Sedikit flashback, saat kami masih rumah tangga orangtuaku masih utuh, kakak-kakakku A Akum, A Aep, A Gungun, Teh Papat, Teh Tuti, dan adikku Sandra, meramaikan suasana rumah yang penuh suka duka. Bahagia yang tidak terkira. Berbeda ketika aku harus tinggal dengan Tetehku yang sering ditinggal pergi ke kampus. Kakak iparku pulang seminggu sekali. Otomatis, aku sering menyendiri di kontrakan.
Jika aku rindu adikku, Sandra, yang kala itu masih berumur 2 tahun, aku hanya memandang klise fotonya saja sembari menangis, yang aku sendiri lupa, dari mana kudapatkan klise tersebut. Di klise ukuran 3x4 berwarna coklat itu, kulihat bayangan adikku sedang duduk dan kedua kakinya berselonjor.
Pokoknya, kehadiran Akah dalam kehidupan rantauku menjadi obat kesedihan kala itu.Â
Akah tidak Berangkat Sekolah
Suatu hari, kelas 3 triwulan ke-4, Akah tidak datang menjemputku. Saat tiba di sekolah pun, aku tak melihat batang hidungnya. Sepulang sekolah, aku mengunjunginya. Ternyata dia sedang sakit. Kulihat wajahnya sedikit pucat. Aku sedih melihat temanku terbaring lemah.
Berhubung aku masih polos, dan tidak tahu apa penyakitnya, aku pun pulang sembari berharap dia akan masuk sekolah keesokan harinya.
Namun berhari-hari kutunggu, Akah tak kunjung datang. Kala itu aku berinisiatif untuk mengajak teman-teman sekelas menjenguknya. Aku sengaja tidak jajan hari itu untuk kuberikan pada Akah. Aku pun meminta teman-temanku untuk memberikan uang jajan mereka seikhlasnya.
Aku masih ingat, kurang lebih 400 rupiah terkumpul saat itu. Sepulang sekolah, kami menjenguk Akah ramai-ramai, kurang lebih jarak 1,5 km dari sekolah ke rumahnya. Tanpa memakai amplop, kuserahkan uang 400 rupiah tersebut pada ibunya Akah yang menangis saat melihatku membawa rombongan.
Mungkin beliau terharu, melihat anak kecil yang sangat mempedulikan sahabatnya. Kulihat Akah terbaring lemas. Seperti biasa, dia selalu tersenyum jika berjumpa denganku. Tak tahu kenapa, ikatan batin kami terjalin begitu kuat. Ikatan persahabatan yang murni tanpa kepentingan. Aku bersalaman dengannya saat pamit pulang. Terasa ada yang hilang di jiwaku saat itu.
Pindah ke Garut
Kurang lebih dua minggu setelah menengok Akah ramai-ramai, kami harus mengikuti THB (Tes Hasil Belajar). Aku pun disibukkan dengan belajar, karena Tetehku meminta agar nilai raporku jangan sampai jelek. Setelah pembagian rapor, Teteh memberitahu bahwa kami harus segera pulang ke Garut, karena Teteh sudah menyelesaikan studi, dan tinggal menyusun skripsi.