Pada beberapa tahun terakhir, negeri ini dihadapkan pada kenyataan semakin memudarnya nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan yang sejak dulu dibanggakan masyarakat kita. Puncaknya adalah menjelang pelaksanaan kompetisi meraih DKI 1 dan 2 yang diikuti 3 pasang calon. Pilkada rasa pilpres ini menghabiskan banyak energi bangsa Indonesia karena maraknya isu-isu primordial yang berkembang liar di masyarakat.
Munculnya deklarasi kebhinekaan, upacara kebangsaan dan berbagai bentuk upaya mencegah disintegrasi bangsa merupakan sebuah ikhtiar seluruh komponen masyarakat untuk menguatkan kembali semangat nasionalisme dan kebangsaan yang semakin tereduksi oleh kepentingan politik praktis sekelompok elit.
Momentum Bulan Agustus yang dianggap sakral oleh Bangsa Indonesia menghadirkan bermacam upaya menghidupkan kembali rasa nasionalisme dan kebangsaan.
Nun jauh di batas negeri, tepatnya di Kabupaten Malinau, gempita dan resonansi Agustus sebagai bulan keramat telah menggema di seluruh penjuru desa. Jauh dari hiruk pikuk perdebatan Undang-Undang Pemilu, hak angket DPR terhadap KPK, kontroversi bertemunya dua tokoh bangsa maupun sautan nyinyir para buzzer di media sosial, Malinau mampu menghadirkan oase kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memasuki tanggal 1 Agustus, aura nasionalisme dan kebangsaan benar-benar hadir di seluruh desa di Malinau.
Merah putih berkibar gagah di penjuru Malinau. Tidak sekedar rutinitas pasang saja, namun selalu ada kejutan unik yang dihadirkan masyarakat desa.
Seperti yang dilakukan oleh Kepala Sekolah SDN 008 Malinau Utara, Yatim. Yatim beserta para guru memasang bendera ukuran sedang sebanyak 17 buah dan bendera kecil sebanyak 115 buah.
Jumlah bendera ukuran sedang menggambarkan banyaknya guru yang aktif mengajar sedangkan bendera kecil menggambarkan jumlah murid yang ada di sekolah tersebut.
Hal menarik lainnya bisa kita jumpai di rumah salah seorang warga Desa, Masriati (54), seorang janda dengan 4 anak dan 4 cucu. Masriati memasang 10 bendera merah putih di depan rumahnya. Jumlah tersebut menggambarkan banyaknya anggota rumah tangga.
"Tapi memang saya berniat untuk memasang sejumlah itu untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI tahun ini" lanjut Masriati.
Upaya lain yang tak kalah menarik dilakukan oleh Dorlence, Kepala Desa Long Bisai yang baru saja dilantik sebagai kades pada 21 Juli lalu, dengan penuh bangga menyatakan bahwa dirinya telah menyiapkan seribu bendera untuk dipasang di desanya.
"Ini momentum bersejarah bagi kita seluruh masyarakat Indonesia, jadi menjadi kewajiban kita untuk merayakan dan meramaikannya" ujar Dorlence.
"Ini kami jadikan tradisi tahunan menyambut HUT RI". "Kami memang tinggal jauh di desa tetapi semangat nasionalisme dan kebangsaan tetap menjadi bagian hidup masyarakat Desa Long Bisai" tegas Dorlence.
Ketiga hal yang cukup unik dalam menyemarakan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan cukup membuktikan bahwa Malinau mampu menghadirkan asa kebangsaan dan nasionalisme yang kian tergerus oleh berbagai kepentingan kelompok tertentu.
Tentu tak salah jika penulis mengajak para elite politik Jakarta untuk belajar ke Malinau. Belajar bagaimana masyarakat Malinau tanpa henti merajut benang dan asa nasionalisme serta kebangsaan yang memudar akibat ulah segelintir orang.
Belajar menghargai perjuangan para pahlawan melalui semarak merah putih dan keramaian rakyat memperingati HUT RI.
Malinau memang jauh dari episentrum kekuasaan negeri. Namun fatsoen nasionalisme dan kebangsaan masyarakatnya tidak akan pernah tereduksi untuk sebuah kalimat bahwa NKRI adalah harga mati.
Selamat Menyambut Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H