Kemudian terbukanya akses internet membuat anak-anak usia sekolah kini lebih senang bermain dengan gawai pintarnya. Kurangnya pemahaman dan pengetahuan orang tua terhadap internet dan penggunaan gawai pintar membuat mereka menjadi tidak terawasi.
Dan menurut saya ada hal yang paling krusial terjadi, yakni hilangnya semangat gotong royong. Ketika saya berjalan-jalan di sore hari, saya melihat rumput-rumput tinggi di tepi jalan, saluran air dipenuhi sampah, dan kebun-kebun kurang terurus karena generasi muda lebih memilih ke kota ketimbang merawat kebun orang tuanya.Â
Menurut penuturan saudara saya, kegiatan gotong royong sudah tidak berjalan selama setahun. Hal ini diperparah dengan pandemi Covid-19.Â
Pihak pemerintah desa lebih memilih menggunakan tenaga kerja untuk merawat lingkungan dari pada menggerakan warganya. Mungkin mereka berpikir dari pada dana desa tidak digunakan. Saya tidak tahu, itu hanya asumsi nakal saya. Tokoh masyarakat pun akhirnya enggan bergerak dan menggerakkan warganya.Â
Jika hal ini terus terjadi mungkin saja beberapa tahun ke depan kondisi desa dan masyarakatnya akan jauh berubah. Semoga semua itu tidak terjadi.Â
Sebab jika itu terjadi maka modernisasi yang terjadi hanya akan bersifat dekonstruktif. Dan tentunya saya akan bingung menjelaskan kepada anak saya kenapa desa leluhurnya tidak lagi seperti desa yang dibacanya di dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia atau Pendidikan Kewarganegaraan.Â
Lunturnya Kultur Desa; Perubahan yang Dekonstruksi
Menurut Sugianto dalam bukunya berjudul Urgensi dan Kemandirian Desa salah satu fungsi Desa ialah pelestari kearifan lokal. Banyak sekali kebudayaan lokal yang hingga kini tetap lestari di daerah pedesaan. Dengan adanya desa, kebudayaan lokal akan senantiasa terjaga dan terus berkembang.
Tidak berbeda dengan Sugiarto menurut Denys Lombard, dalam buku Nusa Jawa Silang Budaya Jilid II, digambarkan jika desa merupakan bagian dari 'batas-batas pembaratan'. Denys melihat jika secara historis desa-desa di pedalaman Jawa merupakan benteng terdalam dari pengaruh-pengaruh asing.Â
Masyarakat yang berada di pedalaman Jawa mengambil sikap hati-hati dan kritis terhadap kebudayaan yang datang dari luar, yang notabene masuk dari pesisisr. Dengan kata lain jika menggunakan konteks tersebut, maka desa seharusnya menjadi 'batas terdalam' yang menjaga budaya tradisional dari gempuran budaya modern yang dekonstruktif.
Modernisasi yang kian gencar telah melemahkan fungsi Desa, sebagai 'benteng terdalam' yang menjaga kearifan lokal, dimana semestinya harus terjaga dan terlestarikan. Kembali pada terjadinya perubahan di desa saya, akses jalan yang terbuka dan masuknya pengaruh TIK dalam kehidupan sehari-hari menjadi salah dua penyebab semakin lunturnya budaya pedesaan. Padahal semestinya semua itu menjadi sarana bagi desa untuk menegaskan dan memperkenalkan identitas dirinya ke khalayak umum di luar sana.Â
Secara umum nampak ketidaksiapan masyarakat desa secara psikologis terhadap perubahan sosial yang cepat. Dan terakhir, salah satu penyebab lain yang membuat semakin cepatnya dekonstruksi kebudayaan adalah perubahan paradigma masyarakat desa, akibat kesenjangan yang ditampilkan masyarakat perkotaan dari dunia virtual dan layar kaca. Paradigma salah yang beranggapan bahwa mereka adalah masyarakat kolot, dan teralienasikan.Â