Mohon tunggu...
Aat Suwanto
Aat Suwanto Mohon Tunggu... Administrasi - hirup mah ngan saukur heuheuy jeung deudeuh

Tukang main, sesekali belajar menjadi pemerhati dan peneliti serta penulis (dengan 'p' kecil) di bidang Pariwisata, selain juga menulis essai di bidang humaniora, serta menulis cerpen dan novel terutama dalam bahasa daerah Sunda.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tantangan Manajerial BUM Desa

15 Desember 2018   08:45 Diperbarui: 15 Desember 2018   16:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Setelah pemerintah pusat memiliki BUMN, di daerah terdapat BUMD, kini Desa pun dapat membangun badan usahanya sendiri. Bernama Badan Usaha Milik (BUM) Desa. Fungsinya pun lebih kurang sama, menjadi katalisator pembangunan ekonomi dalam berbagai tema.

Itu sebab BUM Desa dapat bergerak dalam beragam bisnis, dari mulai jasa konstruksi pembangunan, simpan pinjam laiknya perbankan, perdagangan hingga bidang industri manufaktur sekalipun. Semuanya tergantung potensi strategis yang dimiliki desa, dari alam hingga Sumber Daya Manusia (SDM).

Visi Bisnis BUM Desa
Seperti BUMN dan BUMD pula, keberdirian BUM Desa semestinya memiliki dua tantangan utama, yakni bagaimana agar lembaga usaha milik desa ini dapat menjadi lembaga bisnis strategis sekaligus dapat menjadi motor penggerak roda ekonomi di pedesaan.

Selaku lembaga bisnis, sudah seharusnya BUM Desa dapat menjadi lembaga yang memiliki kapabilitas mumpuni dalam dunia usaha. BUM Desa dituntut untuk menghasilkan keuntungan sehingga mampu, paling tidak, menghidupi kebutuhannya sendiri.

BUM Desa merupakan lembaga desa yang harus dapat hidup secara mandiri. Kecuali modal yang disertakan untuk masa tertentu, desa semestinya tak lagi terbebani untuk membiayai segala beban operasional lembaga ini.

Sebaliknya, modal yang disertakan tadi semestinya dapat dikembalikan ke desa dalam bentuk keuntungan usaha. Harapan besarnya, sumber penghasilan asli desa yang satu ini dapat menjadi tulang punggung bagi sumber pembiayaan pembangunan desa.

Persoalannya, bisnis yang dapat dilakukan BUM Desa tidaklah sembarang. Terlarang hukumnya bagi BUM Desa untuk berbisnis dalam lingkup yang dapat mengancam kelangsungan usaha ekonomi masyarakat desa yang tengah berjalan.

 BUM Desa bukanlah lembaga bisnis swasta yang dalam usahanya hanya berbicara bagaimana mencari keuntungan tanpa mengindahkan dampak negatif dari keberdirian lembaga dimaksud bagi lingkungannya.

Alih-alih idealnya BUM Desa dapat menjadi aktor sekaligus sutradara bagi pembangunan ekonomi produksi masyarakat di pedesaan. Segala bisnis yang dibangun BUM Desa pun seharusnya dapat menjadi katalisator bagi tumbuh kembangnya usaha-usaha masyarakat sekitar.

Karena itu, bisnis yang dapat dilakukan oleh BUM Desa, kalau pun tidak benar-benar berupa bisnis baru di lingkungan pedesaan, seyogyanya berupa bisnis yang mendukung bagi kelangsungan usaha-usaha masyarakat yang telah ada. Misalkan saja, bisnis pengadaan bahan bakar murah bagi industri-industri rumahan yang ada di desa. Atau pula menjadi lembaga jasa pemasaran bagi produk-produk hasil industri rumahan tadi.

Lebih baik lagi bilamana bisnis BUM Desa dapat bersifat padat karya karena salah satu kemanfaatan yang harus hadir dari dibangunnya BUM Desa adalah terbukanya lapangan pekerjaan dipedesaan. Bukan padat modal. Apalagi secara relatif dana desa selaku sumber utama permodalan BUM Desa sangatlah terbatas.

Tentu saja, dalam ketentuan perundangan sebenarnya BUM Desa dapat mencari sumber permodalan lain diluar dana desa, semisal pinjaman perbankan, kerjasama dengan lembaga privat, dan lain sebagainya. 

Namun selain beresiko besar, kalaupun bukan hal yang mustahil, nyatanya strategi pencarian permodalan seperti itu tidak semudah yang dibayangkan terutama untuk BUM Desa-BUM Desa baru.

Perlu SDM Tangguh
Dengan melihat visi bisnisnya, sudah tentu membangun sebuah BUM Desa bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi selain keterbatasan modal usaha, BUM Desa pun dihadapkan dalam persoalan keterbatasan SDM berkualitas. 

Itulah sebab bilamana dikatakan membangun lembaga BUM Desa jauh lebih sulit daripada membangun BUMN sekalipun.

Kriteria kualitas SDM di BUM Desa sendiri sejatinya tidak hanya diukur dari sisi pendidikan dan kemampuan manajerialnya semata, melainkan pula sisi keberanian disamping integritas pribadinya.

Sebenarnya faktor utama terjadinya kegagalan dalam membangun usaha ekonomi desa selama ini bukan terletak pada ketiadaan potensi di desa. Terjadinya kegagalan lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan pengelola lembaga usaha pedesaan dalam membaca dan mengolah potensi dimaksud.

Padahal dibutuhkan keluasan dan kejelasan visi dari para pengelola BUM Desa agar arah bisnis yang dilakukan benar-benar terarah. 

Namun SDM yang dimiliki desa saat ini lebih kepada tenaga terampil tidak terdidik dengan kemampuan teknis (apalagi manajerial --pen) yang masih sangat minim. Sementara mereka yang memiliki kompetensi yang benar-benar dibutuhkan sudah jauh-jauh hari berpindah ke kota.

Dampaknya pun sangat jelas, tata kelola BUM Desa menjadi alakadarnya. Visi usaha yang hendak dilaksanakan sama sekali tidak jelas. Bisnis yang dikembangkan pun tidak sebagai bisnis inovatif sehingga produk yang dibangun tidak memiliki daya tawar yang kuat dipasar.

Selain itu, hal yang tak kalah penting dalam membangun BUM Desa adalah soal kesungguhan para pengelola untuk mewujudkan visinya tersebut. 

Dan untuk hal ini akan dibutuhkan pemikiran dan keberanian ekstra di tengah ditengah ketakacuhan bahkan penentangan masyarakat desa yang memiliki keterbatasan pendidikan dan seringkali hanya berpegang pada kebiasaan dan tradisi yang menganggap visi yang disodorkan sebagai mimpi yang muluk, bahkan ketidakwarasan.  

Bahkan sebenarnya para penentang dari inovator desa tadi bukanlah masyarakat awam, namun justru mereka yang selama ini dianggap melek pendidikan. Celakanya mereka merupakan pemimpin informal yang telah terlanjur menjadi panutan di masyarakat.

Tak perlu heran pula jika penentangan bahkan dilakukan oleh aparat pemerintahan desa itu sendiri. Penentangan terjadi, disatu sisi, sebagai akibat kegagalan demi kegagalan pembangunan, terutama sektor ekonomi, yang kerapkali terjadi di tingkat pedesaan.

Disisi lain, kehadiran orang-orang visioner seringkali justru menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya kekacauan terhadap segala tatanan kebiasaan yang telah mentradisi di masyarakat desa. Termasuk didalamnya kekhawatiran akan terusiknya kedudukan sosial mereka di masyarakat.  

Ciamis-Halmahera Selatan, September 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun