Awal mula tersebarnya Ahmadiyyah di daerah Singaparna dikarenakan salah satu keturunan dari H. Abdul Ghafur Wadana Cipakat masuk dalam aliran tersebut. Anak tersebut bernama Uwen Juansyah. Uwen Juansyah sendiri merupakan saudara seayah dari pendiri Pasantren Cipasung KH. Ruhiat. Uwen Juansyah dilahirkan dari ibu bernama Hj. Murtamah.
Uwen Juansyah pada mulanya adalah seorang yang haus akan ilmu keagamaan, beliau pernah mengaji kepada Ulama-ulama di Tasikmalaya. Namun pada suatu ketika datanglah seorang Muballigh Ahmadiyyah kepada beliau dan mengajak Uwen Juansyah mendiskusikan tentang pergerakan islam baru yang dinamakan Ahmadiyyah.
Dalam diskusi tersebut Uwen Juansyah sayangnya kalah debat dengan Muballigh tersebut, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, yang kalah debat harus ikut kepada yang menang. Akhirnya Uwen Juansyah mengikuti Ahmadiyyah bahkan menjadi salahsatu Muballigh besar Ahmadiyyah di Indonesia.
Mengetahui hal tersebut, KH. Ruhiat sebagai adiknya merasa marah dan sakit hati, menurut para sesepuh Uwen Juansyah hampir saja dipenggal kepalanya oleh KH. Ruhiat namun dilarang oleh sang ayah yaitu H. Abdul Ghafur. Karena ayah yang melarang KH. Ruhiat mengurungkan niatnya, lalu KH. Ruhiat melaksanakan beberapa strategi untuk menekan perkembangan Ahmadiyyah tersebut. Strategi inilah yang digunakan oleh Pasantren Cipasung dari mulai berdirinya sampai sekarang.
Strategi Pesantren Cipasung untuk Mencegah Pergerakan Dakwah Ahmadiyyah
Strategi yang digunakan oleh KH. Ruhiat melalui Pasantren Cipasung memakai dakwah santun sesuai dengan permintaan sang ayah. Penulis menilai strategi KH. Ruhiat dalam mencegah Ahmadiyyah bertujuan untuk memutus generasi penerus Ahmadiyyah dari keturunan dan keluarga Uwen Juansyah sang kakak.
Strategi yang dimaksud adalah:
- Pengisoliran Kampung Babakan Cipasung;
Penganut warga Ahmadiyyah di isolir di kampung yang dinamakan Babakan Cipasung. Mereka tidak boleh mendirikan rumah di luar kampung Babakan Cipasung. Penganut Ahmadiyyah dilarang keras menyebarkan pahamnya kepada orang lain di luar komunitasnya. Penganut Ahmadiyyah tidak boleh menikah dengan orang di luar komunitasnya.
2. Pendekatan Kekerabatan dan Kekeluargaan;
Walaupun diisolir, namun secara kekerabatan dan kekeluargaan, penganut Ahmadiyyah masih didekati dengan pendekatan kekerabatan. Ketika ada acara hajatan atau pernikahan selalu diundang. Pada hari lebaran pun sengaja mengundang mereka dalam acara halal bihalal dan mendatangi rumah saudara yang paling tua dalam keluarga penganut Ahmadiyyah. Dengan harapan dan maksud agar mereka bisa membuka hatinya sehingga mudah untuk diajak keluar dari Ahmadiyyah;
3. Pendekatan kultural;