“Tumben, pulang jam segini..” tanyaku ketus. Aku terus menyibukan diri dengan ke belakang rumah memeriksa jemuran pakaian.
“Minta izin setengah hari....” ia mengikutiku. Dasi dan sepatunya belum dibuka. Tak seperti awal menikah. Kecupan di dahi dan kewajibanku menyenangkan suami: membuka dasi dan menyimpan sepatu di rak, tak menjadi kebiasaan lagi. Hampa.
“Aku sudah tanya dokter Ali. Katanya kita harus check up lagi minggu depan untuk membuktikan siapa...”
“Yang mandul?!” jawabku meneruskan agak keras. Kuambil pakain di jemuran dengan pandang tak acuh. Suamiku bersender di pintu.
“Alaaaah! Hanya itu yang bisa kamu ucapkan? Hah?”
Hawa musim kemarau ini tiba-tiba terasa panas dan merasuk ubun-ubun. Kembali, emosi harus meledak lagi.
Aku tak berkata apa-apa lagi. Menyimpan pakaian di kamar. Air mata membuncah.
“Ma, kalau kita terus begini, apa jalan terbaik yang harus kita ambil?”
Aku tak peduli kutelungkupan wajahku ke bantal. Bayangan sumpah serapahnya tadi malam tidak cukup untuk membuatku berpikir dan bicara logis sekarang ini. Aku masih tak terima karena ia menuduhku yang tak punya bakat punya anak! Meladeni omongannya sama artinya aku harus siap kembali “berperang” di rumah ini.
“Ok. Aku minta maaf malam telah bicara kasar. Tapi aku yakin masih ada jalan untuk kita mendapatkan keturunan!”
Aku tetap terdiam. Padahal, inilah yang dari dulu aku kagumi pada Mas Edi. Ia berani meminta maaf jika melakukan kesalahan. Tapi, buntut kejadian malam tadi tetap membuatku belum bisa memaafkannya.
Rumah kembali sepi. Mas Edi masuk ke ruang kerjanya. Ia sudah mengerti sifatku yang tidak bisa dipaksa bicara jika aku belum bisa tenang.