Sebab melalui mekanisme pengangkatan staf ahli di lingkungan BUMN, menimbulkan kesan tidak optimalnya ketersediaan sumber daya manusia internal BUMN yang mumpuni ketika menghadapi dan mencari solusi permasalahan yang timbul di dalam BUMN itu sendiri.
Banyak hal yang lebih mendesak dalam rangka penataan organisasi BUMN, dan semua ini telah tergambar dalam rencana strategis yang telah ditetapkan pada perioda sebelumnya. Dan isu pengangkatan kembali staf ahli ini bukanlah salah satu agenda yang termasuk didalamnya.
Apalagi dalam perencanaan 5-10 tahun sebelumnya, perhatian terhadap pengembangan sumber daya BUMN juga digaungkan dalam upaya pengembangan sumber daya manusia. Narasi tersebut bukan hanya sekedar ucapan semata, namun pada saat itu ditindaklanjuti juga dengan beberapa kebijakan dari Kementerian BUMN sebagai pembinanya.
Salah satu langkah nyatanya adalah dengan hadirnya Surat Menteri BUMN Nomor S-375/MBU.Wk/2011, yang berikutnya kembali ditegaskan melalui penerbitan Surat Edaran Nomor 04/MBU/09/2017 tentang Larangan Mempekerjakan Staf Ahli, Staf Khusus, Dan/Atau Sejenisnya di lingkungan BUMN.
Langkah Mundur di Tengah Semangat Untuk Berkembang
Terbitnya surat edaran terbaru Menteri BUMN pada tahun 2020 ini, terkait diperbolehkannya kembali BUMN mengangkat staf ahli, sebenarnya dapat dipersepsi banyak pihak sebagai sebuah langkah mundur dibandingkan dengan 10 tahun terakhir.
Pihak internal BUMN, sedikit banyak juga pasti mengalami kebingungan, mengapa kebijakan positif yang telah diambil dalam rangka efektivitas dan efisiensi pengelolaan BUMN terkait dengan kebutuhan akan staf ahli, mendadak diubah menjadi bermakna sebaliknya.
Padahal dalam 10 tahun terakhir, BUMN sudah berusaha keras melakukan upaya penataan sumber daya manusia melalui penetapan rencana strategis pengembangan sumber daya manusia dilingkungan BUMN.
Bisa kita bayangkan, setelah hampir 10 tahun, tidak tersedia ruang untuk penyediaan staf ahli, yang tentunya berdampak nyata pada efisiensi belanja.
Melalui surat edaran di atas, akan timbul potensi inefisiensi belanja, khususnya pos honorarium untuk staf ahli. Jika kita menghitung secara sederhana, surat edaran Menteri BUMN tersebut memiliki potensi konsekuensi alokasi belanja kurang lebih Rp. 3 Miliar per tahun per BUMN (asumsi 5 staf ahli per BUMN), dan jika dialokasikan bagi keseluruhan BUMN yang ada (114), maka total alokasi belanja yang dibutuhkan kurang lebih Rp. 342 Miliar, ini bukanlah jumlah yang kecil.
Dan jika besaran potensi belanja ini digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia dilingkungan BUMN, pasti sudah cukup banyak pendidikan dan pelatihan yang dapat diikuti maupun diselenggarakan untuk memperkuat sumber daya manusia BUMN dalam 1 tahun.