"Teh, aku mau pamit dulu ke Akah," kataku. Namun waktu itu Teteh mencegahku karena mobil bak yang membawa barang-barang sudah datang.
"Nanti lagi juga kamu bisa ikut teteh ke sini sekalian bimbingan skripsi," kata kakakku. Aku pun menurut. Aku pergi ke Garut tanpa pamit ke Akah. Kelas 4 aku bersekolah di SDN 2 Ciparay Garut.
Kehilangan yang Mendalam
Di kontrakan yang baru kami tempati di Jalan Candramerta Garut, aku sedang mengasuh keponakanku yang masih bayi, Fredi anak pertama Teteh. Kakakku kala itu pergi ke Bandung mengurus skripsinya. Sore hari, Teteh pulang dari kampusnya. Pelan-pelan dia memberitahuku bahwa Akah telah dipanggil Yang Maha Kuasa.
Ingin rasanya aku berteriak saat itu. Aku yang masih kelas 4 SD, tak punya kekuatan untuk pergi ke Bandung, sekedar bertakziyah ke rumah sahabatku. Aku hanya meneteskan air mata. Batin ini teriris. Sahabat terbaikku pergi. Gemerincing koin 25 rupiah sebagai awal persahabatan yang ikhlas, masih melekat di memoriku hingga kini. Setelah dewasa, aku bisa menduga, dilihat dari gejalanya, kemungkinan Akah terjangkit thypus.
Saat cerita ini kutulis pun, hati ini terasa perih. Kerinduan kepada sahabatku ini masih menghinggapiku. Nama Suhada alias Akah takkan hilang hingga aku tutup usia. Setiap kali aku menginjakkan kaki di Kota Bandung, ingatanku langsung melayang ke tahun 1988-1989 dan terbayang wajah sahabatku Akah. Lantunan do'a selalu kukirimkan untuk sahabatku, yang menjadi penawar kepedihanku ketika terdampar sebagai korban broken home di Ciporeat.
Banjar, 12 Januari 2
Didedikasikan untuk almarhum sahabatku, Suhada alias Akah, semoga engkau termasuk meninggal dalam keadaan syahid, sesuai namamu. Al Fatihah. Semoga kelak kita dipertemukan kembali di surga Allah SWT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H