifan lokal, dimana semestinya harus terjaga dan terlestarikan. Kembali pada terjadinya perubahan di desa saya, akses jalan yang terbuka dan masuknya pengaruh TIK dalam kehidupan sehari-hari menjadi salah dua penyebab semakin lunturnya budaya pedesaan. Padahal semestinya semua itu menjadi sarana bagi desa untuk menegaskan dan memperkenalkan identitas dirinya ke khalayak umum di luar sana. 

Secara umum nampak ketidaksiapan masyarakat desa secara psikologis terhadap perubahan sosial yang cepat. Dan terakhir, salah satu penyebab lain yang membuat semakin cepatnya dekonstruksi kebudayaan adalah perubahan paradigma masyarakat desa, akibat kesenjangan yang ditampilkan masyarakat perkotaan dari dunia virtual dan layar kaca. Paradigma salah yang beranggapan bahwa mereka adalah masyarakat kolot, dan teralienasikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun