Mohon tunggu...
aan anshori
aan anshori Mohon Tunggu... Buruh - Jaringan Islam Antidiskriminasi (JIAD)

Humanitarian worker and researcher

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Membenci Banci

20 Juni 2015   22:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Barangkali tidak semua tahu, linimasa sejarah menunjukkan keragaman orientasi seksual dan identitas gender nyata ada. Eksistensinya bahkan sangat mungkin setua peradaban ini.  Mitologi Yunani kuno yang hidup ribuan tahun sebelum masehi mengenal Venus Castina sebagai sosok berjiwa feminim yang terperangkap dalam tubuh maskulin. Tidak sedikit para cross-dresser, , memainkan peran penting sebagai medium ritual di agama pagan waktu itu. Tentu saja sebelum "diluruskan" total oleh kekristenan awal. 

Anda tahu, keberadaan waria juga muncul dalam kehidupan awal Madinah saat Nabi Muhammad di sana. Istilah arabnya mukhannatun. Salah satu yang terkenal bernama Hit. Dalam Effeminate in Early Medina, Everett K Rowson memberikan penjelasan cukup detil terkait hal ini. Mereka hidup membaur secara normal di masyarakat. Bahkan mereka digambarkan cukup akrab dengan para istri nabi layaknya sosialita. Saking dekatnya, para waria ini bahkan punya akses khusus hingga ruangan para istri Nabi.  Aishah malah dikabarkan pernah meminta bantuan Annah - mukhannatun- agar menjadi mak comblang perjodohan kakaknya, Abdurrahman.  Rowson juga menjelaskan keberadaan Tuways dan al-Dalal, dua mukhannnatun yang cukup kondang sebagai musisi dan penyanyi. Saat Khalifah Sulaiman ibn Abdul al-Malik dari Dinasti Umayyah (715-716) berkuasa, ia dikabarkan marah dan memerintahkan agar para penyanyi  waria dikebiri. 

Kebencian terhadap para waria tidak bisa dilepaskan dari pertikaian politik berbalut agama pada awal masehi. Agama lokal dianggap pagan dan distempel bidat/sesat seiring kebangkitan Kristen. Represi atas kesesatan ini juga berlaku bagi para pemuka pagan yang banyak bercitra kemayu. Gelombang pengerasan kebencian terhadap waria semakin memuncak sebagai dampak konflik teologi, antara kelompok Kristen trinitarian - dengan Athanasius sebagai pemimpinnya- berhadapan dengan faksi kristen unitarian - yang dipimpin Arianus. Dalam tulisannya History of Arians, St. Athanasius menggambarkan Arianus didukung penuh Eusebius, seorang eunuch Byzantium yang memiliki pengaruh politik sangat kuat pada era Constantine dan Constantius.  

Sebagai catatan, oleh Lucius dalam karyanya The Eunuchs, dia mendefinisikan eunuch sebagai” neither man nor woman, but something composite, hybrid, and monstrous, alien to human nature”. Sedangkan Aristoteles dalam Generation of Animal menggambarkannya dengan “fall but little short of the idea of the female”. 

Eusebius yang juga dikenal sebagai seorang manly woman ini bahkan dikabarkan pernah pergi ke Roma untuk menyuap dan mengancam Pope Liberius agar menerima komuni kelompok Arian. Sebagaimana diketahui, kala itu, eunuch memainkan peran signifikan sebagai representasi keberadaan agama pagan di kekaisaran. Rival utamanya tentu Katholik awal. Pandangan terhadap eunuch ini semakin miring karena pada kenyataannya sosok ini seringkali “berposisi” sebagai ‘perempuan’ dalam aktifitas seksual sesama jenis. Laki-laki yang mengambil ‘posisi’ ini dianggap tidak hanya nista dan immoral, namun juga diancam hukuman berat pada masa Constantinus II tahun 342 (Code Theodosius 9.7.3), sebelum akhirnya pada 14 Mei 390 St. Ambrose – bishop Milan- menyempurnakan cakupan hukuman dengan cara mempidana-bakar siapa saja yang juga berperan sebagai laki-laki’ dalam hubungan seksual tersebut. Lagi-lagi, konteks hukuman ini dalam rangka memerangi faksi Arianus yang dianggap bidat (Ensslin, 1953).

Di Indonesia, persekusi semacam itu juga terjad sekitar tahun 1953. Korbannya adalah para bissu, pemimpin spiritual di Sulawesi Selatan. Seperti halnya eunuch, mereka transgender. Menurut Umar dalam Dancing with Spirits: Negotiating Bissu Subjectivity Through Adat (2008), saat pecah pemberontakan DI/TII, bissu dipaksa menjadi 'laki-laki sejati' oleh Kahar Muzakar cs. Tidak boleh lembeng dan haram-kemayu, jika masih ingin hidup . Ketika terjadi Peristiwa 1965, tidak sedikit dari mereka yang dipaksa masuk Islam agar tidak dituduh komunis.

Dari Luth hingga Militerisme

Faktor lain yang juga memicu ketidaksukaan terhadap kelompok banci adalah kebijakan ekspansi militer yang membutuhkan sosok perkasa laki-laki untuk berperang. Banci dianggap bukan laki-laki karena klemar-klemer. Ia merupakan simbol agung kepengecutan bagi laki-laki. Dari sinilah barangkali julukan banci –untuk mengejek seseorang yang penakut- berasal.

Ketidakramahan akibat ketiga faktor ini selanjutnya "dibenamkan" secara sistematis melalui instrument penting penerjemahan kitab-kitab suci yang ada. Kristen dan Islam yang kerap gegeran, menjadi tampak akur dalam menghadapi banci. Sikap kedua terlihat sejalan. Dalam 1 Korintus 6:9-10, malakoi merupakan salah satu pihak yang tidak akan mendapat kerajaan Allah. Oleh Al-Kitab terjemahan LAI, malakoi diartikan banci. Dibanyak hadits, tidak sedikit dijumpai konten pengecaman terhadap waria, misalnya dalam Musnad, kitab Libas karya Ibn Hanbal, Shahih kitab Libas dan Hudud karya al-Bukhari, maupun Sunan, kitab Adab karya Abu Dawud.

Posisi banci yang 'tidak diuntungkan', baik oleh rangkaian historis maupun justifikasi teologis ini semakin remuk redam manakala dikaitkan dengan masalah homoseksual. Seperti kita ketahui, membincang keragaman orientasi seksual harus diakui merupakan problem pelik, apalagi jika sudah dikaitkan dengan agama. 

Heteroseksual dianggap merupakan satu-satunya orientasi seksual yang direstui agama. Bukan homoseksual apalagi biseksual. Seksualitas yang sah adalah bersifat reproduktif dan prokreasi, bukan sekedar rekreasi. Penabuan homoseksualitas kerap dinisbatkan dengan kisah Umat Nabi Lut secara salah kaprah. Betapa tidak, kisah tentang kegemaran sekelompok orang memperkosa sesama jenis (melalui aktivitas liwath) dengan tujuan penundukkan musuh ini -sekali lagi, secara salah kaprah- dijadikan monumen pengobaran kebencian terhadap kelompok homoseksual. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun