Mohon tunggu...
Muhammad Rizqi Romdhon
Muhammad Rizqi Romdhon Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Arab di MAN 2 Tasikmalaya

Suami berputra dua

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Perkembangan Politik Kerajaan Arab Saudi

19 Juli 2023   11:55 Diperbarui: 22 Juli 2023   05:48 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1. Kerajaan Arab Saudi secara singkat

Kerajaan Arab Saudi atau al-Mamlakah al-‘Arabiyyah Al-Sa’udiyyah merupakan salahsatu kerajaan yang ada di negara Arab. Kerajaan ini dikuasai oleh wangsa Saud, dimana rajanya berperan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kerajaan ini mengalami tiga transformasi kerajaan mulai dari pendiriannya pada tahun 1727 dengan nama Keamiran Dir’iyyah, lalu pada 1824 Keamiran Najd dan terakhir pada tahun 1902 menjadi Kerajaan Arab Saudi. Sejak tahun 1932 wangsa Saud telah menguasai hampir seluruh semenanjung Arab yang kaya akan minyak, namun dalam perjanjian yang tidak tertulis, kekuasaan mereka dibagi dua dengan keturunan Muhammad bin Abdul Wahab yang merupakan pendiri gerakan salafi atau yang biasa dikenal dengan wahabi.

2. Muhammad bin Saud Al Muqrin (1687-1765)

Muhammad bin Saud Al Muqrin adalah pendiri pertama Kerajaan Arab Saudi, pada tahun 1927 beliau membentuk aliansi dengan Muhammad bin Abdul Wahab untuk mendirikan Keamiran Dir’iyyah yang merupakan cikal bakal dari Kerajaan Arab Saudi dan biasa dikenal dengan Kerajaan Saudi Pertama. Untuk memperluas kekuasaannya, pada tahun 1802 Muhammad bin Saud melakukan ekspansi ke Karbala dan melakukan penghancuran dan penjarahan disana. Tidak cukup disitu, ia juga menginvasi mekkah dan madinah pada tahun 1803 serta menghancurkan semua qubah-qubah makam kecuali kubah hijau Masjid Nabawi. Untuk mengatasi pemberontakan ini, pada tahun 1818 Kekhalifahan Turki Utsmani memerintahkan Gubernur Mesir Muhammad Ali Pasya untuk menghancurkan Keamiran Dir’iyyah. Kampanye perang Muhammad Ali Pasya berhasil membumihanguskan Keamiran Dir’iyyah. Pada tahun 1824 keturunan Muhammad bin Saud berhasil membangun kembali kekuasaan mereka dengan mendirikan Keamiran Najd yang dikenal dengan Kerajaan Saudi Kedua, namun pada tahun 1891 keamiran ini dihancurkan oleh Bani Al Rasyid, sehingga keturunan Muhammad bin Saud melarikan dan mengasingkan diri di Kuwait.

3. Abdulaziz Abdulrahman Al Saud (1902-1953 M)

Pada tahun 1902 Abdulaziz Abdulrahman Al Saud berhasil menguasai kota Riyadh dari Bani Al Rasyid dan mendirikan Kerajaan Arab Saudi yang dikenal dengan Kerajaan Saudi Ketiga. Penaklukan ini dibantu oleh Faisal Al Dawish yang merupakan pengikut ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Faisal memiliki pasukan militan yang dibentuk pada 192 dengan nama ikhwan Man Tha’allah atau persaudaraan orang yang taat kepada Allah. Dengan bantuan pasukan Ikhwan pada tahun 1902 Abdulaziz merebut Ahsa dari Kekhalifahan Turki Utsmani. Lalu pada tahun 1924 berhasil merebut Hijaz dari Syarif Mekkah dan mendeklarasikan dirinya sebagai Sultan Hijaz pada tahun 1926. Setelah bertempur bersama, persekutuan Al Saud dan Ikhwan pecah pada tahun 1929 karena tidak setujuan ikhwan dengan Abdulaziz yang berkongsi dengan Kerajaan Inggris yang menempatkan pasukan non muslim di tanah Arab. Pertempuran pun terjadi di Sabila dengan kekalahan pada pihak Ikhwan. Setelah berhasil mengatasi pasukan Ikhwan, Abdulaziz menyatukan Kerajaan Hijaz ke dalam Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932 dan diperingati sebagai hari nasional kerajaan sampai saat ini. Untuk meningkatkan perekonomiannya, pada tahun 1933 kerajaan menandatangani kerjasama eksplorasi minyak dengan perusahaan Amerika Standard Oil of California yang dikenal saat ini dengan Chevron. Hasil kerjasama ini membuahkan hasil dengan ditemukannya sumber minyak pada tahun 1938 dan diresmikan dalam sebuah perusahaan minyak global pada tahun 1941 dengan nama Arabian American Oil Company atau Aramco. Untuk mengamankan posisinya dalam percaturan politik dunia, kerajaan ikut bergabung dengan Persatuan Bangsa-bangsa pada tahun 1945. Dan juga untuk menyatakan dukungannya terhadap bangsa Palestina, kerajaan mendeklarasikan perang dengan Israel pada tahun 1948 dengan membantu pasokan pasukan dan senjata pada perang tersebut. Di akhir masa kepemimpinannya, Abdulaziz mendirikan Dewan Menteri untuk membantunya dalam pemerintahan.

4. Saud bin Abdulaziz Al Saud (1953-1964)

Setelah Abdulaziz meninggal dunia, Saud bin Abdulaziz diangkat untuk meneruskan menjadi Raja Kerajaan Arab Saudi. Ia dikenal sebagai raja Saudi pertama yang melakukan perluasan Masjid Suci. Pada tahun 1952 Masjid Nabawi yang pertama kali diperluas, lalu pada 1955 dilanjutkan dengan perluasan Masjidil Haram. Tidak hanya sarana keagamaan yang diperhatikan, pada 1957 Saud mendirikan universitas pertama di Kerajaan dengan nama King Saud University, tak lupa ia juga memperhatikan pendidikan perempuan dengan mendirikan sekolah untuk wanita. Bersamaan dengan Oil Boom, Kerajaan Arab Saudi bersama dengan Irak, Iran, Kuwait dan Venezuela pada tahun 1960 mendirikan organisasi OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries), pada awal pendiriannya organisasi ini ditujukan untuk melawan oligopoli perdagangan minyak dunia yang dilakukan oleh Amerika. Pada tahun 1962 untuk mengimbangi perkembangan teknologi yang pesat, kerajaan mendirikan stasiun tv. Pendirian stasiun tv ini menimbulkan polemik, dikarenakan ulama konservatif menolak dengan sangat keras hal ini atas pandangan bahwa pembuatan gambar adalah hal yang diharamkan agama. Namun polemik ini berhasil diredam dengan penayangan program pembacaan al-Qur`an.

5. Faisal bin Abdulaziz Al Saud (1964-1975)

Pada tahun 1964 Faisal diangkat menjadi Raja Kerajaan Arab Saudi menggantikan saudaranya yang meninggal dunia. Sebagai bentuk tanggung jawab tugasnya, pada tahun 1970 Faisal melakukan modernisasi kerajaan dengan pembangunan berbagai infrastruktur industri, ekonomi dan sosial. Juga sebagai komitmennya pelindung tanah suci, Faisal mendorong pembentukan Organisasi Konferensi islam di Jeddah pada tahun 1971 yang beranggotakan 56 negara islam. Pada tahun yang sama Faisal mendirikan juga kantor berita dinamakan dengan Saudi Press Agency. Untuk menguatkan ekonomi negaranya, pada tahun 1972 Faisal berhasil membeli 20% saham Aramco. Hubungan manis Faisal dengan Amerika mulai runtuh dengan adanya perang Yom Kippur pada tahun 1973. Untuk mendukung Mesir dan Syria yang melawan penjajah Israel, Faisal memboikot minyak sehingga harga minyak menjadi sangat mahal dan menimbulkan krisis ekonomi di dunia, terutama dunia barat. Keputusan ini dibayar dengan berat dengan kejadian memilukan, yaitu pembunuhan Faisal oleh keponakannya yang bernama sama Faisal bin Musaid pada tahun 1975. Banyak yang mengaitkan bahwa pembunuhan ini bukanlah semata intrik internal kerajaan, namun berkaitan dengan pemboikotan minyak yang dilakukannya.

6. Khalid bin Abdulaziz Al Saud (1975-1982)

Pada tahun 1975 Khalid diangkat menjadi Raja untuk menggantikan saudaranya yang mati terbunuh. pada masa Khalid Kerajaan Arab Saudi menikmati berkah dari minyak yaitu dengan menjadi eksportir minyak terbesar dunia pada tahun 1976. Namun keberkahan minyak ini tidak bisa mencapai semua orang, sehingga pada 1979 terjadi pemberontakan di Qatif atas ketidakpuasan pada kepemimpinan Khalid. Setelah pemberontakan tersebut, Khalid masih tidak bisa tenang. Pada tahun 1979 Juhaiman al-Utaybi yang mendeklarasikan dirinya sebagai al-Mahdi menyandera para jemaah haji di Masjidil Haram. Kejadian ini menimbulkan kegemparan yang sangat hebat di dunia Islam terutama pada Kerajaan Arab Saudi. Setiap usaha penyelamatan selalu gagal, akhirnya negara Perancis menawarkan bantuan kepada Khalid berupa bantuan latihan dan teknikal perang. Namun beberapa keterangan menyebutkan bahwa pasukan elit Perancis GIGN (Groupe d'intervention de la Gendarmerie nationale) ikut terlibat langsung ke lapangan dalam rangka penumpasan pasukan Juhayman. Juhayman beserta pasukannya berhasil ditangkap lalu dihukum mati. Peristiwa ini menjadi sebuah alasan bagi para ulama konservatif untuk memperluas kekuasaannya, dan berakibat dengan pemberlakuan peraturan-peraturan ketat di kerajaan seperti penutupan bioskop, pemisahan gender di tempat umum dan penyebaran ajaran Muhammad bin Abdul Wahab secara masif. Pada akhir kekuasaannya Khalid ikut mendukung Irak pada perang Iran-Irak tahun 1980 dengan dana yang dikeluarkan sekitar $25 Milyar.

7. Fahad bin Abdulaziz Al Saud (1982-2005)

Fahad diinagurasi menjadi Raja pada tahun 1982 untuk menggantikan saudaranya. Fahad merupakan orang yang pertama kali diberi gelar dengan Khadimul haramain Syarifain atau Pelayan Dua Masjid Suci. Gelar ini diberikan sebagai pengganti kata “Yang Mulia” yang ditentang oleh para konservatif. Gelar ini mulai dipakai sejak tahun 1986. Gelar ini juga diberikan sebagai jasa Fahad yang telah memperluas dua masjid suci umat Islam, yaitu perluasan Masjid Nabawi pada tahun 1985 dan perluasan Masjidil Haram pada tahun 1988. Pada tahun 1990 ketika Irak menginvasi Kuwait, Kerajaan Arab Saudi memberikan bantuan kepada Amerika yang mendukung Kuwait dengan menyediakan Pangkalan Militer bagi Amerika di kerajaan. Manuver politik ini menimbulkan keretakan hubungan antara Irak dan Kerajaan Arab Saudi. Pada tahun yang sama para ulama konservatif dengan dukungan kerajaan melarang wanita untuk menyetir mobil, hal ini menjadi kontroversi terutama pada pegiat HAM dunia. Eskalasi perang Irak dan Kuwait semakin memanas, sehingga pada tahun 1991 Amerika melakukan pengeboman dan diikuti dengan invasi ke Irak yang didukung oleh Kerajaan. Untuk menguatkan posisi kerajaan secara politik, pada tahun 1992 kerajaan menerapkan Basic Law dan pada tahun 1993 melantik Majlis Syura. Tidak cukup hal tersebut, pada tahun 2001 kerajaan menerapkan sensor internet yang ketat untuk mengontrol politik dan sosial masyarakatnya. Setiap gerakan sekecil apapun menentang kerajaan akan dihukum oleh kerajaan. Pada tahun 2003 atas tekanan masyarakat dan keluarga kerajaan, Pangkalan Militer Amerika dihentikan penggunaannya, hal ini tentu saja menimbulkan riak politik antara Amerika dan kerajaan, terutama Amerika masih membutuhkan pangkalannya untuk kegiatan militer di Timur Tengah.

8. Abdullah bin Abdulaziz Al Saud (2005-2015)

Setelah Fahad meninggal dunia, Abdullah diangkat menjadi Raja Kerajaan Arab Saudi ke-7 pada tahun 2005. Setelah dilantik Abdullah mulai menerapkan modernisasi dalam kerajaannya, seperti mengadakan pemilu lokal, walaupun tanpa kepesertaan wanita, mengurangi pengaruh ulama konservatif dalam politik yang kadang sering mengganggu stabilitas negara, dan bergabung dengan WTO (World Trade Organization) untuk memudahkan kegiatan ekonomi kerajaan secara global. Pada tahun 2009 Abdullah melakukan gebrakan politik dengan mengangkat wanita secara pertama kali menjadi Deputi Menteri. Hal ini mendapat tantangan dari para ulama konservatif. Namun Abdullah tidak bergeming, malah pada tahun yang sama mengangkat pejabat-pejabat muda yang moderat dalam jajaran pemerintahannya. Pada tahun 2011 terjadi kerusuhan di jeddah akibat ketimpangan ekonomi pada rakyatnya, sebagai peredam kerusuhan tersebut kerajaan mengeluarkan peraturan pemberian subsidi perumahan bagi rakyatnya. Pada tahun yang sama, Abdullah memberikan keleluasaan yang lebih kepada wanita dengan memperbolehkan wanita menjadi pejabat lokal dan anggota Majlis Syura. Di tengah kecaman atas pengangkatan wanita sebagai pejabat, kerajaan berusaha mengalihkan perhatian rakyatnya dengan melakukan invasi ke Bahrain untuk menyokong keluarga Khalifa yang merupakan penguasa Sunni di tengah-tengah rakyat Bahrain yang menganut Syiah. Di tahun 2011 juga kerajaan bersama Turki mendukung pemberontakan oposisi Suriah kepada Pemerintahannya dan berakhir dengan pengeluaran Suriah dari Liga Arab.

9. Salman bin Abdulaziz Al Saud (2015-Sekarang)

Ditengah ketidakpastian iklim Timur Tengah dengan adanya perang di berbagai belahan negaranya, Raja Salman yang baru saja dilantik, pada tahun 2015 melakukan intervensi perang atas perang saudara di Yaman. Kerajaan mendukung pemerintah yang mayoritas Sunni terhadap pemberontakan kelompok Houthi yang menganut ajaran Syiah. Untuk mengatasi inflasi ekonomi kerajaan yang diakibatkan membiayai perang Yaman dan Syria, kerajaan meresmikan rencana ekonomi baru dengan nama Saudi Vision 2030, dimana basis utama pendapatan kerajaan bukan hanya dari penjualan minyak, namun dari hub ekonomi, pariwisata dan perdagangan. Saudi Vision 2030 ini juga digadang-gadang sebagai bentuk rivalitas ekonomi antara kerajaan dengan Uni Emirat Arab.

Pada tahun 2017 kerajaan bersama dengan Uni Emirat Arab memproklamirkan blokade ekonomi total kepada negara Qatar yang dianggap membangkang terhadap GCC (Gulf Cooperation Council). Pemblokadean ini melibatkan blokade ekonomi baik secara laut, udara dan darat. Namun Qatar bisa berhasil bertahan diri dengan bantuan ekonomi dan pangan dari Turki. Pada tahun yang sama kerajaan menyosialisasikan proyek NEOM, yaitu proyek pembangunan perkotaan modern sepanjang 26.500 km2. Neom berasal dari kata Neo atau baru dan Mustaqbal atau masa depan, kota baru masa depan. Kota ini memanjang dari Tabuk sampai ke Laut Merah. Proyek ini menimbulkan kontroversi baru karena akan memudarkan tradisi bangsa Arab dan juga akan merusak situs suci yang dianggap sebagai tempat Nabi Musa menerima wahyu di pesisir laut Merah.

Pada tahun 2018 dunia dikejutkan dengan tragedi pembunuhan wartawan senior yang bernama Jamal Khashoggi. Berdasarkan bukti CCTV pemerintah Turki, Jamal menghilang setelah masuk ke dalam Kedutaan Kerajaan Arab Saudi di Turki. Namun kerajaan menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Setelah desakan global akhirnya kerajaan mengakui pembunuhan tersebut dan menangkap beberapa pejabat kerajaan, namun aktor utama dari pembunuhan tersebut tidak diungkap sampai saat ini. Pada tahun yang sama, sebagai bentuk dukungan gerakan modernisasi kerajaan, perempuan diperbolehkan menyetir kembali setelah adanya gerakan wanita menyetir yang disosialisasikan oleh pegiat wanita di media sosial mereka. Lalu pada tahun 2019 wanita diberikan lagi hak keleluasaannya dengan diperbolehkan menjadi tentara. Hal ini mendapat sambutan positif dari dunia global yang sudah menganggap sebelumnya bahwa kerajaan telah menindas hak-hak wanita. Namun persepsi positif global kepada kerajaan berubah kembali setelah kerajaan mendukung “fasilitas edukasi” Xinjiang di Republik Rakyat Tiongkok.

Daftar Bacaan

• Buku

1. Al-Rasheed, Madawi. A History of Saudi Arabia. Cambridge: Cambridge University Press. 2010.

2. Bowen, Wayne H. The History of Saudi Arabia. London: Greenwood Press. 2008.

3. Bsherr, Rosie. Archive Wars, The Politics of History in Saudi Arabia. Stanford: Stanford University Press. 2020.

4. Wynbrandt, James. A Brief History of Saudi Arabia. New York: Fact on Files. 2010.

• Website

1. Wikipedia

2. CIA Factbook

3. Washington DC Saudi Embassy

4. Encyclopedia

5. Vision 2030 Saudi Arabia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun