Barangkali hanya di hari Rabu itu hari raya rindu hari untuk bertemu, sayup matanya bukanlah isyarat layu dan derap semangatnya pun enggan berlalu untuk marah menyala merah pada lelaki bodoh paling kurang ajar sehabis bilur menampar kenyataan.Â
Ya Memang, dalam sanubarinya yang paling dalam tersimpan benih cinta yang selalu ia coba taburkan dengan senyuman paling manis dalam sejarah hidupnya, sesudah ia menerima pukulan telak patah hati akibat cinta yang kandas dan tak direstui.Â
Dihujam rasa lara nestapa yang mengrogoti hati sampai membuat ia kalap ingin menghabisi lelaki yang paling ia cintai itu.Â
Ya! Kelak akan ia hancurkan cinta sejatinya itu sampai berkeping-keping, sampai kehilangan nafas harapannya dan sampai terkapar menderita penyesalan tiada bertepi di koyak-koyak sepi.
Satu -- satunya cara agar lelaki itu pesakitan sepanjang zaman dan menjadi gila adalah ia harus menikah terlebih dahulu. Ia harus membuktikan pada lelaki bodoh dan tidak pekaan itu, bukti bahwa ia bisa bahagia meskipun bukan dengan cinta sejatinya.Â
Tak apa menikah dengan siapapun bahkan dengan iblis sekalipun asalkan lelaki bodoh dan tak pekaan itu tahu bahwa ia menikah sudah cukup melampiaskan dendam asmaranya. Maharana digaungkan sebagai tanda nyala bahaya.
Empat belas tahun yang lalu, lelaki bodoh dan tak pekaan itu berjanji akan datang padanya setelah sukses. Omong kosong! Bajingan! Lelaki bodoh dan tak pekaan itu malah mengkhianati janji dan sibuk terlena dengan pekerjaan di tanah rantau, sampai terbuai angan palsu kini lelaki bodoh dan tak pekaan itu terkena penyakit yang tak akan bisa disembuhkan dengan obat kecuali dengan senyuman yang pernah ia coba hidangkan dengan perasaan tulus dan mesra pada masanya tetapi malah disia-siakan dengan berpaling tanpa tanda.
Ia memang perempuan yang cantik jelita, matanya biru indah dan senyumannya bisa melelehkan siapapun saja yang melihatnya kecuali lelaki bodoh dan tak pekaan.Â
Tak perlu menunggu waktu yang lama, di tengah kekosongan hatinya yang penuh amarah asmara itu datanglah lelaki bertubuh hitam tetapi hatinya sangat putih dan berambut keriting tetapi akhlaknya sangat lurus membawa angin segar kebahagiaan. Menjanjikan kehidupan yang menggiurkan nalar siapapun saja.Â
Bagaimana tidak, semua orang sudah tahu betapa romantisdan betapa penyayang lelaki itu pada siapapun. Maka tanpa berfikir panjang, ia menerima cintanya di sebuah tempat kerja dengan harum indah bunga mawar sebagai tanda cinta yang menggelora pancarona.Â
Semua orang seakan iri melihat kejadian itu karena di lingkup dusun hal itu masih terasa tabu tetapi justru hal itu pula yang membuat Ia benar-benar melupakan lelaki bodoh dan tek pekaan. Sebenar-benarnya melupakan.
Beberapa bulan berlalu, mereka memutuskan menikah. Ya, ia telah menemukan cinta takdirnya. Kemudian bulan berlalu kembali, sehabis menjadikan bercinta sebagai hobi dan puas akan kinerja suami yang kuat dan liar karena mungkin tergiur akan indah tubuhnya yang menonjol kemana-mana maka kini tubuhnya sudah berbadan dua alias hamil.Â
Ia ingin mengabarkan hal ini pada lelaki bodoh dan tak pekaan sebagai wujud balas dendam paling nyata, hanya saja ia keliru. Lelaki itu menghilang dari peredaran setelah ia mengucapkan ucapan selamat atas pernikahan sebagai wujud basa basi belaka.Â
Ia tahu dan faham betul bahwa ucapan itu mengandung unsur kepalsuan paling sakit. Ia merasa menang dan puas karena berhasil menghantam hati lelaki bodoh dan tak pekaan itu. Dersik hatinya mungkin koyak.
Beberapa perasaan mungkin tertinggal namun memang harus ada yang tanggal. Kini, anak hasil percintaan itu telah lahir untuk menantang dunia. Kebahagiaan telah meluber ke seantero family, demikian jua perasaannya yang selalu memaknai keajaiban -- keajaiban hasil karya Tuhan melalui adegan demi adegan paling indah yang ia lakukan bersama sang suami. Ia bersyukur dan kehidupannya diselimuti aura- aura cahaya kebahagiaan.
Ya, di hari Rabu hari raya rindu dendam itu. Mata indahnya melihat kembali lelaki bodoh dan tak pekaan di acara kemerdekaan tahun lalu. Ia ingin berteriak "Ayo lihat aku. Ini ada anakku.Â
Hai kau bajingan, coba lihat sini!" Namun sayang sekali takdir Tuhan menyeka amarahnya, lelaki bodoh dan tak pekaan itu seperti masa lalu masih sama tak mau melihat. Berlalu dengan canda tawa tak penting dan pamer pesona kepalsuan. Lenggana.
"Sampai saat tulisan ini berakhir, kaulah yang paling bertanggungjawab atas tetes demi tetes air mataku!" sebuah pesan singkat masuk ke sela-sela telepon perempuan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H