Sejenak, ditengah tengah isu pandemi covid-19 dan bayang-bayang resesi ekonomi, publik disajikan dengan berita dialihkannya status semua pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK/P3K). Dua status kepegawaian ini, umumnya dikenal dengan istilah Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pengalihan status ini didasarkan pada penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2020 yang mengatur tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menjadi ASN. Aturan ini sebenarnya sudah diteken Jokowi pada tanggal 24 Juli 2020, dan berlaku sejak saat tanggal diundangkan, yaitu tanggal 27 Juli 2020.
Banyak pro dan kontra yang membayangi pengalihan status kepegawaian KPK ini, dimana sebelumnya kita jamak menyebutnya sebagai pegawai KPK, saat ini kita harus terbiasa menyebut dan mendengar istilah pegawai ASN. Sebuah pergeseran yang cukup atraktif tentunya dari sudut pandang terminologi.
Ada 2 (dua) hal menarik yang dapat kita lihat, dari pengalihan status kepegawaian KPK diatas, yang ternyata peraturan pemerintahnya merupakan prakarsa dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Pertama, terkait peran strategis KPK dalam pembangunan Sistem Integritas Nasional (SIN), dan kedua, meyangkut independensi pegawai KPK setelah berubah status menjadi PNS atau P3K.
Peran Strategis KPK Dalam Pembangunan Sistem Integritas Nasional (SIN)
Menilik pada perjalanan panjang KPK yang kurang lebih berumur hampir 18 tahun, sejak awal dibentuk pada tahun 2002 sampai saat ini, cukup banyak gebrakan yang sangat signifikan dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sebut saja contohnya pada era Antasari Azhar (2007-2009), kasus penangkapan Jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani terkait penyuapan kasus BLBI Syamsul Nursalim. Kemudian,kasus korupsi aliran dana Bank Indonesia (BI) yang melibatkan Deputi BI Aulia Pohan, yang juga merupakan besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Kemudian pada perioda 2011-2015, di masa Abraham Samad, muncul kasus korupsi Wisma Atlet, kasus Hambalang, kasus gratifikasi SKK Migas, dan sederatan kasus-kasus lainnya.
Umumnya kasus-kasus yang ditangani oleh KPK pada beberapa fase masa diatas, adalah kasus grand corruption, yaitu kasus yang memenuhi satu atau lebih kriteria yang telah ditetapkan dalam focus pelaksanaan tugas KPK.