Mohon tunggu...
Aan Hasanudin
Aan Hasanudin Mohon Tunggu... Penulis - Senang bercengkrama denganmu

Anak Desa yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Privilege dan Miskin Struktural

27 Juni 2021   23:40 Diperbarui: 28 Juni 2021   00:39 2847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret warga pinggir Kota

Ada banyak orang "sukses" yang berbagi "inspirasi", tapi lupa menceritakan peranan harta dan koneksi orang tua di dalam perjalanan mereka.

Begitu kira-kira kutipan tweet dari seorang komika, aktor, sutradara, dan penulis skenario berkebangsaan Indonesia itu, dialah Ernest Prakasa. Kutipan tweet itu menarik karena menyinggung perihal privilege atau semacam 'hak istimewa' yang tidak dimiliki oleh semua orang. Sudah lama penulis membayangkan mengenai privilege ini, namun masih belum berani mengeluarkan opini karena masih belum siap menerima respon dari pembaca. Tapi setelah konsep "Privilegeitu mengemuka, sepertinya memang sudah saatnya apa yang mengganjal di kepala segera dituangkan dalam bentuk coretan sederhana.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata privilege yang diserap ke Bahasa Indonesia menjadi “privilese” mempunyai arti hak istimewa. Persepsi tentang hak istimewa ini bisa mengacu pada banyak hal, tetapi seringkali privilege diartikan sebagai hak istimewa yang didapat seseorang yang lahir dari kalangan keluarga elit. Dan memang arah pemikiran penulis mengenai konsep privilege ini ke arah silsilah keluarga.

Kita sering disuguhkan kalimat motivasi dari orang-orang yang secara persepsi kelompok dianggap "sukses" dengan kalimat, "Semua bisa menjadi apapun asalkan kita mau berusaha", atau "Jangan menyerah dengan keadaan, tetap berusaha karena saya juga berjuang dari nol". Kalimat-kalimat self motivate itu faktanya tidak bisa ditelan mentah-mentah. Ernest benar, beberapa orang seolah lupa menjelaskan faktor 'hoki' yang ia punya.

Penulis sering membaca tentang kisah perjuangan para pebisnis sukses dalam merintis usahanya. Kisah mereka memang heroik, banyak tantangan dalam membangun bisnis yang ketika penulis membacanya seolah, "anjir ini keren banget, kok bisa ya mereka di usia muda udah ngerasain bangkrut gede-gedean", dan banyak kekaguman-kekaguman lainnya. 

Tapi setelah dicermati lebih lanjut, proses 'jatuh bangun' mereka tidak bisa kita copy begitu saja. Quotes-quotes kehidupan dari mereka nyatanya tidak bisa kita tiru mentah-mentah. Ada banyak perbedaan, semisalnya adalah start yang berbeda. 

Menyuruh orang untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin akan terasa sulit jika ditujukan untuk orang yang keluarganya masih sibuk mengurusi urusan perut. "Loh tapi kan ada beasiswa dari pemerintah buat siswa/mahasiswa kurang mampu"

Itu benar sekali, tapi lagi-lagi privilege berkata, tidak semua anak diberi hoki orang tua yang support dan sekolah yang memberi akses informasi untuk masuk perguruan tinggi. Penulis punya beberapa teman yang impiannya untuk kuliah terhalang tembok "restu orang tua". Terlebih kurangnya akses informasi dari sekolah mengenai perguruan tinggi, banyak sekali contohnya untuk konteks sekolah-sekolah di pedesaan terpencil.

Kisah pengusaha yang meminjam uang puluhan juta ke Bank untuk merintis usahanya tentu tidak bisa ditiru oleh orang yang tidak memiliki kepemilikan benda yang layak untuk dijadikan jaminan. Apalagi kisah pengusaha yang pinjaman modal usahanya dari orang tua, wah itu si lebih-lebih bukan contoh untuk orang kelas menengah bawah yang jajan aja irit-irit hehe.

Banyak sekali hoki atau privilege yang peranannya krusial. Privilege bukan hanya menyangkut keluarga yang tajir melintir. Tapi keluarga yang harmonis, orang tua yang support, koneksi, akses informasi, teman yang mendukung, itu juga bagian dari privilege. Kalau kamu bukan dari keluarga kaya, tapi orang tua support, itu privilege. 

Karena ada yang lahir dari keluarga yang orang tuanya gak support impian anak. "Mangan ae susah, wis ora usah kuliah-kuliah," (makan aja susah, udah gausah kuliah), begitu kira-kira gambarannya. Apakah penulis hanya mengarang saja, tentu pengalaman ngobrol dengan orang tua di sekitar menjadi dasar penulis berani berkata demikian.

Juga kemudahan akses informasi adalah privilege. Kesulitan pelaku usaha di pedesaan dalam memasarkan produk tentu didasari kurangnya akses informasi. Tidak tahu menahu kalau produknya itu bisa menjangkau banyak pembeli jika terhubung dengan internet dan marketplace. Sudah tahu tentang internet dan markeptlace, eh masih tidak tahu pula cara branding produk. Ini salah satu contoh privilege yang 'tidak berpihak' ke semua orang.

Terus apa hubungannya privilege dengan miskin struktural?

Nah, ini pertanyaan yang ditunggu-tunggu. Kalau pembaca sudah sampai di tahap ini, selamat berarti anda punya kesempatan untuk memahami privilege dengan pikiran positif hehe.

Privilege dan kemiskinan memiliki benang merah yang jika diuraikan akan menjadi suatu misteri kehidupan yang pahit namun harus diterima dengan lapang dada. Masih ingat dengan perkataan menko PMK (Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan) Muhadjir Effendy yang berkata, "Sesama keluarga miskin besanan, lahir keluarga miskin baru." Masih ingat gak kalau itu pernah trending twitter, kalau masih ingat berarti ingatan pembaca cukup bagus.

Perkataannya memang cukup "nyelekit", tapi mau tidak mau, suka tidak suka, memang beginilah fakta lapangan bicara.
Orang yang hidup dalam garis kemiskinan kemungkinan akan sulit mengakses berbagai sumber daya yang nantinya bisa digunakan untuk keluar dari kemiskinan, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi, yang hanya bisa diperoleh apabila seseorang itu sudah bisa keluar dari jerat kemiskinan. Hal tersebut terjadi karena untuk mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan modal yang tidak sedikit yang tidak mungkin dimiliki oleh orang miskin. 

Modal yang sangat kurang itu akan menyulitkan bagi orang miskin untuk melakukan aktivitas yang dapat mengeluarkan mereka dari jurang kemiskinan, karena jangankan untuk melakukan saving atau menabung, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sulit. Ditambah biasanya orang miskin bekerja pada sektor yang rendahan sehingga keuntungan yang diperoleh pun sangat sedikit yang mengakibatkan mereka mengalami kesulitan untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Sebenarnya apa sih definisi miskin itu??

Menurut Soerjono Soekanto kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.

Ketidakmampuan dalam pemenuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan menjadi pemicu munculnya kemiskinan. Sedangkan berdasarkan teori struktural fungsional, masyarakat adalah bagian dari suatu sistem yang saling berkaitan, dimana pembagian fungsi sosial itu membentuk stratifikasi sosial. Teori ini sangat mendambakan keseimbangan dan menegasikan konflik. 

Stratifikasi sosial ini kemudian masuk ke ranah ekonomi, sosial, dan politik. Dimana jika seseorang dengan ekonomi lemah, maka akan memiliki nilai tawar yang rendah di kelompok sosialnya, dalam kehidupan politik pun jarang diajak berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Apalagi di sistem demokrasi langsung ala +62, orang miskin inilah yang biasanya jadi lumbung suara dengan adanya praktik jual beli suara (politik transaksional). 

Keseimbangan sosial dalam teori struktural fungsional ini sewaktu-waktu bisa saja berubah jika salah satu bagian dalam sistem itu tidak bekerja sebagaimana mestinya. Namun perubahan itu jarang terjadi, si kaya dan si miskin lazimnya tetap berada pada fungsi sosialnya masing-masing. Jurang antara si kaya dan si miskin bertambah lebar ketika perdagangan dan pemikiran kapital berkembang pesat. Mungkin inilah alasan ideologi Komunis dilarang hampir di separuh dunia, karena bisa merusak tatanan mapan kaum kapitalis hehe. 

Nelson Mandela pernah berkata, "Senjata paling ampuh untuk mengubah dunia adalah pendidikan." Hal ini benar adanya, dengan pendidikan akan tercipta SDM unggul. Namun sayangnya, pendidikan adalah barang mahal di negeri ini. Ketika rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan ini tidak bisa mengakses pendidikan, maka miskin struktural ini akan tercipta. 

Jadi perkataan Muhadjir Effendy tidaklah sepenuhnya salah, walaupun memang tidak etis jika itu keluar dari mulut seorang Menteri. Maka yang dibutuhkan orang miskin itu adalah privilege. Lalu darimana datangnya privilege itu, tentu harus datang dari pemerintah. Pendidikan harus dibuat merata ke seluruh pelosok negeri. Ini adalah solusi mendasar atas permasalahan sosial dimanapun.

Pendidikan harus dikembalikan kepada cita-cita awal konstitusi, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Peningkatan mutu pendidik, peningkatan kualitas dan fasilitas, dan biaya murah, itu yang dibutuhkan negara ini jika ingin mengurangi tingkat kemiskinan. 

Kalau institusi pendidikan banyak melahirkan pengangguran, berarti ada yang salah dari sistem pendidikan kita selama ini. Kurikulum tentu harus dibuat adaptif dengan perubahan. Karena bagaimanapun, pendidikan adalah kunci utama menuju peradaban yang maju.

Kita bisa mencontoh Jepang yang kala itu di hancur leburkan bom atom oleh sekutu. Pasca peristiwa kelam itu, yang pertama dicari bukanlah dokter, melainkan guru. Terbukti dengan mengumpulkan tenaga pendidik dari seluruh Jepang, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk bangkit kembali.

Masih banyak problematika mengenai pendidikan di Indonesia. Mula dari gaji guru yang kurang layak, fasilitas yang tidak memadai, kualitas yang tidak merata dengan adanya sekolah favorit dan non favorit, dan masih banyak yang lainnya. 

Maka pemerataan pendidikan adalah kunci dasar untuk bisa mengentaskan jurang kemiskinan. Jika akses pendidikan mudah bagi si miskin, itu artinya pemerintah membuka privilege bagi mereka untuk bisa meniti pelan-pelan agar bisa keluar dari lingkaran miskin struktural.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun