Mohon tunggu...
Aksara Alderaan
Aksara Alderaan Mohon Tunggu... Editor - Editor

Aksara Alderaan, seorang penulis fiksi yang sudah menulis beberapa karya, baik solo maupun antologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hingga Peluit Panjang Berbunyi - Addition Time

2 Mei 2024   13:46 Diperbarui: 2 Mei 2024   13:48 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari-hari berikutnya aku semakin giat berlatih agar bisa membawa tim hingga final. Kutambah porsi latihan sendiri, seperti jogging seberes latihan, fitnes ringan, serta menjaga pola makan dan tidur. Meski aku khawatir dengan sesuatu yang selama ini perlahan 'membunuh' diriku. Jauh sebelum turnamen berlangsung, aku divonis memiliki penyakit asma. Dokter bahkan berkata bahwa diriku seharusnya mengundurkan diri untuk mengikuti turnamen ini, namun aku merasa bahwa diriku akan baik-baik saja.

"Mahesa...." sahut Nathan saat diriku sedang jogging kecil di pinggir lapangan seusai latihan.

"Kenapa, Nat? Lu mau ngelarang gua lagi?" sinisku yang mengerti maksudnya. "Gua bakal baik-baik aja, lu nggak perlu khawatir sama penyakit gua. Jangan mentang-mentang dokter yang menangani penyakit gua itu ayah lu, jadi lu seenaknya ngatur-ngatur gua!"

"Gua kayak gini atas perintah Ayah, Sa. Gua juga nggak mau lu kenapa-kenapa. Tolong jangan terlalu diporsir latihannya, secukupnya aja," sarannya.

Aku menghampirinya yang tak jauh dariku. "Sekali lagi lu nggak perlu ngatur-ngatur. Gua kayak gini karna mau ngebuktiin Kiandra kalo gua itu nggak lemah seperti apa yang dibayangkan, Nat. Jadi, mending lu pergi dari sini!"

Memang hanya dialah yang tahu mengenai penyakitku, sebab ayahnya adalah dokter yang menangani penyakitku ini. Selain itu, tidak ada lagi yang tahu, bahkan Ezra, Gilang, dan Bang James pun tidak mengetahuinya. Aku sengaja tidak memberitahu ini kepada siapa pun karena tidak ingin lagi semakin dianggap 'lemah'.

Keesokan harinya, Bang James merombak komposisi tim pada pertandingan terakhir di fase grup. Aku dipercayai sebagai kapten tim karena hampir semua pemain utama diistirahatkan. Pada pertandingan itu, aku berhasil memborong semua gol yang berakhir dengan skor kemenangan 3-1. Berkat gol itu, aku kembali menjadi pemain terbaik pertandingan dan membawa diriku ke daftar pencetak gol terbanyak sementara, dengan total 5 gol dari 3 pertandingan.

"Pertandingan selanjutnya adalah babak perempat final, kita harus menang agar bisa lolos ke babak berikutnya. Langkah kita tinggal sedikit lagi untuk menjadi juara, piala yang pernah kita bawa dua tahun lalu harus kembali ke sekolah pada tahun ini!" seru Bang James mengobarkan semangat berapi-api.

Keperkasaan tim kembali diuji ketika pertandingan perempat final, namun tim sekolahku kembali tak terbendung. Kemenangan 1-0 menjadi bekal penting untuk melenggang ke semi final. Bahkan, pada pertandingan tersebut, kami yang hampir gagal melangkah ke final kembali mendapat keberuntungan setelah Ezra mencetak gol di menit-menit akhir pertandingan.

***

Satu bulan yang lalu....

Akhir-akhir ini aku sering mengeluhkan saluran pernapasanku. Cuaca dingin terkadang membuat napasku terasa berat dan sesak jika menghirupnya. Rencananya aku akan berobat ke dokter untuk mengecek kondisiku yang semakin memburuk. Setelah dilakukan pemeriksaan ternyata aku menderita penyakit asma, yaitu penyakit jangka panjang pada saluran pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas yang menimbulkan sesak napas atau kesulitan bernapas. 

"Seseorang yang memiliki penyakit asma biasanya memiliki saluran pernapasan lebih sensitif dibanding orang lain," jelas Dokter.

"Tapi, asma saya nggak akan menggangu aktivitas saya, 'kan, Dok?" tanyaku khawatir, "soalnya beberapa minggu lagi, saya akan mengikuti turnamen sepak bola di Solo." 

"Saya menyarankan kamu mengundurkan diri saja karena jika kambuh berakibat lumayan fatal," gumamnya. 

"Tapi, saya yakin saya kuat, Dok!" ujarku membela diri. 

"Saya paham, tapi setidaknya kamu mencegah hal-hal itu."

Aku terdiam, namun hasratku yang besar menolak hal tersebut. Aku sangat ingin ikut ke Solo, usahaku tidak boleh sia-sia, apalagi Kiandra, wanita dambaanku juga akan ikut ke sana juga. 

Keesokan harinya, kondisinya membaik setelah mengonsumsi obat-obatan yang diberikan dokter. Pada hari ini, Bang James, pelatihku, akan mengumumkan 23 pemain yang akan ikut turnamen ke Solo. Perasaanku tak karuan menantikan pengumuman itu, dadaku berdebar-debar menunggunya. Setelah diumumkan akhirnya aku lolos seleksi untuk bergabung ke dalam skuat tim yang akan bertanding ke kota Pelajar. Selain diriku, sahabat terdekatku, seperti Ezra dan Gilang juga lolos sehingga diriku bisa sekamar dengan mereka nantinya. 

***

Hari yang ditunggu datang juga, euforia begitu besar tergambar pada ekspresi seluruh teman-temanku untuk menyambut laga 'hidup mati', pertandingan final nanti malam. Seusai pertandingan semi final, kami berlatih dengan giat. Bang James juga membekali kami untuk melatih tendangan penalti untuk persiapan jika laga berakhir imbang dan dilanjutkan dengan adu penalti.

Udara dingin yang terus menyelimuti akhir-akhir ini sedikit membuat asmaku kambuh. Napasku terasa berat setiap menjelang tidur, namun aku langsung meminum obat yang kusembunyikan di dalam tasku. Selain itu, aku juga mengonsumsi vitamin yang tersisa saat Kiandra membagikannya beberapa hari lalu.

Laga itu di depan mata, demam panggung kembali menghantui. Teman-temanku berkata mereka sangat tidak sabar memainkan pertandingannya. Pengawas pertandingan mengizinkan pemain masuk ke dalam lapangan, dipimpin empat wasit yang bertugas pada pertandingan ini. Aku masih belum diberi kesempatan bermain oleh Bang James, hal tersebut membuat Kiandra sedikit bernapas lega. Karena, jika aku tidak bermain berarti 'perjanjian' itu gagal.

"Kalo lu nggak main di pertandingan final berarti 'kesepakatan' yang pernah kita buat batal, ya," kata Kiandra.

"Kok gitu!?"

"Lah, itu artinya lu nggak bisa cetak gol. Misalkan lu main aja belum tentu bisa cetak gol, apalagi nggak main."

"Oke, kalo gitu. Gua nggak lupa sama kesepakatan itu, tapi kalo misalkan gua berhasil berarti lu harus tepatin kesepakatannya."

"Tenang aja, Sa. Gua bukan orang yang ingkar janji!"

Sebenarnya aku khawatir jika hari ini benar-benar tidak diberi kesempatan bermain pada pertandingan final, meski satu sisi tidak apa-apa karena yang terpenting sekolahku harus juara. Hingga pertandingan babak pertama usai, sekolahku tertinggal 0-1 setelah Nathan blunder sehingga bola bersarang ke gawangnya.

Menjelang babak kedua dimulai, aku melihat Nathan merenungi kesalahannya. Di sana ada Kiandra yang berusaha menyemangatinya sehingga api cemburu berkobar dalam dadaku. Mereka juga terlihat seperti sedang membicarakan hal serius yang hanya mereka berdua saja yang tahu.

"Mahesa, lu siap-siap main di awal babak kedua nanti. Cedera Ezra kambuh lagi," sahut Bang James menepuk bahuku.

"Siap, Coach!" sorakku.

Babak kedua pun dimulai, aku ditempatkan pada posisi penyerang kanan, berduet dengan Bagas yang saat ini belum menambah pundi-pundi golnya lagi. Beberapa menit laga berjalan, timku mendapat hadiah tendangan bebas setelah Gilang ditekel oleh pemain lawan. Tendangan dieksekusi oleh dia sendiri dan berhasil mengoyak gawang lawan, skor berubah menjadi 1-1. Setelah gol tersebut, pertandingan semakin sengit. Tensi keras menghiasi kedua tim. Jual beli serangan terjadi, namun belum ada yang menghasilkan gol. Hujan turun menjelang akhir pertandingan membuat intensitas serangan sedikit mengendur.

"Kok, dada gua sesak, ya?" ucapku dalam hati.

"Lu kenapa, Sa?" tanya Gilang bingung.

"Nggak apa-apa. Ayo semangat, biar nggak dilanjut ke babak adu penalti, Lang!" pekikku sedikit menahan sakit.

Tendangan sudut diambil oleh Gilang. Aku dan Bagas mencari ruang kosong agar dapat leluasa menceploskan bola ke dalam gawang lawan. Gilang ancang-ancang dan melambungkan bola setinggi dada. Aku bergerak diam-diam ke depan lawan sebelum akhirnya melompat menyambut datangnya bola. Lawan berusaha menggangguku dengan sedikit dorongan saat diriku melompat sehingga aku terjatuh di bawah guyuran hujan, meski bola berhasil kusambut dengan dadaku.

"Dada gua semakin sesak," kataku terbata-bata.

Gilang dan Bagas yang melihatku tersungkur segera memanggil tim medis. Kulirik Kiandra ikut masuk ke dalam lapangan. Tim medis segera memeriksa keadaanku yang semakin kesulitan bernapas. Kiandra berada di dekatku berusaha membisikkan sesuatu.

"Sa, lu berhasil!" ucapnya meneteskan air mata, walaupun tak terlihat akibat guyuran hujan.

"Te-terima kasih udah kasih kesempatan itu, Ki. Gua sayang sama lu," ungkapku terbata-bata dengan napas yang terengah-engah.

"Mahesa!" teriak Kiandra menembus langit. "Sa, bangun dong! Lu udah berhasil. Gua mau jadi pacar lu!"

Kiandra berusaha menggoyang-goyangkan tubuhku yang tak sadarkan diri. Wasit yang melihat kondisi tersebut pun mengakhiri pertandingan dengan skor akhir 2-1 untuk kemenangan sekolahku. Aku ditandu menuju ambulans dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Kiandra ikut masuk ke dalam ambulans dan berusaha membangunkan diriku yang masih belum sadar.

***

Suara Kiandra memanggil namaku terus menggema di telingaku. Aku senang bisa mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Namun, aku benci ketika hal ini terjadi tidak dapat melakukan apa-apa. Aku belum siuman dari pingsan ketika usai mencetak gol tadi. Diriku hanya bisa sekilas melihat lorong rumah sakit yang entah mengapa sangat menyeramkan.

Dokter terus memeriksa keadaanku yang belum juga sadar, mengecek semua yang ada. Beberapa alat penompa jantung dipasangkan di dadaku. Tiba-tiba pandanganku putih semua, kulihat ada makhluk tak berwujud mendekatiku, ia mengucapkan beberapa kata yang membuatku sedih.

"Waktumu sudah habis."

Garis lurus memanjang tergambar pada layar yang tidak kuketahui namanya, dokter menggeleng-gelengkan kepalanya karena sudah tak bisa bertindak apa-apa. Kemudian ia menutupkan tubuhku yang sudah kaku dengan kain putih. Tak lama Kiandra berlari menghampiri jiwaku, ia menangis dalam dekapanku.

"Mahesa, jangan tinggalin gua!" Khansa menggoyang-goyangkan tubuhku.

Nathan, Ezra, dan Gilang---yang juga ikut ke rumah sakit---berusaha untuk menghentikan tindakan Kiandra, mereka juga ikut menangis di depan jiwaku yang sudah tak bernyawa. Kiandra terus menangis tak terbendung menyaksikanku tak bergerak. Dari alamku kini, aku tak kuasa melihat mereka bersedih di hadapan jasadku.

Jenazahku dibawa pulang ke rumah, bendera kuning sudah berkibar di halaman rumah. Keluargaku sedih dan tak menyangka bahwa diriku telah tiada. Banyak orang yang datang melihatku untuk terakhir kalinya, juga hadir para pemain dan guru-guru di sekolahku.

"Mahesa, gua bangga sama lu. Nama lu akan selalu ada di tim ini, dengan segala kehebatan yang lu punya. Gua dengan teman-teman yang lain nggak menyangka bahwa beberapa detik sebelum kita dinyatakan sebagai juara, lu pergi untuk selamanya," tutur Nathan sambil meletakkan medali dan jersei di atas liang lahatku.

Kiandra, wanita pujaan hatiku, masih bersedih atas kehilanganku. Ia berada di barisan terdepan untuk melihat diriku terakhir kalinya. Derai air matanya jatuh bersamaan jasadku yang perlahan kembali menyatu bersama alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun