Dalam gedung-gedung itu telah didesain sebagai lapangan bulutangkis dan tenis meja. Di bagian panggung -secara implisit- digunakan sebagai lapangan tenis meja, bagian rendahnya telah dibuat garis lapangan bulutangkis dan di cat. Â Â
Setiap seminggu sekali di malam hari, anak remaja hingga bapak-bapak standby  disana. Mereka membawa raket alakadarnya, sutlecock dan sedikit lari-lari kecil. Soal dandanan tak kalah keren, bukan hendak ke ladang. Mereka sudah mengenal gaya ala-ala Kevin Sanjaya: kaos PB Djarum bercelana kolor dan bersepatu. Soal penampilan oke semua, meyakinkan.  Â
Bulitangkis sejatinya olahraga yang banyak digemari warga. Kami, yang hidup dan tumbuh di tanah transmigrasi daerah pelosok, menjadikan olahraga ini sebagai alternatif utama mencari keringat. Dalam pertandingan yang digelar semisal 17-an misalnya, tensinya memanas, benar-benar bergengsi. Â Olahraga bulutangkis menduduki posisi pertama dalam strata olahraga di desa.Â
Kejuaraan 17-an adalah puncak karier seorang pebulutangkis. Disanalah batas kejayaan seorang atlet bisa diraih. Â Â
Kevin Sanjaya-Marcus Fernaldi Gideon menjadi pasangan ganda peringkat pertama dunia. Kami bisa melihatnya di televisi senangnya bukan kepalang. Sekarang susah lihat ditelevisi, jarang yang mau menayangkan pertandingan. Ingin melihat mereka bertanding secara live? Hanya angan-angan tak mungkin nyata.Â
Bagi kami bisa bertemu mereka itu impian yang keterlaluan, apalagi anak pelosok jadi atlet nasional bulutangkis. Wow, impian yang kurang ajar. Â Â
Kenapa begitu? Kami, warga pelosok tidak tahu caranya bagaimana bisa seperti Jonatan Chisti, Anthony S Ginting atau Ci Butet yang sudah pensiun itu. Bagaimana mereka bisa menapaki tangga hingga menjadi juara di bulutangkis. Sekencang dan sekuat apapun teknik dan fisik maupun semangat kami dalam olahraga ini, mentok Cuma di kejuaraan 17-an. Â
 Dan tetiba, berita membahana sampai tembus ke pelosok negeri tentang kisruh KPAI vs PB Djarum. Kami kaget. Ternyata ada seleksi umum --salah satu jalan- menapaki tangga juara dunia. Hebatnya lagi, seleksi umum itu ternyata setiap tahun dilakukan PB Djarum.  Â
Mana kami tahu? Lha wong listrik saja baru bisa kami nikmati beberapa tahun ini. Setali tiga uang, internet berkapasitas 4G juga baru setahun ini ada, tapi desa-desa lainnya ya masih banyak yang 2G. Untung masih bisa telepon-teleponan. Â Â
Kok yo ndelalah, "berkat" tak akan salah orang. Untungnya KPAI singkatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia "menampol" PB Djarum atas klaimnya mengeksploitasi anak. Sunguh kami-kami, para penggemar dan pecandu bulutangkis di pelosok kagetnya kebangetan.Â
Jadi selama ini kami baru tahu ada seleksi umum. Ya Awoh, kemana saja kami. Â Begitu kejamnya PB Djarum tidak memberitahu kami soal seleksi itu. Apa kami dianggap remeh soal bulutangkis? Kok segitunya kabar gembira itu tak sampai pada kami.Â