Mohon tunggu...
Ratih Apsari
Ratih Apsari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bersih Hatinya, Cerah Senyumnya

9 Oktober 2016   21:08 Diperbarui: 9 Oktober 2016   22:31 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo, Indonesia!

Nama saya Ratih, seorang pendidik pemula berkualifikasi sebagai dosen muda di sebuah universitas negeri di Bali. Salah satu profil lulusan di universitas kami adalah guru pada bidang tertentu. Khususnya di jurusan saya, yang memang mencetak pendidik matematika, walaupun tidak menutup kemungkinan jika lulusan bekerja di bidang lain.

Menjadi pendidik bagi seorang calon pendidik tentunya bukan hal yang sepele. Apa yang kita budayakan di kelas, itulah yang membudaya nantinya bagi para lulusan yang notabene akan menjadi pendidik masa depan.

Anggaplah dalam satu semester saya mengajar satu angkatan yang isinya 100 orang dan asumsikan seluruhnya menjadi guru nantinya. Setiap guru ini nantinya akan mengajar, anggaplah dalam 7 kelas setiap tahunnya dan dalam 1 kelas anggaplah ada 30 orang siswa. Bayangkan akan ada berapa siswa, generasi muda kita, yang akan berhadapan dengan lulusan-lulusan yang salah satunya pernah saya ajar dalam kelas kecil saya.

Jika tidak hati-hati, bayangkan berapa banyak anak Indonesia yang akan mendapat pendidikan yang tidak maksimal.

Apalagi kalau kita bicara kompetensi guru, tidaklah cukup hanya isi otaknya. Kembali merujuk pada isi Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dijelaskan pada Pasal 28 ayat 2 bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru, mulai dari untuk jenjang pendidikan anak usia dini, dasar hingga menengah, yang meliputi: kompetensi pedagogik, kompetensi professional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi professional berkaitan dengan penguasaan bidang ilmu. Kompetensi pedagogik berbicara tentang keterampilan guru dalam mengajar dengan memperhatikan kondisi anak, kebutuhan anak, kondisi lingkungan dan sebagainya yang disesuaikan dengan teori-teori belajar.

 Kompetensi kepribadian adalah tentang bagaimana seorang pendidik menjadi teladan bagi peserta didiknya yang ditunjukkan dengan perilaku yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Kompetensi sosial adalah bagaimana pendidik berinteraksi dalam pergaulan sosial dengan peserta didik maupun rekan kerjanya. Dua kompetensi yang pertama dapat dipelajari melalui kegiatan pembelajaran formal. Dua kompetensi terakhir harus dibudayakan. Tidak sekedar penguasaan pengetahuan semata tapi lebih bagaimana pengaplikasiannya. Seperti yang diisyaratkan Tirtarahardja dan Sulo (2005), nilai-nilai dibentuk dalam proses yang lama. Pembentukannya dilakukan melalui pendidikan, tidak cukup hanya dengan pembelajaran.

Dan sebagai pendidiknya calon pendidik, adalah penting bagaimana untuk mentransfer budaya yang baik sehingga nantinya peserta didik ketika menjadi pendidik memiliki bekal yang cukup untuk memenuhi kompetensi yang diperlukan.

Sering saya dengar komentar yang menyatakan bahwa jadi guru itu tidak cukup hanya pintar teori, tapi juga perlu menguasai bagaimana membelajarkan materi tersebut. Lebih lanjut, menjadi guru tidaklah penting seberapa banyak penghargaan yang dikumpulkan selama masih mengikuti pendidikan formal, tapi seberapa banyak siswa yang bisa dibantu untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya penghargaan selama mereka tumbuh dan berkembang.

Kalau boleh lagi saya tambahkan, hal tersebut masih ada yang kurang rasanya jika sebagai guru kita belum bisa menjadi pribadi yang di-gugu dan di-tiru. Oleh karenanya, penting memberikan keteladan. Menginspirasi. Menggugah seseorang untuk menjadi lebih baik untuk kepentingannya sendiri.

Merasa bertanggung jawab untuk membantu mahasiswa saya mencapai kompetensi yang dimaksudkan, saya memang jadi agak-agak cerewet di kelas.

Mulai dari ketat soal kejujuran dalam ujian dan membuat tugas, meminta perbaikan makalah yang ketahuan copy paste, suka balikin tugas mahasiswa yang standarnya masih kurang dengan yang diharapkan di perguruan tinggi, suka coret-coret makalah dan minta revisi, suka kasih deadline tugas, suka suruh baca sumber lebih dari satu, suka suruh cek peraturan perundang-undangan (bukan buat hapal isinya, tapi untuk tahu bahwa hal tersebut dimuat lho di undang-undang, jadi besok-besok kalau perlu, bisa tahu dimana harus cek), suka suruh analisis ini itu, suka kasih soal matematika yang realistik yang bikin tidak bisa cari jawabannya di buku teks, suka suruh berpikir sendiri jangan langsung percaya apa kata internet dan apa kata orang lain. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dosen baru sudah kayak gini gitu tuntutannya. Tidak takut diomongin?

Well, saya waktu SMA ikut ekstra karya ilmiah. Ekskul saya itu motonya begini: Mayi Satvani Dharma yang artinya kuserahkan kesetiaanku pada kebenaran.

Selama benar, selama masih mampu saya lakukan. Saya akan lakukan.

Ya, kepikiran sih kalau ada yang ngomongin. Saya kan baper juga orangnya. Haha. Tapi daripada saya berdosa pada ilmu pengetahuan (eyaaaaa), biarlah tidak apa-apa saya jadi topik diskusi hangat di kala tidak ada lagi yang menarik diperbincangkan. Apalagi kalau ada yang komentar, “Sok ya, memang dulu waktu kuliah gitu? Memang selalu begitu?”

Olalala. Saya memang tidak sempurna dan tidak pernah berlagak sok baik juga. Haha. Saya tahu saya masih banyak kurangnya dan lagi jaman kuliah S1 masih jauh dari saya yang sekarang. Tapi saya belajar untuk lebih baik lagi. Dan saya tahu bagaimana proses yang saya lalui. Oleh karenanya, saya membantu adik-adik saya, mahasiswa-mahasiswa saya untuk mengoptimalkan diri mereka ke arah yang lebih. Sedini mungkin. Ibaratnya, kalau di usia 23 tahun saya baru tahu pandangan Freudenthal yang menyatakan mathematics is a human activity dan pandangan itu relevan di gunakan sekarang, apa saya harus biarkan mahasiswa saya masih memandang matematika sebagai kumpulan rumus yang harus dihapalkan dan tidak dapat diganggu gugat dan menunggu sampai mereka di usia yang sama dengan saya sampai mereka boleh membaca karya Freudenthal?

Hati yang bersih, niat yang baik, pasti akan temukan cara untuk mewujudkannya.

Pendekatan menjadi dosen killer bisa-bisa aja sih saya terapkan. Tapi saya pikir-pikir, badan saya kecil gini, tampilan juga begini- tidak ada sangar-sangarnya gitu haha. Yang ada saya diiket mahasiswa dikunciin di kelas kalau galak-galak bawa penggaris pukul sana sini. Terus nanti kalau saya killer, saya jadinya mendidik 100 orang guru killer dong setiap tahunnya. Haha. Kasian masa depan anak bangsa.

Lagian ini 2016 bung, sudah saatnya main cantik.

Jadi bagaimana agar kebersihan hati dan niat ini tersampaikan dengan baik sehingga bisa jadi teladan? Bagaimana supaya bisa jadi pendidik yang galak-galak cantik? Haha.

Kalau saya, biasanya adalah dengan tetap tersenyum.

Tersenyumlah dari hati, tersenyumlah sebagai wujud bersyukur, tersenyumlah sebagai upaya menghibur orang lain dan mungkin diri sendiri.

Ketika menegur, menasehati, memberi masukan, jangan lupa lekukan sedikit bibir ke atas. Sehingga nada suara pun lebih ramah dan yang diajak berkomunikasi menjadi lebih welcome.

Menjadi pendidik itu, berhadapan dengan peserta didik yang biasanya usianya lebih muda. Mereka baru belajar. Suka cari perhatian juga. Semakin dimarahi, diberi kata-kata yang tidak baik, hanya akan membuat jiwa-jiwa yang sedang bergejolak kembali ingin memberontak. Belum lagi tantangan zaman sekarang, dimana sedikit saja melakukan kesalahan, nama baik dan bahkan pekerjaan seorang pendidik dipertaruhkan. Sudah banyak kan kita baca di media guru yang dilaporkan atas kasus memarahi peserta didik?

Untuk itu sebagai pendidiknya peserta didik, saya sehari-hari membiasakan diri untuk tersenyum. Untungnya wajah tersenyum seperti memang sudah settingan default wajah saya, jadi tidak terlalu sulit sih untuk dilakukan.

Meskipun senyum palsu bisa disetting, sebaik-baiknya kita tetap belajar untuk menjadi tulus. Dimulai dari hati yang kemudian tercermin pada tutur yang santun dan wajah yang ramah tersenyum hangat. Sehingga apa yang kita sampaikan tidak hanya manis di bibir tapi memang ada doa dan pesan, ada harapan yang besar bagi kepentingan peserta didik itu sendiri.

Pendidik, berbeda dengan anggota kepolisian yang sedang berhadapan dengan pelaku kriminal. Tidak senang di ruang pengadilan benar dan salah. Peserta didik kita bukan penjahat. Terlebih lagi, pembelajaran akan berhasil jika pendidik yakin ia bisa mengajar dan yakin bahwa peserta didiknya bisa belajar.

Berpedoman pada hal tersebut, setiap kali merasa jenuh dan kesal ketika terjadi sesuatu dan lain hal yang bikin mood berantakan di kelas, saya memilih diam sejenak dan tersenyum tanpa alasan pada diri sendiri. Dengan tersenyum pada diri sendiri, otot-otot yang menegang karena kesal jadi mengendur dan entahlah, senyum yang tadinya untuk diri sendiri jadi bisa menghangatkan hati dan kemudian siap ditebar ke seluruh ruangan. Haha.

Berbuat salah bukanlah dosa dalam pendidikan. Dari kesalahan seseorang bisa belajar.

Bayangkan jika kita di posisi peserta didik. Dihadapkan pada pendidik yang galak dan suka marah. Selalu cemberut kapanpun dan dimanapun. Di sapa tidak pernah menanggapi, selalu membuang wajah tak peduli. Ditanya baik-baik jawabannya ketus. Bawaannya pasti malas juga masuk kelasnya. Apalagi berniat termotivasi.

Tersenyum tidak akan mengurangi apapun, apalagi kewibawaan pendidik. Eh ada satu sih yang berkurang. Jarak. Jurang pemisah antara pendidik dan peserta didik lah yang dijembatani. Sedemikian hingga, peserta didik merasa dimanusiakan, merasa pantas menerima salam sapa dari pendidik. Prinsip egalitarian yang memandang semua orang sama bagaimanapun status sosial dan ekonominya perlu diterapkan di kelas-kelas Indonesia. Meskipun tetap tanpa melupakan rasa hormat dan santun kepada orang yang lebih tua, apalagi kepada guru: sosok yang digugu dan ditiru.

Gerakan revolusi mental hanya akan terjadi jika masing-masing individu merevolusi mentalnya sendiri tanpa memaksakan kehendak pada orang lain. Dimulai dari kebersihan di hati dan pikiran sendiri, tercermin dari wajah yang cerah dan hangat, dibuktikan dari tutur dan perilaku yang santun. Mari sama-sama memberikan keteladan bagi orang terdekat kita. Khususnya bagi pendidik, tanggung jawab moral kita bukan hanya tentang diri sendiri tapi juga kepada apa jadinya orang lain setelah meneladani kita.

Dengan pendidikan yang baik, dengan budaya yang baik, peserta didik akan menjadi generasi yang cerdas intelektual, emosional dan spiritual. Ketika mereka nantinya menjadi pelayan masyarakat, apapun bidangnya, kepribadian mereka yang santun akan membuat orang lain nyaman bersosialisasi.

Mari kita dukung gerakan budaya bersih dan senyum!

Referensi

Tirtarahardja, Umar & Sulo, S.L.L. 2005. Pengantar Pendidikan(Edisi Revisi). Jakarta: PT. Rineka Cipta

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

** tulisan ini diikutkan dalam kompetisi Blog yang diselenggarakan oleh Kompasiana dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman

#Gerakan Budaya Bersih dan Senyum

#Kemenko Maritim

sosial media penulis:

http://facebook.com/aayuratih

https://twitter.com/aayuratih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun