Di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh hamparan sawah, seorang guru memulai harinya dengan semangat yang tak pernah surut. Ia bangun pagi-pagi, menyiapkan bahan ajar seadanya, dan berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Kelas yang ditemuinya adalah ruang sederhana dengan meja dan kursi yang sebagian sudah reyot. Di dinding, beberapa peta lusuh tergantung, menjadi saksi perjuangan bertahun-tahun untuk memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak desa itu.
Namun, perjuangannya tidaklah mudah. Ia tidak hanya menghadapi tantangan dari segi fasilitas, tetapi juga kondisi ekonomi para siswanya. Banyak anak-anak yang datang ke sekolah dengan perut kosong karena keluarga mereka berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi sang guru, ini adalah dilema yang menyakitkan: bagaimana bisa anak-anak itu belajar dengan baik jika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi?
Di sudut lain, seorang siswa duduk di depan meja kayu yang sudah penuh coretan. Ia memandangi buku pelajaran yang sampulnya sudah lepas. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia mencoba memahami materi yang diajarkan gurunya. Namun, keterbatasan alat peraga dan teknologi membuat pembelajaran terasa kaku. Di sekolah ini, tidak ada proyektor, apalagi akses internet. Jika ingin belajar menggunakan teknologi, mereka harus pergi ke kota terdekat, sesuatu yang hampir mustahil bagi banyak dari mereka.
Kisah seperti ini bukanlah hal baru. Di banyak tempat di Indonesia, kondisi serupa masih menjadi kenyataan. Tahun 2024 seharusnya menjadi momentum kebangkitan pendidikan dengan berbagai program yang diluncurkan pemerintah. Namun, seperti yang terlihat di desa ini, upaya tersebut belum sepenuhnya menjangkau daerah-daerah terpencil.
Para guru di desa itu tidak menyerah. Mereka tetap mengajar dengan hati, menggunakan kreativitas untuk menyiasati keterbatasan. Salah satu guru menceritakan bahwa ia sering menggunakan benda-benda sederhana seperti daun, batu, atau barang bekas sebagai alat bantu mengajar. "Kami tidak punya banyak pilihan. Tapi yang penting anak-anak belajar sesuatu," katanya dengan senyum getir.
Semangat para guru dan siswa di desa-desa seperti ini mencerminkan kekuatan dan ketahanan luar biasa. Namun, mereka juga menjadi pengingat bahwa perjuangan pendidikan di Indonesia masih panjang. Apakah harapan mereka akan terwujud? Ataukah mereka akan terus berjuang sendirian di tengah keterbatasan?
Dengan segala lika-liku yang ada, pendidikan Indonesia adalah cermin perjalanan bangsa ini. Apa yang terjadi di ruang-ruang kelas sederhana itu adalah cerminan dari bagaimana kita memandang masa depan generasi penerus. Di balik senyum para guru dan siswa, tersimpan sebuah pesan: mereka tidak meminta kemewahan, hanya kesempatan untuk belajar dan berkembang.
Digitalisasi: Antara Harapan dan Hambatan
Di tengah hiruk-pikuk upaya meningkatkan kualitas pendidikan, digitalisasi menjadi salah satu fokus utama. Pemerintah gencar memperkenalkan platform pembelajaran daring, memberikan pelatihan bagi guru, serta menyediakan perangkat teknologi untuk sekolah-sekolah. Namun, realita di lapangan menunjukkan bahwa digitalisasi masih menjadi tantangan besar, terutama bagi daerah-daerah yang jauh dari pusat kota.
Seorang siswa di sebuah desa terpencil, misalnya, bercerita bagaimana ia harus memanjat bukit untuk mendapatkan sinyal internet yang stabil. Di keluarganya, hanya ada satu ponsel yang digunakan bersama-sama oleh lima orang, sehingga waktu belajarnya sangat terbatas. "Kadang saya harus bangun jam tiga pagi supaya bisa belajar tanpa gangguan," tuturnya. Hal ini mencerminkan realitas bahwa meski teknologi sudah menjadi bagian penting dalam pendidikan, akses terhadapnya masih sangat timpang.
Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa hanya 40% sekolah di daerah terpencil yang memiliki akses internet memadai pada 2024 (Kemendikbud, 2024). Bahkan, di beberapa wilayah, listrik saja belum tersedia sepanjang waktu. Hal ini memperparah kesenjangan antara sekolah di perkotaan yang sudah menikmati pembelajaran berbasis teknologi dengan sekolah di pelosok yang masih mengandalkan metode konvensional.