Mohon tunggu...
Aan Hasanudin
Aan Hasanudin Mohon Tunggu... Penulis - Senang bercengkrama denganmu

Anak Desa yang bermimpi besar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Geef Mij Maar Nasi Goreng dan Kisah Pengusiran Orang Eropa di Indonesia

13 Juni 2021   23:45 Diperbarui: 14 Juni 2021   00:31 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Wikipedia

Malam yang sunyi, ditemani benda paling setia di muka bumi, telepon seluler atau kita biasa menyebutnya sebagai ponsel. Penyebutannya makin beragam, handphone, gadget, smartphone, semua-muanya mengacu pada satu hal, benda kotak ajaib tempat segala informasi berada.

Disini penulis bukan hendak membahas tentang smartphone, atau sejarah telepon genggam. Bukan, jelas bukan itu arah tulisan ini. Narasi yang akan dibuat penulis ialah mengenai sejarah sebuah lagu dari seniman Indo-Belanda, Wieteke Van Dort.

Saat tengah asyik berselancar di dunia maya, penulis sampai pada sebuah konten tentang lagu-lagu jadul. Awalnya penulis mendengarkan lagu keroncong dari maestro alm. Gesang di kanal Youtube, lalu mendengarkan cover lagu masa kini yang dibuat jadul seperti lagu-lagu cover dari Deredia dan Postmodern Jukebox. Pecinta sejarah pasti suka mendengarkan lagu-lagu yang dibawakan kedua grup tersebut. Konsep vintage yang dibawa oleh masing-masing grup musik tersebut mampu membawa pendengarnya seolah sedang berada pada masa lampau.

Penulis sendiri memang menyukai sesuatu yang bernilai sejarah, apapun itu jika berkaitan dengan masa lampau penulis sukai. Mulai dari sejarah peradaban dunia hingga Indonesia, semuanya menarik. Hingga akhirnya penulis sampai pada lagu itu, “Geef Mij Maar Nasi Goreng”. Kira-kira inilah bunyi reff dari lagu tersebut.
“Geef mij maar nasi goreng, met een gebakken ei
Wat sambel en wat kroepoek, en een goed glas bier erbij
Geef mij maar nasi goreng, met een gebakken ei
Wat sambel en wat kroepoek, en een goed glas bier erbij”
Begitulah kira-kira penggalan lirik lagu ciptaan seorang seniman Indo-Belanda, Wieteke Van Dort atau biasa disebut juga sebagai Tante Lien. Kalau diterjemahkan kira-kira seperti ini artinya, Beri saja aku nasi goreng dengan omelet telur dengan sambal dan kerupuk dan segelas bir.

Bagi yang belum mendengarkan lagunya langsung tentu belum bisa mengimajinasikan nada dari penggalan lirik lagu itu. Pembaca bisa search di Youtube apabila penasaran dengan lagunya.

Seniman bernama lengkap Louisa Johanna Theodora Van Dort, lahir di Surabaya, 16 Mei 1943 adalah seorang aktris, kabaretis, dan penyanyi dari Belanda. Beliau juga mempunyai acara sendiri di TV pada era 80-an. The Late Late Lien Show adalah acaranya yang paling dikenal luas. Acara itu tayang di Belanda. Apakah pada waktu itu tayang di TV nasional atau tidak penulis kurang mengetahui. Namun, yang pasti Tante Lien (Sapaan dari Wieteke Van Dort) tak kenal lelah mengenalkan kultur Indonesia di Belanda melalui acaranya itu. Kecintaannya pada Indonesia begitu tinggi, karena bagaimanapun beliau dilahirkan di Surabaya. Menghabiskan 14 tahun di Indonesia hingga akhirnya terpaksa harus terusir dari tanah kelahiran menuju Den Haag, Nederland.
Walaupun perawakannya Eropa, namun jiwa Tante Lien adalah pribumi. Hal itu terbukti dari penggalan lirik lagunya, bahwa ia tidak mengetahui kalau Belanda ternyata begitu dingin.
“Toen wij repatrieerden uit de gordel van smaragd
(Saat kami direpatriasi dari Indonesia)
Dat Nederland zo koud was hadden wij toch nooit gedacht”
(Kami tidak pernah tahu kalau Belanda begitu dingin).

Ini wajar adanya, mengingat sedari kecil Tante Lien terbiasa dengan iklim tropis Indonesia yang hanya mengenal musim panas dan hujan. Belanda yang dingin membuatnya kaget dan tentunya rindu tanah kelahiran.

Kata “Repatriasi” disini menarik. Karena disinilah awal hubungan Indonesia-Belanda berubah. Dari tanah koloni menjadi negara yang berdaulat, walaupun tidak bisa kita katakan Indonesia hari ini berdaulat secara harfiah.
Repatriasi menurut KBBI ialah pemulangan kembali orang ke tanah airnya. Berarti bisa kita tarik kesimpulan terciptanya lagu tersebut dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa besar yang menandai berkuasanya pribumi atas tanah ibu pertiwi yang selama masa kolonial menjadi bawahan bangsa kulit putih.

Pembagian golongan Eropa, Indo, timur asing, dan inlander atau pribumi. Bertahun-tahun menjadi golongan paling rendah membuat pribumi ketika merdeka menjadi antipati terhadap bangsa Eropa. Walaupun pada masa itu tidak semua orang-orang dari ras kulit putih merupakan Eropa totok (Eropa asli). Ada juga yang Indo, atau campuran dari pribumi dan Belanda. Budaya pergundikan pada era kolonial banyak melahirkan peranakan campuran Eropa-Pribumi. Kita sekarang menyebutnya sebagai blasteran.

Wieteke Van Dort adalah representasi dari kerinduan orang Indo terhadap Hindia-Belanda. Bahwa dibalik kisah-kisah kekejaman Belanda pada masa penjajahan, menyimpan romantisme sejarah antara Indonesia dan Belanda. Acara The Late Late Lien Show di Belanda pada tahun 70-80an adalah contohnya, dimana disitu ditampilkan sajian kebudayaan Indonesia sebagai wadah nostalgia para Indo yang dulu terusir dari tanah kelahirannya di Indonesia. Era nasionalisasi seluruh aset bikinan Belanda menjadi akhir dari perjalanan para Eropa Totok dan Indo, yaitu keturunan Eropa dan Indonesia.

Masa pengusiran orang Eropa dari Indonesia memang tidak banyak mendapat porsi untuk dibahas. Bahkan selama penulis sekolah tidak pernah diajarkan mengenai repatriasi orang Eropa ini. Kita tidak bisa menutup fakta bahwa dipaksa angkat kaki dari tanah kelahiran untuk menuju negeri yang bahkan tidak tahu menahu kondisinya seperti apa adalah sesuatu yang menyakitkan. Kebencian pribumi yang kadung membuncah pada ras kulit putih pasca kemerdekaan menjadikan orang-orang keturunan ini ikut terusir. Hal ini menjadi semacam supremasi pribumi, dimana kekuasaan mutlak kaum pribumi atas tanah Indonesia dimulai. Perusahaan, bangunan, dan segala macamnya dinasionalisasi dan di Indonesiakan. Seperti De Javasche Bank yang kemudian berubah menjadi Bank Indonesia, NV Deli Spoorweg-Maatschappij yang kemudian menjadi PT.Kereta Api Indonesia dan masih banyak yang lainnya.

Lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng sedikit bisa menggambarkan bagaimana situasi saat itu. Dimana orang-orang kulit putih itu harus tunduk pada kebijakan pribumi. Vandalisme dan kekerasan yang diterima orang Eropa totok dan Indo memaksa kebijakan pemulangan paksa itu dilaksanakan. Sebuah kebijakan untuk menghindari kerusuhan yang lebih parah.

Pada akhirnya, sebagian kisah itu menjadi sejarah yang juga harus diterima porsinya. Sejarah memang harus dipelajari dari segala sisi, tidak untuk diperdebatkan melainkan untuk menambah khazanah pengetahuan mengenai wawasan kebangsaan kita selaku rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun