Dalam pilar/tiang penyangga Sistem Integritas Nasional (SIN), KPK memainkan peran yang sangat strategis sebagai penggerak (trigger mechanism) dalam upaya pemberantasan korupsi.
Posisi KPK yang independen diharapkan mampu menggerakkan semua pilar yang ada, agar bersinergi dan integratif satu sama lainnya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Namun, sepertinya peran strategis ini kemungkinan akan mengalami kemunduran yang cukup signifikan. Ambiguitas peran KPK dalam Sistem Integritas Nasional (SIN) adalah sumber utama penyebab potensi lumpuhnya trigger mechanism yang diharapkan dari KPK.
Sinyal ini sebenarnya sudah terlihat sejak dikeluarkannya Undang-Undang No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam undang-undang ini, KPK dipaksa masuk sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Penegasan terhadap masuknya KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif semakin kuat dengan di terbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2020 yang mengatur tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menjadi ASN.
Dalam situasi ini, KPK berada dalam posisi yang sangat rumit. KPK diminta memainkan peran ganda yang sangat sulit, dimana disatu sisi menjalankan perannya sebagai bagian dari eksekutif, dan disisi lain dituntut memainkan perannya sebagai trigger mechanism bagi pilar lain, termasuk eksekutif, dalam pemberantasan korupsi. Reposisi baru ini juga tentunya akan menggangu road map KPK sampai tahun 2023.
Tujuan yang telah ditetapkan KPK untuk fase III, perioda 2019-2023, tentunya akan mengalami goncangan yang sangat hebat.
Dan kemungkinan KPK tidak akan mampu mencapai fokus area pemberantasan korupsi yang telah ditetapkan dalam peta jalan KPK untuk 5 tahun ini.
Independensi KPK
Tuntutan fungsi ganda KPK sebagai trigger mechanism dalam Sistem Integritas Nasional (SIN), dan perannya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam waktu yang bersamaan, umumnya dipersepsi publik sebagai sebuah situasi yang rawan akan konflik kepentingan.
Sulitnya memisahkan tuntutan kedua peran diatas, membawa debat publik pada domain yang umumnya kita kenal dengan istilah independensi.