Mas Edi semakin jarang pulang ke rumah. Desas-desus yang aku terima, ia punya idaman lain. Iya, Tuhan...aku yang salah. Dokter Ali benar: aku yang tak bisa punya anak! Cukup. Ini sudah menjadi “hukumanku”. Tak salah jika Mas Edi punya harapan lain yang selama ini menjadi sumbu kekisruhan harmonisnya rumah tangga kami.
Pagi ini aku menikmatinya sendiri. Tak ada senyuman dan suami menemaniku.
***
Kumandang adzan subuh hanya yang kudengar saat perut ini sakit luar biasa. Di kost-an aku hanya sendiri. Pemilik rumah dan keluarganya pergi ke luar kota. Penghuni kamar sebelah sedang cuti dan liburan ke Bali.
Wajah Wahyu! Bunda dan Papa. Kumandang adzan subuh. Keringat. Mulas. Sakit. Bercak darah. Dunia berputar. Aku ingat si Momot, kucing kesayanganku di rumah, yang waktu SMP dulu kubantu melahirkan anak-anaknya. Aku? Tak ada siapapun yang peduli. Aaaaaargh!
Tubuh lemas luar biasa. Mati-hidup di ujung tanduk. Wajah Wahyu berkelebat! Di kamar ini juga dengan sejuta nista hancur punah oleh kesakitan ini.
Bau menganyirkan ruangan. Wajah itu, hanya kulihat kilasan Wahyu di mukanya. Dunia dan keadilan tak pernah mendukungku!
Matahari mulai menembus kaca jendela kamar yang masih tertutup gorden. Suara itu harus senyap sebelum orang-orang sadar. Tuhan, ia seperti boneka berdaging. Sekuat tenaga aku mengangkat badan. Jejak ini adalah penyesalan kedua yang mungkin harus kulalui. Harus!
***
Tanaman di halaman begitu segar. Anggrek yang kugantung dekat garasi semakin tumbuh. Aku puas. Tanaman ini menjadi penglipur kalbuku. Ah, di batang pohon bunga mawar itu: bakal kembang. Merah muda menyempil. Akan tumbuh menjadi bunga yang selalu kusukai nanti.
Saat aku akan mengambil pupuk.