6. Khalid bin Abdulaziz Al Saud (1975-1982)
Pada tahun 1975 Khalid diangkat menjadi Raja untuk menggantikan saudaranya yang mati terbunuh. pada masa Khalid Kerajaan Arab Saudi menikmati berkah dari minyak yaitu dengan menjadi eksportir minyak terbesar dunia pada tahun 1976. Namun keberkahan minyak ini tidak bisa mencapai semua orang, sehingga pada 1979 terjadi pemberontakan di Qatif atas ketidakpuasan pada kepemimpinan Khalid. Setelah pemberontakan tersebut, Khalid masih tidak bisa tenang. Pada tahun 1979 Juhaiman al-Utaybi yang mendeklarasikan dirinya sebagai al-Mahdi menyandera para jemaah haji di Masjidil Haram. Kejadian ini menimbulkan kegemparan yang sangat hebat di dunia Islam terutama pada Kerajaan Arab Saudi. Setiap usaha penyelamatan selalu gagal, akhirnya negara Perancis menawarkan bantuan kepada Khalid berupa bantuan latihan dan teknikal perang. Namun beberapa keterangan menyebutkan bahwa pasukan elit Perancis GIGN (Groupe d'intervention de la Gendarmerie nationale) ikut terlibat langsung ke lapangan dalam rangka penumpasan pasukan Juhayman. Juhayman beserta pasukannya berhasil ditangkap lalu dihukum mati. Peristiwa ini menjadi sebuah alasan bagi para ulama konservatif untuk memperluas kekuasaannya, dan berakibat dengan pemberlakuan peraturan-peraturan ketat di kerajaan seperti penutupan bioskop, pemisahan gender di tempat umum dan penyebaran ajaran Muhammad bin Abdul Wahab secara masif. Pada akhir kekuasaannya Khalid ikut mendukung Irak pada perang Iran-Irak tahun 1980 dengan dana yang dikeluarkan sekitar $25 Milyar.
7. Fahad bin Abdulaziz Al Saud (1982-2005)
Fahad diinagurasi menjadi Raja pada tahun 1982 untuk menggantikan saudaranya. Fahad merupakan orang yang pertama kali diberi gelar dengan Khadimul haramain Syarifain atau Pelayan Dua Masjid Suci. Gelar ini diberikan sebagai pengganti kata “Yang Mulia” yang ditentang oleh para konservatif. Gelar ini mulai dipakai sejak tahun 1986. Gelar ini juga diberikan sebagai jasa Fahad yang telah memperluas dua masjid suci umat Islam, yaitu perluasan Masjid Nabawi pada tahun 1985 dan perluasan Masjidil Haram pada tahun 1988. Pada tahun 1990 ketika Irak menginvasi Kuwait, Kerajaan Arab Saudi memberikan bantuan kepada Amerika yang mendukung Kuwait dengan menyediakan Pangkalan Militer bagi Amerika di kerajaan. Manuver politik ini menimbulkan keretakan hubungan antara Irak dan Kerajaan Arab Saudi. Pada tahun yang sama para ulama konservatif dengan dukungan kerajaan melarang wanita untuk menyetir mobil, hal ini menjadi kontroversi terutama pada pegiat HAM dunia. Eskalasi perang Irak dan Kuwait semakin memanas, sehingga pada tahun 1991 Amerika melakukan pengeboman dan diikuti dengan invasi ke Irak yang didukung oleh Kerajaan. Untuk menguatkan posisi kerajaan secara politik, pada tahun 1992 kerajaan menerapkan Basic Law dan pada tahun 1993 melantik Majlis Syura. Tidak cukup hal tersebut, pada tahun 2001 kerajaan menerapkan sensor internet yang ketat untuk mengontrol politik dan sosial masyarakatnya. Setiap gerakan sekecil apapun menentang kerajaan akan dihukum oleh kerajaan. Pada tahun 2003 atas tekanan masyarakat dan keluarga kerajaan, Pangkalan Militer Amerika dihentikan penggunaannya, hal ini tentu saja menimbulkan riak politik antara Amerika dan kerajaan, terutama Amerika masih membutuhkan pangkalannya untuk kegiatan militer di Timur Tengah.
8. Abdullah bin Abdulaziz Al Saud (2005-2015)
Setelah Fahad meninggal dunia, Abdullah diangkat menjadi Raja Kerajaan Arab Saudi ke-7 pada tahun 2005. Setelah dilantik Abdullah mulai menerapkan modernisasi dalam kerajaannya, seperti mengadakan pemilu lokal, walaupun tanpa kepesertaan wanita, mengurangi pengaruh ulama konservatif dalam politik yang kadang sering mengganggu stabilitas negara, dan bergabung dengan WTO (World Trade Organization) untuk memudahkan kegiatan ekonomi kerajaan secara global. Pada tahun 2009 Abdullah melakukan gebrakan politik dengan mengangkat wanita secara pertama kali menjadi Deputi Menteri. Hal ini mendapat tantangan dari para ulama konservatif. Namun Abdullah tidak bergeming, malah pada tahun yang sama mengangkat pejabat-pejabat muda yang moderat dalam jajaran pemerintahannya. Pada tahun 2011 terjadi kerusuhan di jeddah akibat ketimpangan ekonomi pada rakyatnya, sebagai peredam kerusuhan tersebut kerajaan mengeluarkan peraturan pemberian subsidi perumahan bagi rakyatnya. Pada tahun yang sama, Abdullah memberikan keleluasaan yang lebih kepada wanita dengan memperbolehkan wanita menjadi pejabat lokal dan anggota Majlis Syura. Di tengah kecaman atas pengangkatan wanita sebagai pejabat, kerajaan berusaha mengalihkan perhatian rakyatnya dengan melakukan invasi ke Bahrain untuk menyokong keluarga Khalifa yang merupakan penguasa Sunni di tengah-tengah rakyat Bahrain yang menganut Syiah. Di tahun 2011 juga kerajaan bersama Turki mendukung pemberontakan oposisi Suriah kepada Pemerintahannya dan berakhir dengan pengeluaran Suriah dari Liga Arab.
9. Salman bin Abdulaziz Al Saud (2015-Sekarang)
Ditengah ketidakpastian iklim Timur Tengah dengan adanya perang di berbagai belahan negaranya, Raja Salman yang baru saja dilantik, pada tahun 2015 melakukan intervensi perang atas perang saudara di Yaman. Kerajaan mendukung pemerintah yang mayoritas Sunni terhadap pemberontakan kelompok Houthi yang menganut ajaran Syiah. Untuk mengatasi inflasi ekonomi kerajaan yang diakibatkan membiayai perang Yaman dan Syria, kerajaan meresmikan rencana ekonomi baru dengan nama Saudi Vision 2030, dimana basis utama pendapatan kerajaan bukan hanya dari penjualan minyak, namun dari hub ekonomi, pariwisata dan perdagangan. Saudi Vision 2030 ini juga digadang-gadang sebagai bentuk rivalitas ekonomi antara kerajaan dengan Uni Emirat Arab.
Pada tahun 2017 kerajaan bersama dengan Uni Emirat Arab memproklamirkan blokade ekonomi total kepada negara Qatar yang dianggap membangkang terhadap GCC (Gulf Cooperation Council). Pemblokadean ini melibatkan blokade ekonomi baik secara laut, udara dan darat. Namun Qatar bisa berhasil bertahan diri dengan bantuan ekonomi dan pangan dari Turki. Pada tahun yang sama kerajaan menyosialisasikan proyek NEOM, yaitu proyek pembangunan perkotaan modern sepanjang 26.500 km2. Neom berasal dari kata Neo atau baru dan Mustaqbal atau masa depan, kota baru masa depan. Kota ini memanjang dari Tabuk sampai ke Laut Merah. Proyek ini menimbulkan kontroversi baru karena akan memudarkan tradisi bangsa Arab dan juga akan merusak situs suci yang dianggap sebagai tempat Nabi Musa menerima wahyu di pesisir laut Merah.
Pada tahun 2018 dunia dikejutkan dengan tragedi pembunuhan wartawan senior yang bernama Jamal Khashoggi. Berdasarkan bukti CCTV pemerintah Turki, Jamal menghilang setelah masuk ke dalam Kedutaan Kerajaan Arab Saudi di Turki. Namun kerajaan menolak mentah-mentah tuduhan tersebut. Setelah desakan global akhirnya kerajaan mengakui pembunuhan tersebut dan menangkap beberapa pejabat kerajaan, namun aktor utama dari pembunuhan tersebut tidak diungkap sampai saat ini. Pada tahun yang sama, sebagai bentuk dukungan gerakan modernisasi kerajaan, perempuan diperbolehkan menyetir kembali setelah adanya gerakan wanita menyetir yang disosialisasikan oleh pegiat wanita di media sosial mereka. Lalu pada tahun 2019 wanita diberikan lagi hak keleluasaannya dengan diperbolehkan menjadi tentara. Hal ini mendapat sambutan positif dari dunia global yang sudah menganggap sebelumnya bahwa kerajaan telah menindas hak-hak wanita. Namun persepsi positif global kepada kerajaan berubah kembali setelah kerajaan mendukung “fasilitas edukasi” Xinjiang di Republik Rakyat Tiongkok.
Daftar Bacaan