Tentu saja, dalam ketentuan perundangan sebenarnya BUM Desa dapat mencari sumber permodalan lain diluar dana desa, semisal pinjaman perbankan, kerjasama dengan lembaga privat, dan lain sebagainya.Â
Namun selain beresiko besar, kalaupun bukan hal yang mustahil, nyatanya strategi pencarian permodalan seperti itu tidak semudah yang dibayangkan terutama untuk BUM Desa-BUM Desa baru.
Perlu SDM Tangguh
Dengan melihat visi bisnisnya, sudah tentu membangun sebuah BUM Desa bukanlah pekerjaan yang mudah. Apalagi selain keterbatasan modal usaha, BUM Desa pun dihadapkan dalam persoalan keterbatasan SDM berkualitas.Â
Itulah sebab bilamana dikatakan membangun lembaga BUM Desa jauh lebih sulit daripada membangun BUMN sekalipun.
Kriteria kualitas SDM di BUM Desa sendiri sejatinya tidak hanya diukur dari sisi pendidikan dan kemampuan manajerialnya semata, melainkan pula sisi keberanian disamping integritas pribadinya.
Sebenarnya faktor utama terjadinya kegagalan dalam membangun usaha ekonomi desa selama ini bukan terletak pada ketiadaan potensi di desa. Terjadinya kegagalan lebih diakibatkan oleh ketidakmampuan pengelola lembaga usaha pedesaan dalam membaca dan mengolah potensi dimaksud.
Padahal dibutuhkan keluasan dan kejelasan visi dari para pengelola BUM Desa agar arah bisnis yang dilakukan benar-benar terarah.Â
Namun SDM yang dimiliki desa saat ini lebih kepada tenaga terampil tidak terdidik dengan kemampuan teknis (apalagi manajerial --pen) yang masih sangat minim. Sementara mereka yang memiliki kompetensi yang benar-benar dibutuhkan sudah jauh-jauh hari berpindah ke kota.
Dampaknya pun sangat jelas, tata kelola BUM Desa menjadi alakadarnya. Visi usaha yang hendak dilaksanakan sama sekali tidak jelas. Bisnis yang dikembangkan pun tidak sebagai bisnis inovatif sehingga produk yang dibangun tidak memiliki daya tawar yang kuat dipasar.
Selain itu, hal yang tak kalah penting dalam membangun BUM Desa adalah soal kesungguhan para pengelola untuk mewujudkan visinya tersebut.Â
Dan untuk hal ini akan dibutuhkan pemikiran dan keberanian ekstra di tengah ditengah ketakacuhan bahkan penentangan masyarakat desa yang memiliki keterbatasan pendidikan dan seringkali hanya berpegang pada kebiasaan dan tradisi yang menganggap visi yang disodorkan sebagai mimpi yang muluk, bahkan ketidakwarasan. Â