Jam pulang sekolah sudah tiba. Saya dan Krisma Yuanti, S.Sos, mengajak Mrs. Shellee untuk kulineran, makan nasi serta makanan tradisional yang ada di Kota Banjar. Kepala sekolah kami, Dr. Endang Mulyadi menyarankan agar membawa Mrs. Shellee ke Bulak, area kuliner di kecamatan Langensari, untuk menikmati "tutut" alias keong sawah (Pila ampullacea) di sana.Â
Singkat cerita, kami pun tiba di Bulak.  Makan di warung makan bambu bernama "Bale Talupuh", dikipasi semilir angin pinggir sawah, membuat kami terbebas dari rasa lelah. Sembari menunggu makanan selesai dimasak, kuseruput minunan favoritku, kopi hitam dikocek 17 kali, he-he.Â
Namun, saat disuguhi "tutut", Mrs. Shellee malah nyengir dan sedikit bergidik he-he. Akhirnya dia memesan cobek belut dan nasi putih, memakannya dengan lahap. Mrs. Shellee menatap keheranan sembari tersenyum saat melihat saya dan Krisma makan tutut dengan nikmatnya. Ah dasar, bule memang tidak tahu berapa lezatnya tutut ini.Â
Selesai makan, kami pun beranjak pergi, dan sebelumnya si pemilik warung makan "Bale Talupuh" dengan senang hati memfoto kami menggunakan HP saya. Dia pun menggunakan HP miliknya untuk memotret kami, mungkin akan dijadikannya sebagai kenang-kenangan serta promosi di medsos karena jarang-jarang ada bule yang makan di tempatnya.Â
Tak seperti keberangkatan, pulangnya kukemudikan mobil dinas SMAN 3 Banjar melalui Langensari dan melintasi wilayah Jawa Tengah via jembatan yang menghubungkan Langensari dengan desa Madura Kecamatan Wanareja. Kuambil jalan berbeda dengan saat berangkat supaya tidak membuat jenuh dan menambah pengalaman untuk Mrs. Shellee.Â
Memasuki jalan nasional sejauh beberapa kilometer, kami memasuki wilayah perbatasan Jabar Jateng yang menghubungkan Kecamatan Dayeuhluhur Cilacap, dengan Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Patroman.Â
Tempat ini sering kulalui, namun tak pernah sekalipun saya mampir untuk berfoto selfie. Tapi saat kami sedang menemani Mrs. Shellee, guru mitra kami dari Aussy ini, dia meminta saya meminggirkan mobil karena tertarik melihat patung Pangeran Diponegoro yang gagah perkasa di atas seekor kuda, serta patung harimau beserta prajurit Siliwangi di sebelah selatan jalan nasional, perbatasan Jawa Barat - Jawa Tengah.Â
Tugu-tugu di sana dihiasi untaian kata mutiara berbahasa Sunda kuno, yang jika ditelisik maknanya, sungguh luar biasa mendalam. Pesan para leluhur kepada generasi penerusnya, untuk hidup mengikuti aturan, jangan menyakiti orang lain, mensyukuri segala nikmat yang diberikan Tuhan, serta selalu berbuat baik pada sesama. Berkali-kali Mrs. Shelle menanyakan makna kata-kata bijak yang maknanya kupahami dari terjemahan di bawah kata-kata mutiara Sunda kuno tersebut, he-he.Â
Salah satu pesan leluhur Sunda tersebut adalah "aya ma nu ngeusi dayeuh iweu ulah batenga bisi kakereh" yang artinya generasi muda sebagai pengisi kota, jangan bersikap gegabah atau sewenang-wenang agar hidupnya tidak celaka.Â
"Tigin kana jangji, bela kana lisan" mengandung makna bahwa seorang ksatria harus memegang teguh pada janjinya, dan kata-katanya harus bisaa dipegang agar hidup kita terhormat dan dihargai oleh orang lain. Sungguh sebuah kata bijak yang bermakna sangat dalam yang ditanamkan oleh para pemimpin di masa silam.Â
Kurang lebih setengah jam kami berada di area perbatasan antara Kecamatan Dayeuhluhur Kabupaten Cilacap dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Purwaharja Kota Banjar Jawa Barat ini.Â
Meski bukan area wisata yang ramai dikunjungi orang, namun menurut saya, tempat ini cocok dijadikan tempat istirahat bagi yang sedang berada di perjalanan lintas provinsi Jabar - Jateng.Â
Berada di tugu perbatasan ini pun, ingatan kita akan melayang pada perjuangan pangeran Diponegoro, serta perjuangan prajurit Siliwangi dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.Â
Mrs. Shellee mengatakan akan mengajak suaminya, Steve, yang merupakan seorang guru Sejarah, untuk datang ke tempat ini di pertengahan 2024. Orang bule memang sangat menghargai karya-karya bernilai sejarah, meskipun di mata kita rakyat Konoha, karya tersebut dianggap biasa saja. He-he.Â
Sore hari itu pun kami kembali pulang ke Kota Banjar, mengantarkan Mrs. Shellee ke tempat menginapnya selama dua pekan di sebuah Guest House yang paling dekat dengan lokasi SMAN 3 Banjar. Bukannya kami tidak mau menampung beliau di rumah kami, namun kami minder, karena keadaan rumah yang kurang bonafid untuk ditinggali tamu dari luar negeri. He-he.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H