Mohon tunggu...
Giwangkara7
Giwangkara7 Mohon Tunggu... Dosen - Perjalanan menuju keabadian

Moderasi, sustainability provocateur, open mind,

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mengejar Profesor

20 Mei 2024   21:36 Diperbarui: 20 Mei 2024   22:16 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Terdapat 308 Guru Besar dari Duapuluh ribu delapan ratusan Dosen Tetap di 170 an Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah di seluruh Indonesia. Prosentase 6,6 % dari kuantitas yang ada. Demikian menurut Prof. Jamhari Makruf, PhD. Pimpinan Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah yang hadir pada pengukuhan Guru Besar di Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka.  Pada Sabtu, 18 Mei 2024. B

eberapa perguruan tinggi milik Muhammadiyah telah berpredikat unggul pada akreditasi nasional perguruan tinggi. Mereka telah memiliki sistem dan finansial yang mapan dan profesional. 

Jenjang akademik bagi para dosen dibina dengan sistem yang baik, sehingga secara gradual penambahan profesor berlangsung dengan tertib dan teratur. Bagi perguruan tinggi kelas menengah dan bawah, menambah jumlah guru besar merupakan pekerjaan berat. Kalaupun bertambah akan melalui fase yang panjang.

Perguruan tinggi negeri mendapatkan pendanaan dari pemerintah. Mereka juga memiliki beberapa jenis yang berdampak bagi bagaimana mereka menambah pemasukannya. Swasta mengelola secara swakelola, dengan bantuan dari pemerintah. Pemerintah membuka peluang bagi perguruan tinggi swasta untuk mengakses pendanaan negara pada hibah tertentu.

Pencapaian Guru Besar adalah puncak jenjang akademik seorang dosen. Guru Besar masa lalu, dapat mencapainya dengan lebih mudah. Jaman saiki, mensyaratkan prasyarat yang lebih ketat, namun bukan tidak mungkin. Asalkan ada ketekunan dalam menjalankan tugas akademik seorang dosen. 

Seorang Guru Besar menyampaikan bahwa, untuk mencapai gelar tersebut perlu usaha dan doa. Selebihnya adalah berusaha keras agar tercapai segala yang diinginkan. 

Segala cara yang prosedural ditempuh, dengan sebaik-baiknya. Selebihnya lagi adalah berdoa dan ber-husnudz dzon. Yaitu berprasangka baik terhadap segala yang terjadi. Pertama karena Tuhan Maha Tahu apa yang memang terbaik bagi hamba-hambaNya. Kedua karena kalau memperjuangkannya dengan prasangka buruk, maka akan menjadi rasa sakit hati. Sakit hati akan membawa dampak kepada sakit jasmani. Apabila sakit jasmani ini berlanjut, maka nikmat hidup sedikit demi sedikit mulai dicabut dari diri kita.

Ambisi adalah kata kunci untuk meraih cita-cita. Ambisi mendorong untuk bekerja lebih tekun. Mereka yang meraih jabatan guru besar, mengerjakan ambisinya dengan kerja-kerja ilmiah. 

Beberapa jurnal ilmiah harus membayar sejumlah uang untuk bisa diterbitkan. Dan tidak semua dosen merelakan uang mereka untuk pembayaran publikasi jurnal ilmiah, karena satu dan lain hal. Ambisi para dosen untuk meraih Guru Besar ada, namun dengan gradasi yang berbeda-beda. Dari yang paling lemah sampai yang paling tinggi. Tergantung berbagai faktor yang melingkupi pribadi dan keluarganya. 

Di Indonesia saat ini masih banyak dosen yang digaji dibawah UMR. Bagaimana berani berambisi dan mimpi jika untuk menuju ke sana, perjalanannya tidak begitu mudah. 

Oleh karena itu, pencapaian guru besar di Indonesia akan berjalan lamban, kecuali ada satu kebijakan dari pemerintah yang membuka keran agar kuantitas guru besar meningkat. 

Pada satu sisi, pemerintah sudah membuka keran agar jumlah dokter spesialis meningkat. Pendidikan Dokter Spesialis berubah dari berbasis perguruan tinggi menjadi berbasis rumah sakit. Dengan demikian potensi untuk penambahan kuantitas dokter spesialis juga bertambah. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan dokter di Indonesia sangat mahal, ditambah dengan munculnya fenomena senioritas yang pada hakikatnya menjadi pintu bagi Tindakan kekerasan di dunia pendidikan berupa perundungan bagi mahasiswa junior oleh seniornya. Iklim ilmiah yang baik, mendorong pencapaian guru besar yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Modal. Untuk meraih ambisi, diperlukan modal. Tidak  semua orang memiliki modal untuk memperoleh gelar guru besar. Prioritas bisa berbeda. Prioritas pada anak, keluarga, dan lainnya bisa menurunkan ambisi meraih guru besar. Tetapi bisa juga karena ada konsekwensi finansial, maka ambisi guru besar semakin kuat. Modal intelektual penting, selain itu juga modal jejaring dan juga kemampuan teknis dalam penelitian dan berbagai proses di sekelilingnya.

Tridharma Perguruan Tinggi. Inti dari perguruan tinggi. Untuk menjadi Profesor, seseorang harus mengajar, meneliti, dan melakukan pengabdian kepada masyarakat. Poin yang pertama mudah, tetapi bagi beberapa orang akan sulit, jika program studi tempat bernaung memiliki kelebihan jumlah dosen. Penelitian juga bukan hal yang disukai oleh sebagian dosen. Mereka lebih menikmati proses pembelajaran daripada penelitian. Padahal penelitian adalah pembeda dosen dengan guru. Bahkan saat ini guru juga sudah didorong untuk melakukan penelitian .

Jenjang karir. Setiap orang bisa menjadi Guru Besar. Jenjang dimulai dari Dosen tanpa jenjang, namanya masih Tenaga Kependidikan. Karir pertama diperoleh dengan meraih Asisten Ahli. Dua tahun kemudian bisa meraih Lektor. Dua tahun selanjutnya Lektor Kepala. Dua tahun setelah itu mengajukan jadi Profesor. Ini paling cepat secara teori. Namun pada praktiknya setiap dosen memiliki pengalaman berbeda-beda. Sangat individual. Ada dosen yang memerlukan waktu 4 tahun menuju Asisten Ahli. 

Dari situ, menggapai Lektor dengan menempuh waktu 11 tahun. Karena dosen itu memiliki kesibukan sebagai pejabat struktural tertentu. Bahkan beberapa dosen, yang memiliki kelebihan finansial tertentu, tidak berminat sama sekali untuk menjadi Guru Besar. Ia lebih menikmati predikat dosen dengan cukup mengajar di depan mahasiswa. Tentu saja bagi perguruan tinggi hal ini dapat merugikan. 

Oleh karena itu perlu dikembangkan sistem yang mendorong dosen agar semangat untuk mencapai gelar guru besar. Misalnya ada insentif atau tunjangan berupa fulus bagi Profesor, selain yang diberikan oleh pemerintah.

Tujuan menghalalkan segala cara. The end justifies the means. Demikian dipelajari dari prinsip Machiavelli. Dogma tersebut tampaknya tidak semua orang sepakat. Karena bagi yang berpatokan pada etika, cara adalah penting. 

Meraih tujuan harus dengan cara-cara yang beretika. Jika cara yang ada tidak beretika, maka perlu untuk menahan diri untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap manusia mempunyai pedoman tertentu dalam mencapai tujuan tertentu. Pedoman itulah yang dilaksanakan dalam bentuk tindakan-tindakan. Pedoman umat Islam adalah ajaran Islam. Islam tidak mengajarkan Machiavellisme. Islam mengajarkan manusia untuk berambisi dalam menggapai ridha Allah. 

Bukan menjadi kaya saja, tetapi yang paling penting adalah bagaimana mengelola kekayaannya sesuai dengan kaidah islami. Menjadi profesor adalah penting, namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana dengan jabatannya tersebut dapat memberi manfaat bagi masyarakat yang lebih luas. Seorang di dunia pendidikan pernah berkata bahwa, kesuksesan seorang profesor adalah ketika ia mengkader lahirnya profesor-profesor muda dari hasil didikannya. 

Seperti pada proses Dokter Spesialis. Dokter Spesialis yang berhasil adalah dokter spesialis yang bisa mengkader dokter-dokter spesialis baru yang bahkan lebih ahli daripada dia sendiri. Hal ini tampaknya belum banyak dilakukan oleh para Profesor di Indonesia. Mereka lebih sibuk dengan diri sendiri daripada transfer keprofesoran bagi dosen-dosen muda potensial.

Kembali lagi ke hakikat guru besar secara filosofis. Ketika orang biasa, atau dosen biasa berbicara, maka perkataannya dianggap biasa saja, walaupun dia berbicara hal yang berbobot. Tetapi seseorang bergelar Profesor, maka hendaknya ia berbicara dengan ilmu. Tidak berbicara hal-hal yang teknikal, prosedural, dan dangkal. Tetapi berbicara sesuatu hal yang universal, mendalam, teoretis, bisa jadi praktikal tapi berbasis riset dan juga beretika keilmuan. 

Seseorang yang bergelar profesor bisa menerima perbedaan pandangan (secara ilmiah), dan memiliki kedewasaan dalam bergaul dan berinteraksi dengan semua kalangan masyarakat. Karena bisa jadi seseorang menjadi profesor pada bidang tertentu, tetapi di bidang lainnya ia bukanlah profesor. Seperti Profesor di Ilmu Farmasi, maka ia tidak akan kapabel jika berdiskusi membahas Politik Luar Negeri. 

Demikian pula seorang Profesor lmu IPendidikan tidak sepantasnya berbicara pada forum yang membahas bidang ilmu lain yang kontras dengan pengetahuan yang dimilikinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun