Mohon tunggu...
Abah Amin
Abah Amin Mohon Tunggu... Pengelola Media Online, Penulis, Pengurus Komunitas Berbasis Pemberdayaan Masyarakat -

Hobi menulis, blogger (seputar wisata Bandung, wisata Jabar, dan blog pendidikan), aktivis komunitas pemberdayaan masyarakat di Bandung, dan pengelola akun media sosial promosi wisata Bandung. Menjadikan kegiatan menulis sebagai media katarsis. Berpikir, berkarya, dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Orok

10 November 2010   15:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mas Edi semakin jarang pulang ke rumah. Desas-desus yang aku terima, ia punya idaman lain. Iya, Tuhan...aku yang salah. Dokter Ali benar: aku yang tak bisa punya anak! Cukup. Ini sudah menjadi “hukumanku”. Tak salah jika Mas Edi punya harapan lain yang selama ini menjadi sumbu kekisruhan harmonisnya rumah tangga kami.

Pagi ini aku menikmatinya sendiri. Tak ada senyuman dan suami menemaniku.

***

Kumandang adzan subuh hanya yang kudengar saat perut ini sakit luar biasa. Di kost-an aku hanya sendiri. Pemilik rumah dan keluarganya pergi ke luar kota. Penghuni kamar sebelah sedang cuti dan liburan ke Bali.

Wajah Wahyu! Bunda dan Papa. Kumandang adzan subuh. Keringat. Mulas. Sakit. Bercak darah. Dunia berputar. Aku ingat si Momot, kucing kesayanganku di rumah, yang waktu SMP dulu kubantu melahirkan anak-anaknya. Aku? Tak ada siapapun yang peduli. Aaaaaargh!

Tubuh lemas luar biasa. Mati-hidup di ujung tanduk. Wajah Wahyu berkelebat! Di kamar ini juga dengan sejuta nista hancur punah oleh kesakitan ini.

Bau menganyirkan ruangan. Wajah itu, hanya kulihat kilasan Wahyu di mukanya. Dunia dan keadilan tak pernah mendukungku!

Matahari mulai menembus kaca jendela kamar yang masih tertutup gorden. Suara itu harus senyap sebelum orang-orang sadar. Tuhan, ia seperti boneka berdaging. Sekuat tenaga aku mengangkat badan. Jejak ini adalah penyesalan kedua yang mungkin harus kulalui. Harus!

***

Tanaman di halaman begitu segar. Anggrek yang kugantung dekat garasi semakin tumbuh. Aku puas. Tanaman ini menjadi penglipur kalbuku. Ah, di batang pohon bunga mawar itu: bakal kembang. Merah muda menyempil. Akan tumbuh menjadi bunga yang selalu kusukai nanti.

Saat aku akan mengambil pupuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun