Mohon tunggu...
Ratih Apsari
Ratih Apsari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bersih Hatinya, Cerah Senyumnya

9 Oktober 2016   21:08 Diperbarui: 9 Oktober 2016   22:31 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai dari ketat soal kejujuran dalam ujian dan membuat tugas, meminta perbaikan makalah yang ketahuan copy paste, suka balikin tugas mahasiswa yang standarnya masih kurang dengan yang diharapkan di perguruan tinggi, suka coret-coret makalah dan minta revisi, suka kasih deadline tugas, suka suruh baca sumber lebih dari satu, suka suruh cek peraturan perundang-undangan (bukan buat hapal isinya, tapi untuk tahu bahwa hal tersebut dimuat lho di undang-undang, jadi besok-besok kalau perlu, bisa tahu dimana harus cek), suka suruh analisis ini itu, suka kasih soal matematika yang realistik yang bikin tidak bisa cari jawabannya di buku teks, suka suruh berpikir sendiri jangan langsung percaya apa kata internet dan apa kata orang lain. Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dosen baru sudah kayak gini gitu tuntutannya. Tidak takut diomongin?

Well, saya waktu SMA ikut ekstra karya ilmiah. Ekskul saya itu motonya begini: Mayi Satvani Dharma yang artinya kuserahkan kesetiaanku pada kebenaran.

Selama benar, selama masih mampu saya lakukan. Saya akan lakukan.

Ya, kepikiran sih kalau ada yang ngomongin. Saya kan baper juga orangnya. Haha. Tapi daripada saya berdosa pada ilmu pengetahuan (eyaaaaa), biarlah tidak apa-apa saya jadi topik diskusi hangat di kala tidak ada lagi yang menarik diperbincangkan. Apalagi kalau ada yang komentar, “Sok ya, memang dulu waktu kuliah gitu? Memang selalu begitu?”

Olalala. Saya memang tidak sempurna dan tidak pernah berlagak sok baik juga. Haha. Saya tahu saya masih banyak kurangnya dan lagi jaman kuliah S1 masih jauh dari saya yang sekarang. Tapi saya belajar untuk lebih baik lagi. Dan saya tahu bagaimana proses yang saya lalui. Oleh karenanya, saya membantu adik-adik saya, mahasiswa-mahasiswa saya untuk mengoptimalkan diri mereka ke arah yang lebih. Sedini mungkin. Ibaratnya, kalau di usia 23 tahun saya baru tahu pandangan Freudenthal yang menyatakan mathematics is a human activity dan pandangan itu relevan di gunakan sekarang, apa saya harus biarkan mahasiswa saya masih memandang matematika sebagai kumpulan rumus yang harus dihapalkan dan tidak dapat diganggu gugat dan menunggu sampai mereka di usia yang sama dengan saya sampai mereka boleh membaca karya Freudenthal?

Hati yang bersih, niat yang baik, pasti akan temukan cara untuk mewujudkannya.

Pendekatan menjadi dosen killer bisa-bisa aja sih saya terapkan. Tapi saya pikir-pikir, badan saya kecil gini, tampilan juga begini- tidak ada sangar-sangarnya gitu haha. Yang ada saya diiket mahasiswa dikunciin di kelas kalau galak-galak bawa penggaris pukul sana sini. Terus nanti kalau saya killer, saya jadinya mendidik 100 orang guru killer dong setiap tahunnya. Haha. Kasian masa depan anak bangsa.

Lagian ini 2016 bung, sudah saatnya main cantik.

Jadi bagaimana agar kebersihan hati dan niat ini tersampaikan dengan baik sehingga bisa jadi teladan? Bagaimana supaya bisa jadi pendidik yang galak-galak cantik? Haha.

Kalau saya, biasanya adalah dengan tetap tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun