Mohon tunggu...
Aant Subhansyah
Aant Subhansyah Mohon Tunggu... profesional -

Kompasianer dari Yogyakarta, bekerja Freelance, pencinta Kebebasan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibu yang Memasak Puisi dan Presiden yang Menyamar Sebagi Tukang Kebun

1 Desember 2011   07:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:58 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di sebuah gubuk, seorang ibu  sedang memasak puisi, sementara putri kecilnya menangis kelaparan.

“sabar nak, sebentar lagi makanannya matang...” kata si ibu menghibur dengan getir.

Tapi sudah berjam-jam, tak ada sesuatu yang bisa dimakan.

Seorang presiden yang sedang menyamar sebagai Tukang kebun kebetulan lewat dekat gubuk tersebut. Aroma puisi yang mengepul dan tangisan putri kecil yang kelaparan menghentikan ayunan sepeda onthelnya.

“mengapa engkau memasak kata-kata?” tanya sang presiden yang sedang menyamar sebagai tukang kebun itu kepada si ibu yang sedang memasak puisi.

“ini sekedar untuk menghibur putri kecilku, karena tidak ada yang bisa aku masak hari ini” jawab si ibu.

Bergegas sang presiden yang sedang menyamar sebagai tukang kebun itu menyambar sepeda ontelnya, putar haluan menuju istana, dilewatinya  beberapa paspampres yang tidak menyadari kehadirannya, kemudian menyusup ke lumbung istana.

Presiden yang sedang menyamar sebagai Tukang kebun itu mengambil sekarung beras yang kemasanya berlogo burung garuda dan bertuliskan “jangan pakai ganco”.

Sekarung beras itu diletakkannya di atas palang sepeda onthelnya, lalu dia kembali mengayuh, melewati beberapa paspampres yang tidak menyadari kehadirannya, menuju gubuk tempat ibu yang memasak puisi.

“ambilah beras ini’, kata presiden yang sedang menyamar sebagai tukang kebun kepada ibu yang memasak puisi. “puisi  tidak  bisa memberi anakmu makanan", lanjutnya.

“tapi mengapa engkau datang ke sini hanya karena aku memasak puisi?” Tanya si ibu.

“aku ini tukang kebun, aku tau rasa nasi dan  puisi, keduanya bukanlah barang substitusi", jawab presiden yang menyamar sebagai tukang kebun.

“tapi kau bukan tukang kebun sejati” jawab si ibu itu lagi

Sang presiden yang menyamar sebagai tukang kebun itu terdiam sejenak, “benarkah?” tanyanya seperti kepada dirinya sendiri...

Hening di hati, sementara puisi-puisi yang menggelegak dalam wajan makin menyayat.

"Oke", lanjut sang presiden yang sedang menyamar sebagait tukang kebun, ‘kalau begitu aku tidak boleh melakukan ini, sebaiknya ibu segera menghubungi RT/RW untuk membuat surat keterangan miskin”

Sang prseden itu kemudian pulang ke istana dengan membawa kembali sekarung beras yang berlogo burung garuda dan bertuliskan “jangan pakai ganco”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun