Mohon tunggu...
Ahmad Sahidin
Ahmad Sahidin Mohon Tunggu... lainnya -

www.albanduni.wordpress.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cinta Pengikut Yesus kepada Muhammad

17 November 2009   03:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18 2773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Testimoni untuk Fahd Djibran, Tasaro GK, dan Sang Penggenggam Hujan: Sebuah Novel tentang Muhammad)

Setiap manusia bertanggung jawab pada segala hal yang dipahaminya dalam level teori; cinta dan hal beriman kepada Tuhan. Setiap hari pikiran manusia menumpuk berbagai konsep tentang cinta dan Tuhan. Kita tak pernah lelah menganalisa kejadian demi kejadian yang kita alami, menjadi hakim atasnya yang dengan sesuka hati memutuskan mana yang salah dan mana yang benar, mana yang seharusnya terjadi dan mana yang tidak perlu terjadi. Cinta dan Tuhan pun kemudian menjadi sesuatu yang berbeda dalam setiap kepala. Keduanya memang tak perlu sama. Saya punya konsep dan teori sendiri yang mungkin berbeda dengan yang anda miliki, demikian sebaliknya.

Ribuan bahkan mungkin jutaan buku sudah dan sepertinya tetap akan ditulis sebagai dedikasi untuk cinta dan Tuhan. Hingga saat ini, bahkan kelak jika ramalan Nostradamus tentang kiamat 2012 terbukti benar, kedua hal itu sepertinya tetap akan menjadi sesuatu yang tidak bisa digeneralisasi. Sesuatu yang tidak bisa dikalimatkan dalam satu konfigurasi kata-kata absolut yang disepakati bersama oleh semua kepala yang pernah merumuskannya.

Saya seorang Kristen; pengikut Yesus yang mengimani Dia sebagai manusia dengan citra Tuhan seutuhnya. Butuh semua keberanian dan ketulusan hati yang saya punya untuk menuliskan kalimat itu. Beberapa tahun belakangan bahkan hingga detik ini, saya masih hidup dalam pergumulan dengan itu. Mengimani Yesus sebagai inkarnasi Tuhan. Tak jarang saya bahkan mengingkari dan menafikanNya sementara tanpa tak kenal malu saya selalu mengatakan ‘Kristen’ ketika ada yang menanyakan agama yang saya anut.

Ketika mendengar Islam, tahukah anda apa yang muncul di kepala saya? Dengan segenap kejujuran saya mengatakan bahwa ‘poligami’, ‘terorisme’, ‘puasa yang dipamer-pamerkan’, ‘jihad’, dan ‘azan yang mengganggu tidur siang’ adalah imej yang selalu saya kaitkan dengan Islam. Sebuah agama yang menganggap kami, orang Kristen, sebagai kaum kafir calon penghuni neraka. Ini membuat saya agak takut bergaul dengan kaum Muslimin. Namun, saya yakin ada yang salah dalam pemikiran saya. Saya mengamini bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, namun saya harus jujur mengatakan bahwa Islam yang saya tahu tidak seperti itu.

Beberapa bulan yang lalu, saya mendatangi seorang Muslim di Yogyakarta. Saya mengenal pemikiran-pemikirannya lewat sebuah blog. Dengan sedikit nekat, saya menawarkan untuk janjian bertemu. Di sebuah café, kami mengobrol santai selama dua jam lebih. Dan tahukah anda apa yang saya rasakan saat itu? Saya kesulitan menjelaskannya secara rinci. Ketika menceritakannya kepada beberapa kawan Kristen saya, mereka malah menganggap saya sedang berencana menjadi mualaf. Kami membincangkan banyak hal tentang Tuhan; Kristen dan Islam. Saya mengajukan protes tentang beberapa ajaran Islam yang membuat saya tidak nyaman. Bukan bantah-bantahan bukan pula debat kusir yang kemudian terjadi, saya malah (alhamdulillah) mendapatkan begitu banyak konfirmasi yang menyamakan persepsi yang semula keliru. Trinitas menjadi kongruen dengan Nur Muhammad. Saya melihat iman Kristen melalui penjelasan Islami. Menurut beliau, Islam adalah berserah. Bagi saya, itu tidak ada bedanya secara esensi dengan Kristen yang saya pahami; saya adalah manusia berdosa dan membutuhkan seorang Juruselamat untuk mendapatkan keselamatan. Dan itu sudah diberikan Tuhan lewat pengorbanan Kristus di kayu salib. Anda boleh tidak percaya, tapi ketika berbincang tentang Tuhan dengan beliau, saya melihat pendaran cahaya halus membungkus tubuhnya.

Beberapa bulan kemudian, lewat sebuah cara yang sangat tidak lazim dan hingga kini kadang masih tidak saya sangka, saya berkenalan dengan seorang Muslim yang lain. Sekalipun saya sudah mendapat ‘pencerahan’ lewat diskusi dengan Fahd Djibran di Yogyakarta tentang Islam, tetap saja saya masih punya keberatan-keberatan tentang Islam. Muslim dari dunia maya ini kemudian menjadi seseorang di mana saya bercermin; guru, sahabat, motivator, sekaligus saudara kembar non-biologis. Dengannya, saya menggila. Deretan caci maki dan umpatan kasar saya berikan padanya, bahkan ketika membincangkan agama kami masing-masing. Anda tahu reaksinya seperti apa? Beliau memeluk saya hingga remuk. Suatu malam di Bandung – mungkin salah satu durasi singkat di mana saya berada dalam kondisi paling sadar sepanjang hidup saya – saya hanya sanggup berbahasa dalam isak tangis dan derai tawa yang silih berganti. Kemanusiaan saya terasa sungguh tak ada artinya. Saya merasa ada sesuatu – entah Apa entah Siapa – yang hadir. Beliau memegang pundak saya dan berkata, “Kamu melihat Yesus, bukan?” Saat itu, sekujur tubuh saya merinding dalam kebahagiaan yang tak terkira, hanya sanggup terespon berupa isak tangis yang makin menjadi-jadi. Lirik lagu Amazing Grace saya lantunkan dalam melodi yang tidak karuan, tumpang tindih dengan isak tangis yang sangat tidak harmonis. Seorang muslim menunjukkan kepada saya bahwa Yesus itu benar-benar ada.

Saat ini, ‘cermin’ itu, Tasaro GK, sedang menulis sebuah buku. Saya sungguh terhormat mendapat kesempatan membaca draft awalnya dan sedikit-sedikit menjadi editor dadakan meski hanya sekadar mengedit kata-kata yang salah ketik. Muhammad, seorang Nabi yang kehadiranNya dinubuatkan oleh kitab suci agama-agama lain termasuk Kristen. Membacanya membuat saya lebih mengenal Muhammad, seorang suami bagi beberapa istri. Konsep poligami yang saya pahami sebelumnya berubah total. Ajaran tentang ‘kasihilah musuhmu’ yang dulu setahu saya hanya ada dalam Kristen, ternyata juga ada dalam Islam. Saya mengetahuinya lewat novel itu. Sebagi sebuah novel, buku ini tidak lepas dari keindahan alur cerita dan kejutan-kejutan yang menurut saya pribadi sebaiknya ada di setiap novel. Namun, yang lebih bermakna dari itu adalah saya lebih nyaman memelajari Islam yang dikemas dalam bentuk novel dibandingkan dengan membaca buku-buku tentang Islam lainnya dalam format yang berbeda.

Mengenal kedua orang di atas adalah anugerah yang luar biasa bagi saya. Saya bisa memelajari Islam tanpa perlu merasa sedang di-Islamkan. Membaca ‘Sang Penggenggam Hujan’ adalah kebahagiaan tak terhingga bagi saya. Saya dikenalkan dengan Muhammad tanpa harus menafikan ke-Tuhanan Yesus. Saya mengamini kalimat Syahadat tanpa perlu meragukan kebenaran Pengakuan Iman Rasuli.

Mungkin ada yang akan bertanya, kenapa tidak masuk Islam? Jika ada, saya akan balik bertanya, kenapa harus masuk Islam? Masalah beragama bagi saya adalah soal kenyamanan. Hingga saat ini, saya masih sangat nyaman dengan Kristen. Dan, berbicara tentang kenyamanan, adakah standar umum yang bisa dipakai? Saya kira tidak ada. Kenyamanan sangat subjektif. Mungkin terlalu naïf jika alasan saya belum berpikiran untuk pindah agama adalah karena saya masih merindukan Natal yang syahdu, masih sering merinding mendengar dan menembangkan sendiri kidung puji-pujian bagi Yesus. Semoga itu cukup.

Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Begitu pula dengan teori tanpa praktik. Saat ini, sebagian besar keimanan saya masih ada dalam fase teori, masih jauh dari ranah praktis. Butuh keberanian bagi saya untuk menuliskan testimoni ini. Sebuah ‘tantangan’ bagi saya untuk berhenti mengonsep dan lebih banyak berbuat. Kadang terbersit dalam pikiran saya untuk berhenti menumpuk teori. Lebih baik tidak tahu daripada tahu tapi tidak sanggup mempraktikkannya. Namun, sepertinya kita tidak bisa memilih untuk itu. Masalahnya bukan bagaimana menolak semua teori masuk ke dalam kepala, melainkan bagaimana teori yang ada dalam kepala kita mewujud dalam kehidupan nyata lewat kata-kata, pikiran, dan perbuatan.

Testimoni ini pun adalah teori, sebuah konsep yang ada dalam kepala saya. Menuliskannya tidak bermaksud untuk menunjukkan bahwa saya tahu sesuatu, entah apa itu. Kekristenan saya masih jauh dari citra Kristen yang sesungguhnya. Entah darimana saya mendapatkan keberanian untuk memelajari agama lain sementara agama saya sendiri belum saya amalkan dengan baik. Membandingkan Islam dengan Kristen tidak saya lakukan untuk mencari mana yang lebih benar. Saya hanya ingin lebih bisa toleran terhadap Islam, juga agama dan kepercayaan yang lain. Semoga tidak ada yang salah dengan setiap pencarian yang saya lakukan. Lewat testimoni ini, saya ingin mengekspresikan ungkapan syukur saya kepada hidup yang secara tidak kebetulan sudah mengenalkan saya dengan Fahd Djibran, Tasaro GK dan ‘Sang Penggenggam Hujan’.

-Rampa Maega-

Sebuah tempat di rimba Kalimantan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun