Mohon tunggu...
khusnul mubarok
khusnul mubarok Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Belajar sepanjang zaman

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jangan Takut Salah, Tapi Takutlah Berbuat salah

1 Januari 2025   19:24 Diperbarui: 1 Januari 2025   19:24 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KESALAHAN UMUM DALAM PEMBUATAN KEPUTUSAN (Sumber: Samahita.co.id)

Bayangkan seorang pejabat publik yang diberi wewenang besar untuk mengelola anggaran negara. Di satu sisi, ada peluang besar untuk berinovasi dan membawa perubahan positif. Namun, di sisi lain, ada godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Kasus korupsi Rp271 triliun, yang menyeret nama Harvey Moeis dan sejumlah tokoh lainnya, menjadi salah satu contoh nyata di mana "berbuat salah" tidak lagi sekadar kesalahan kecil, tetapi sebuah pelanggaran besar yang merugikan jutaan rakyat.

Kasus seperti ini mengingatkan kita akan pentingnya memahami perbedaan antara "salah" sebagai bagian dari proses belajar dan "berbuat salah" sebagai tindakan yang disengaja untuk melanggar norma etika dan hukum. Pejabat yang mengambil risiko untuk mencoba hal baru demi kebaikan bersama mungkin sesekali salah langkah. Namun, ketika seseorang dengan sengaja menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri, itu bukan lagi kesalahan biasa; itu adalah pengkhianatan terhadap amanah.

Ungkapan "jangan takut salah, tapi takutlah berbuat salah" menjadi relevan dalam konteks ini. Ia mendorong kita untuk tidak takut mengambil langkah berani demi kebaikan, tetapi juga mengingatkan bahwa setiap langkah harus berakar pada moralitas dan tanggung jawab. Dalam pemerintahan, keberanian untuk bertindak dan ketakutan untuk melanggar nilai-nilai moral harus berjalan beriringan.

Lalu, bagaimana kita bisa membangun keberanian untuk mencoba tanpa kehilangan integritas? Apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus-kasus semacam ini? Tulisan ini akan mengajak kita untuk merenungkan perbedaan mendasar antara keberanian dan pelanggaran, serta bagaimana menjaga keseimbangan di antara keduanya.

Kesalahan Sebagai Proses Belajar: Berani untuk Mencoba


Dalam kehidupan, kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari proses belajar. Kita tidak bisa menghindarinya, karena setiap langkah maju selalu melibatkan risiko salah langkah. Namun, ada perbedaan besar antara "salah karena mencoba" dan "salah karena melanggar." Kesalahan akibat mencoba adalah wujud keberanian untuk belajar dan bertumbuh, sementara kesalahan yang disengaja adalah pelanggaran yang merusak kepercayaan.

Dalam pemerintahan, kesalahan sering muncul saat mencoba menerapkan kebijakan baru atau merumuskan solusi atas masalah yang kompleks. Contohnya, program reformasi birokrasi yang mungkin tidak langsung efektif di awal pelaksanaannya. Pejabat yang berani mengambil langkah ini bisa saja menghadapi kritik tajam, tetapi keberaniannya mencoba hal baru tetaplah bernilai.

Sebagai contoh, kebijakan pemerintah dalam transformasi digital untuk pelayanan publik sering kali menemui kendala teknis atau kurangnya sumber daya manusia yang terampil. Meski ada kesalahan, keberanian untuk mencoba tetap penting demi mewujudkan pelayanan yang lebih transparan dan efisien.

Thomas Edison, penemu bola lampu, pernah berkata:
"Saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil."
Ungkapan ini mengajarkan bahwa kesalahan adalah guru terbaik jika kita mau belajar darinya. Dalam konteks pemerintahan, para pemimpin yang berani mengambil risiko dengan mencoba sesuatu yang baru, seperti reformasi pajak atau kebijakan energi hijau, mungkin menemui tantangan, tetapi mereka menunjukkan komitmen untuk berinovasi demi kebaikan masyarakat.

Sebaliknya, ketakutan berlebihan terhadap kesalahan dapat melumpuhkan tindakan. Banyak pejabat yang memilih "main aman" karena takut gagal atau mendapat kritik. Akibatnya, tidak ada terobosan baru yang dihasilkan, dan masalah lama terus berulang tanpa solusi. Dalam kondisi seperti ini, ketakutan salah justru menjadi penghalang bagi kemajuan.

Namun, kesalahan yang timbul dari ketidaktahuan atau kurangnya pengalaman jauh berbeda dari tindakan korupsi seperti kasus Harvey Moeis dan kawan-kawan. Ketika seseorang mencoba hal baru dengan niat baik, masyarakat masih dapat menerima kesalahan tersebut. Sebaliknya, pelanggaran moral seperti korupsi justru menghancurkan kepercayaan publik karena dilakukan dengan kesadaran penuh untuk melanggar aturan demi keuntungan pribadi.

Kesalahan yang berangkat dari keberanian untuk mencoba harus kita hargai sebagai proses pembelajaran. Namun, kita juga harus tetap waspada untuk membedakan mana kesalahan yang jujur dan mana yang disengaja sebagai pelanggaran moral.


Lalu, bagaimana kita menyeimbangkan keberanian untuk bertindak dengan kesadaran untuk tidak melanggar nilai?

Takutlah Berbuat Salah: Menjaga Kesadaran Moral

Berbuat salah bukanlah sekadar membuat kesalahan kecil karena ketidaktahuan atau kurangnya pengalaman. Berbuat salah adalah tindakan yang disengaja untuk melanggar nilai-nilai moral dan norma hukum, biasanya dengan tujuan mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dalam konteks pemerintahan, tindakan seperti ini sering kali memiliki dampak yang sangat besar, karena menyangkut kepercayaan publik dan kesejahteraan masyarakat.

Kasus korupsi Rp271 triliun yang melibatkan Harvey Moeis dan tokoh-tokoh lainnya adalah contoh nyata betapa fatalnya dampak dari "berbuat salah." Tindakan ini tidak hanya merugikan negara secara materi, tetapi juga merusak kepercayaan rakyat terhadap sistem pemerintahan. Ketika pejabat publik yang seharusnya menjadi penjaga amanah justru menyalahgunakan wewenang, efeknya terasa hingga ke akar masyarakat yang semakin skeptis terhadap integritas para pemimpin mereka.

Tindakan seperti ini menunjukkan bahwa "berbuat salah" sering kali tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi melalui serangkaian keputusan kecil yang mengabaikan nilai-nilai moral. Ketika seseorang tidak takut berbuat salah, ia membuka pintu bagi kehancuran pribadi dan masyarakat.

Berbuat salah bisa dihindari jika seseorang memiliki kesadaran moral yang kuat. Kesadaran ini berfungsi sebagai kompas yang membimbing tindakan kita, terutama dalam situasi penuh godaan atau tekanan. Seorang pemimpin yang takut berbuat salah akan selalu mempertimbangkan dampak dari setiap keputusannya, tidak hanya untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk masyarakat yang ia pimpin.

Mahatma Gandhi pernah berkata:

"Hati nurani adalah kompas manusia. Selama itu kita ikuti, kita tidak akan tersesat."

Pesan ini relevan dalam konteks pemerintahan. Pejabat yang memiliki hati nurani yang bersih tidak akan tergoda untuk mengambil keputusan yang melanggar nilai-nilai keadilan, meskipun tekanan politik atau ekonomi sangat besar.

Ironisnya, banyak orang yang justru takut mencoba hal baru (takut salah), tetapi tidak takut melanggar moral (berbuat salah). Ketidakseimbangan ini sering kali menjadi akar permasalahan di berbagai sektor, termasuk pemerintahan. Seorang pemimpin yang ideal adalah mereka yang berani mengambil risiko demi inovasi, tetapi tetap memiliki rasa takut yang sehat terhadap pelanggaran nilai dan hukum.

Dalam pemerintahan, kesadaran moral sangat diperlukan untuk menangani kasus-kasus sensitif, seperti penggunaan dana publik, reformasi birokrasi, atau proyek-proyek strategis. Salah satu pelajaran dari kasus korupsi besar adalah pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap keputusan. Ketakutan untuk berbuat salah harus menjadi prinsip dasar, bukan sekadar formalitas.

Lalu, bagaimana cara menjaga keseimbangan ini? 

Keberanian dan Kesadaran: Membangun Keseimbangan

Keberanian untuk mencoba dan kesadaran untuk tidak melanggar nilai adalah dua elemen yang saling melengkapi. Dalam kehidupan pribadi maupun pemerintahan, keduanya harus berjalan beriringan. Keberanian tanpa kesadaran moral bisa menjadi bumerang yang membawa kehancuran. Sebaliknya, kesadaran moral tanpa keberanian hanya akan melahirkan stagnasi.

Keberanian untuk mencoba hal baru adalah elemen penting dalam memecahkan masalah kompleks. Dalam pemerintahan, keberanian ini terlihat ketika pemimpin berani mengambil langkah strategis untuk mendorong reformasi, meskipun menghadapi kritik atau ketidakpastian. Contohnya adalah langkah pemerintah dalam mendorong digitalisasi layanan publik. Proyek ini tidak sempurna sejak awal dan kerap menghadapi berbagai hambatan teknis, namun dampaknya bisa mengurangi korupsi dan meningkatkan efisiensi.

Namun, keberanian ini harus terukur. Ketika seseorang terlalu berani hingga melanggar batas etika atau hukum, ia kehilangan arah. Dalam kasus korupsi Harvey Moeis, kita melihat bagaimana keberanian yang tidak diimbangi kesadaran moral berubah menjadi arogansi, di mana seseorang merasa kebal terhadap konsekuensi hukum atau sosial.

Kesadaran moral adalah penyeimbang dari keberanian. Ia memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tetap berada dalam koridor kebenaran. Dalam konteks pemerintahan, ini berarti memprioritaskan kepentingan rakyat di atas ambisi pribadi.

Nelson Mandela adalah contoh nyata pemimpin yang memiliki keseimbangan ini. Setelah dipenjara selama 27 tahun, ia tidak hanya berani memperjuangkan keadilan, tetapi juga menjaga kesadaran moralnya untuk tidak membalas dendam kepada mereka yang pernah menindasnya. Keberanian dan kesadaran moral inilah yang membuatnya dihormati sebagai pemimpin dunia.

Di era modern, menjaga keseimbangan ini menjadi semakin sulit. Media sosial, misalnya, sering mendorong orang untuk bertindak impulsif tanpa mempertimbangkan dampaknya. Dalam pemerintahan, tekanan untuk menunjukkan hasil cepat sering kali membuat pejabat mengabaikan proses yang benar. Namun, keseimbangan antara keberanian dan kesadaran moral tetap dapat dicapai dengan:

  • Transparansi: Membuka setiap proses pengambilan keputusan kepada publik.
  • Akuntabilitas: Bertanggung jawab atas setiap kebijakan, baik yang berhasil maupun yang gagal.
  • Pendidikan Moral: Memperkuat nilai-nilai etika di setiap jenjang pemerintahan.

Steve Jobs pernah berkata:

"Stay hungry, stay foolish."

Kutipan ini mendorong kita untuk terus mencoba dan tidak takut gagal, tetapi juga harus diiringi dengan refleksi mendalam agar setiap langkah yang diambil tetap bermakna dan tidak merugikan orang lain.

Keseimbangan antara keberanian dan kesadaran moral adalah fondasi dari pemerintahan yang baik. Ketika pejabat memiliki keberanian untuk bertindak tetapi tetap takut melanggar nilai, mereka tidak hanya membawa perubahan, tetapi juga mempertahankan kepercayaan publik.

Lalu, bagaimana membangun sistem yang mendukung keseimbangan ini secara kolektif?

Membangun Budaya Integritas: Pilar Keberanian dan Kesadaran Moral

Keberanian untuk bertindak dan kesadaran untuk tidak melanggar nilai-nilai moral membutuhkan dukungan dari sistem dan budaya yang kondusif. Dalam pemerintahan, ini berarti menciptakan lingkungan di mana integritas menjadi nilai utama. Tanpa budaya integritas, individu yang berani bertindak dengan moral yang tinggi akan mudah tenggelam dalam arus pelanggaran sistemik.

Budaya integritas adalah lingkungan di mana kejujuran, akuntabilitas, dan tanggung jawab menjadi prinsip utama dalam setiap keputusan dan tindakan. Budaya ini tidak hanya dipegang oleh individu, tetapi juga diinternalisasi oleh institusi dan sistem yang ada. Dalam konteks pemerintahan, budaya integritas memastikan bahwa keberanian untuk bertindak tidak pernah melenceng dari koridor etika dan hukum.

Komponen Utama Budaya Integritas:

1. Kepemimpinan Berintegritas

Pemimpin adalah teladan utama dalam membangun budaya integritas. Pemimpin yang memiliki keberanian dan kesadaran moral akan menciptakan efek domino di dalam institusi yang dipimpinnya. Nelson Mandela, misalnya, tidak hanya menjadi simbol keberanian, tetapi juga integritas dalam setiap tindakannya.

2. Sistem Transparansi dan Akuntabilitas

Budaya integritas hanya dapat berkembang jika ada sistem yang mendorong transparansi dan akuntabilitas. Dalam pemerintahan, ini berarti memastikan bahwa setiap kebijakan, proyek, atau anggaran dapat diawasi oleh publik. Misalnya, penggunaan teknologi seperti e-budgeting atau e-government dapat meminimalkan peluang korupsi.

3. Pendidikan dan Pelatihan Etika

Integritas bukanlah sifat bawaan; ia perlu diajarkan dan dilatih. Pemerintah dapat menyelenggarakan program pelatihan etika untuk pejabat publik, memastikan mereka memahami pentingnya moralitas dalam setiap keputusan yang diambil.

4. Sanksi yang Tegas

Budaya integritas hanya akan efektif jika ada konsekuensi nyata bagi mereka yang melanggar. Kasus seperti korupsi Rp271 triliun menunjukkan perlunya penegakan hukum yang tegas untuk memberikan efek jera dan mencegah pelanggaran serupa.

Di Indonesia, membangun budaya integritas di tengah tantangan korupsi sistemik bukanlah hal yang mudah. Namun, langkah-langkah seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), implementasi sistem digital dalam pelayanan publik, dan reformasi birokrasi adalah upaya yang patut diapresiasi. Meski belum sempurna, langkah-langkah ini menunjukkan bahwa membangun budaya integritas adalah proses yang membutuhkan komitmen jangka panjang.

John C. Maxwell, seorang pakar kepemimpinan, pernah berkata:

"Leadership is not about titles, positions, or flowcharts. It is about one life influencing another."

Kutipan ini relevan dalam konteks budaya integritas. Pemimpin yang berintegritas tidak hanya memberikan instruksi, tetapi juga memengaruhi orang lain untuk mengikuti jejak moral yang benar.

Budaya integritas tidak hanya penting untuk saat ini, tetapi juga untuk masa depan. Dengan menciptakan sistem yang mendukung keberanian bertindak tanpa melanggar nilai, kita mewariskan generasi mendatang sebuah pemerintahan yang kuat, bersih, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.

Membangun keseimbangan antara keberanian bertindak dan kesadaran moral bukanlah tugas yang mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. Kasus-kasus besar seperti korupsi Rp271 triliun memberikan pelajaran pahit tentang pentingnya keberanian yang terarah dan integritas yang teguh. Refleksi dari perjalanan ini tidak hanya berlaku untuk pejabat publik, tetapi juga untuk setiap individu dalam menjalani kehidupannya.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

1. Keberanian yang Berakar pada Nilai

Keberanian untuk bertindak harus berakar pada nilai-nilai moral yang kuat. Dalam kehidupan sehari-hari, ini berarti berani mengambil risiko untuk kebaikan bersama, seperti menyuarakan kebenaran meski menghadapi tekanan sosial. Dalam pemerintahan, ini berarti membuat kebijakan berani yang berpihak pada rakyat, meskipun menghadapi tantangan besar.

2. Kesadaran Moral Sebagai Penjaga Integritas

Kesadaran moral adalah fondasi yang menjaga agar keberanian tidak berubah menjadi arogansi atau pelanggaran. Dalam konteks apapun, memiliki hati nurani yang bersih akan memastikan bahwa setiap tindakan kita membawa manfaat, bukan kerugian.

3. Budaya Kolektif yang Mendukung Perubahan

Kesadaran moral tidak cukup jika hanya dimiliki individu. Diperlukan budaya kolektif yang mendukung keberanian bertindak dengan integritas, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun institusi pemerintahan.

Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Setiap orang memiliki peran dalam membangun keseimbangan ini, baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat. Berikut beberapa langkah praktis yang dapat diambil:

  • Memperkuat Pendidikan Moral: Di sekolah, keluarga, dan masyarakat, pendidikan tentang nilai-nilai moral harus menjadi prioritas.
  • Berani Menolak Pelanggaran: Jangan takut untuk berkata "tidak" pada tindakan yang melanggar norma, bahkan jika hal itu sulit.
  • Mendukung Transparansi: Sebagai warga negara, kita bisa mendorong transparansi di pemerintahan dengan memanfaatkan hak kita untuk mengawasi dan memberikan masukan.
  • Meningkatkan Kesadaran Diri: Mulai dari introspeksi, tanyakan pada diri sendiri: apakah setiap keputusan yang saya ambil telah sesuai dengan nilai-nilai moral?

Sebagai penutup, mari kita renungkan perkataan Eleanor Roosevelt:

"Kebaikan bukan hanya apa yang kita lakukan, tetapi juga apa yang kita pilih untuk tidak lakukan ketika kita bisa berbuat salah."

Ungkapan ini mengingatkan bahwa keberanian dan kesadaran moral adalah pilihan yang harus kita ambil setiap hari.

Dengan mempraktikkan keberanian bertindak yang bertumpu pada kesadaran moral, kita tidak hanya memperbaiki diri sendiri, tetapi juga berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Mari kita mulai perubahan ini dari diri sendiri, hari ini juga.

Coretan di ujung senja""""

by. Khusnul Mubarok

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun