Gerimis masih membasahi ibu kota saat diriku sedang meneduh di halte bus. Aku baru saja meliput sebuah peresmian sebuah perusahaan yang dihadiri oleh presiden dan para menteri. Setelan hitam-hitam dengan logo media tempatku bekerja di dada mulai basah akibat tetesan air hujan yang mengenainya. Dari kejauhan kulihat dua orang wanita dari media lain berlarian ke halte, tempatku meneduh. Mereka langsung merapikan pakaian yang sedikit kuyup.
"Permisi, kita numpang neduh, ya," seru salah seorang dari mereka dengan lembut.
"Iya. Nggak apa-apa, ini juga tempat umum, bebas untuk siapa saja," kataku tersenyum.
"Dari media mana, Mas?" tanyanya.
"Guntur, dari Media Kita," jawabku mengulurkan tangan. "Panggil aja Guntur, nggak perlu pake 'Mas'."
"Maudy, dari Jurnalis Muda. Ini teman saya namanya Reva."
Mereka membalas jabat tanganku.
Selanjutnya Maudy mengajakku berbincang, terutama pengalamannya di dunia jurnalistik. Menurutnya, jurnalis sekarang sering disalahkan oleh warganet. Padahal, sejatinya seorang jurnalis hanya mengikuti 'perintah' dari media atau pemimpin redaksi tempatnya bekerja. Pengalaman menarik diceritakannya ketika sedang meliput daerah banjir, ia bercerita bahwa saat itu hampir terseret arus banjir.
Aku berbincang dengannya hingga hujan reda. Sebelum berpisah, ia memberikan kartu namanya kepadaku. Untuk merespons baik, aku pun memberi kartu namaku. Maudy dan Reva beranjak pergi menggunakan KRL. Sebenarnya dengan perbincangan tadi, aku langsung tertarik dengan Maudy. Dari sifatnya tercermin wanita yang cerdas, pengetahuannya begitu mumpuni.
"Pesonanya menarik hati, apa ini namanya jatuh cinta? Setelah bertahun-tahun akhirnya aku jatuh cinta pada wanita baru," ujarku pada diri sendiri.
***