Permasalahan diseputar Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam beberapa bulan terakhir, sering muncul menjadi wacana publik dalam berbagai kesempatan.
BUMN banyak disoroti terkait dengan eksistensinya yang tidak sesuai dengan ekspektasi banyak pihak. Banyak hal yang mengemuka, namun umumnya mengerucut kepada masalah kinerja beberapa BUMN yang merugi, dan yang paling terkini menyoal pengangkatan staf ahli di lingkungan BUMN.
Kontribusi BUMN
BUMN selain sebagai agen pembangunan negara, fungsinya sebagai institusi bisnis juga diharapkan hadir untuk memberikan kontribusi yang sangat vital bagi perekonomian nasional.
Tuntutan peran ini bukan tanpa alasan, mengingat besarnya ukuran perusahaan BUMN dari sisi asset yang dimiliki. BUMN kita bertumbuh menjadi korporasi yang memiliki asset sampai dengan Rp. 8.734 Triliun (per Mei 2020), dan bertumbuh sebesar 51,63% sejak tahun 2015.
Merujuk kepada Rencana Strategis Kementerian BUMN tahun 2020-2024, yang memberikan gambaran kondisi umum BUMN dalam 5 tahun terakhir (2015-2019), BUMN memberikan kontribusi finansial setidaknya Rp. 300 Triliun per tahun bagi negara. Bahkan kontribusinya meningkat menjadi setidaknya Rp. 400 Triliun pada tahun 2019. Komponen utama seperti dividen, pajak, dan PNBP lainnya, merupakan sumber kontribusi finansial BUMN kita.
Secara keseluruhan, kontribusi ini mampu memberikan sumbangan bagi Pendapatan Domestik Bruto (PDB) diatas 13% sejak tahun 2015, pada tahun 2018 tercatat kontribusi BUMN terhadap PDB kita sebesar 16%. Angka ini masih terlihat kecil jika dibandingkan dengan negara tetangga kita Singapura, yang asset BUMN nya hanya setengah dari kita, namun mampu memberikan kontribusi sampai dengan 21% terhadap PDB Singapura pada tahun 2018.
Jika dihubungkan dengan portofolio BUMN tahun 2019, yang jumlahnya mendekati 157 entitas usaha, BUMN kita memiliki beberapa bentuk usaha seperti perusahaan perseroan, perseroan terbuka, dan perusahaan umum. Dari jumlah ini, yang masuk dalam kategori entitas usaha BUMN sebanyak 114 (termasuk 20 entitas yang sudah go public di Bursa Efek Indonesia), eks BUMN 35, entitas minoritas 5, dan 2 entitas dengan kepemilikan 50%.
Urgensi Pengangkatan Staf Ahli
Munculnya polemik terkait pengangkatan staf ahli di lingkungan BUMN, dipicu tersebarnya ke publik informasi dalam Surat Edaran Nomor SE-9/MBU/08/2020 tentang Staf Ahli Bagi Direksi BUMN. Dalam surat edaran ini Menteri BUMN memberikan penegasan atas kebijakan pengangkatan staf ahli bagi direksi BUMN, yang diharapkan akan mampu mendukung tugas direksi melalui masukan dan pertimbangan terhadap permasalahan di lingkungan BUMN terkait.
Jika dikaitkan dengan semangat BUMN yang digariskan dalam roadmap BUMN 2020-2024, yang salah satu prioritasnya adalah pengembangan talenta sumber daya manusia BUMN yang berkualitas dan profesional melalui serangkaian program pendidikan dan pelatihan, sepertinya menjadi sangat kontraproduktif.
Sebab melalui mekanisme pengangkatan staf ahli di lingkungan BUMN, menimbulkan kesan tidak optimalnya ketersediaan sumber daya manusia internal BUMN yang mumpuni ketika menghadapi dan mencari solusi permasalahan yang timbul di dalam BUMN itu sendiri.
Banyak hal yang lebih mendesak dalam rangka penataan organisasi BUMN, dan semua ini telah tergambar dalam rencana strategis yang telah ditetapkan pada perioda sebelumnya. Dan isu pengangkatan kembali staf ahli ini bukanlah salah satu agenda yang termasuk didalamnya.
Apalagi dalam perencanaan 5-10 tahun sebelumnya, perhatian terhadap pengembangan sumber daya BUMN juga digaungkan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia. Narasi tersebut bukan hanya sekedar ucapan semata, namun pada saat itu ditindaklanjuti juga dengan beberapa kebijakan dari Kementerian BUMN sebagai pembinanya.
Salah satu langkah nyatanya adalah dengan hadirnya Surat Menteri BUMN Nomor S-375/MBU.Wk/2011, yang berikutnya kembali ditegaskan melalui penerbitan Surat Edaran Nomor 04/MBU/09/2017 tentang Larangan Mempekerjakan Staf Ahli, Staf Khusus, Dan/Atau Sejenisnya di lingkungan BUMN.
Langkah Mundur di Tengah Semangat Untuk Berkembang
Terbitnya surat edaran terbaru Menteri BUMN pada tahun 2020 ini, terkait diperbolehkannya kembali BUMN mengangkat staf ahli, sebenarnya dapat dipersepsi banyak pihak sebagai sebuah langkah mundur dibandingkan dengan 10 tahun terakhir.
Pihak internal BUMN, sedikit banyak juga pasti mengalami kebingungan, mengapa kebijakan positif yang telah diambil dalam rangka efektivitas dan efisiensi pengelolaan BUMN terkait dengan kebutuhan akan staf ahli, mendadak diubah menjadi bermakna sebaliknya.
Padahal dalam 10 tahun terakhir, BUMN sudah berusaha keras melakukan upaya penataan sumber daya manusia melalui penetapan rencana strategis pengembangan sumber daya manusia dilingkungan BUMN.
Bisa kita bayangkan, setelah hampir 10 tahun, tidak tersedia ruang untuk penyediaan staf ahli, yang tentunya berdampak nyata pada efisiensi belanja.
Melalui surat edaran di atas, akan timbul potensi inefisiensi belanja, khususnya pos honorarium untuk staf ahli. Jika kita menghitung secara sederhana, surat edaran Menteri BUMN tersebut memiliki potensi konsekuensi alokasi belanja kurang lebih Rp. 3 Miliar per tahun per BUMN (asumsi 5 staf ahli per BUMN), dan jika dialokasikan bagi keseluruhan BUMN yang ada (114), maka total alokasi belanja yang dibutuhkan kurang lebih Rp. 342 Miliar, ini bukanlah jumlah yang kecil.
Dan jika besaran potensi belanja ini digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia dilingkungan BUMN, pasti sudah cukup banyak pendidikan dan pelatihan yang dapat diikuti maupun diselenggarakan untuk memperkuat sumber daya manusia BUMN dalam 1 tahun.
Dari perspektif yang berbeda, bagi stakeholder eksternal BUMN, termasuk masyarakat umum, mungkin saja akan muncul tafsiran bahwa diperbolehkannya kembali staf ahli diangkat dilingkungan BUMN setelah selama ini tidak boleh, menjadi semacam sinyal kurangnya sumber daya manusia yang ahli di lingkungan BUMN.
Selain itu akan ada juga anggapan yang akan memaknai terbitnya surat edaran diatas, sebagai upaya masifnya kembali intervensi kekuatan politik dalam tubuh BUMN. Sehingga melalui kondisi ini, memang tidak mengherankan, apabila sampai saat ini stigma BUMN adalah salah satu target kepentingan bernuansa politis, tetap melekat menjadi citra yang sulit terelakkan sampai sekarang.
Oleh karena itu, agar semua persepsi beragam pihak diatas tidak menjadi liar dan dapat terbantahkan, penting bagi Kementerian BUMN, agar kembali melakukan kaji ulang terhadap penerbitan surat edaran tersebut. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H