Mohon tunggu...
Abah Amin
Abah Amin Mohon Tunggu... Pengelola Media Online, Penulis, Pengurus Komunitas Berbasis Pemberdayaan Masyarakat -

Hobi menulis, blogger (seputar wisata Bandung, wisata Jabar, dan blog pendidikan), aktivis komunitas pemberdayaan masyarakat di Bandung, dan pengelola akun media sosial promosi wisata Bandung. Menjadikan kegiatan menulis sebagai media katarsis. Berpikir, berkarya, dan berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Orok

10 November 2010   15:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:43 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Tumben, pulang jam segini..” tanyaku ketus. Aku terus menyibukan diri dengan ke belakang rumah memeriksa jemuran pakaian.

“Minta izin setengah hari....” ia mengikutiku. Dasi dan sepatunya belum dibuka. Tak seperti awal menikah. Kecupan di dahi dan kewajibanku menyenangkan suami: membuka dasi dan menyimpan sepatu di rak, tak menjadi kebiasaan lagi. Hampa.

“Aku sudah tanya dokter Ali. Katanya kita harus check up lagi minggu depan untuk membuktikan siapa...”

“Yang mandul?!” jawabku meneruskan agak keras. Kuambil pakain di jemuran dengan pandang tak acuh. Suamiku bersender di pintu.

“Alaaaah! Hanya itu yang bisa kamu ucapkan? Hah?”

Hawa musim kemarau ini tiba-tiba terasa panas dan merasuk ubun-ubun. Kembali, emosi harus meledak lagi.
Aku tak berkata apa-apa lagi. Menyimpan pakaian di kamar. Air mata membuncah.

“Ma, kalau kita terus begini, apa jalan terbaik yang harus kita ambil?”

Aku tak peduli kutelungkupan wajahku ke bantal. Bayangan sumpah serapahnya tadi malam tidak cukup untuk membuatku berpikir dan bicara logis sekarang ini. Aku masih tak terima karena ia menuduhku yang tak punya bakat punya anak! Meladeni omongannya sama artinya aku harus siap kembali “berperang” di rumah ini.

“Ok. Aku minta maaf malam telah bicara kasar. Tapi aku yakin masih ada jalan untuk kita mendapatkan keturunan!”

Aku tetap terdiam. Padahal, inilah yang dari dulu aku kagumi pada Mas Edi. Ia berani meminta maaf jika melakukan kesalahan. Tapi, buntut kejadian malam tadi tetap membuatku belum bisa memaafkannya.

Rumah kembali sepi. Mas Edi masuk ke ruang kerjanya. Ia sudah mengerti sifatku yang tidak bisa dipaksa bicara jika aku belum bisa tenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun