Tentu ia faham keberaniannya diuji dan ia harus menjaga pandangan dan perasaan.
...
Malam hari tiba, Azmi memberanikan diri menaiki tangga menara setelah sebelumnya melihat Nafiza menaiki menara. Dialog dua jiwa pun dimulai.
"Apa yang membuat kamu tersenyum dan menangis melihat kegelapan malam dari ruangan menara ini, Za?" Tanya Azmi malu-malu
Nafiza menjawab sambil telunjuk kanannya menunjuk ke tempat nongkrong,
"Lihatlah kesana. Lihat para anak-anak jalanan dan pengemis itu yang kini sedang tiduran. Kita seperti berumah di angin dan tidak menginjak bumi. Kita disini dididik untuk pintar secara agama dan akhlak namun siapa yang akan mengajari mereka ilmu agama. Apakah kita hanya fokus pada ibadah kita sendiri? Kapan kita mau menginjakan kaki ke bumi dan mau menjadi pendengar yang baik, tempat curhat dan solusi bagi permasalahan mereka"
"Tahukah kamu mengapa aku tersenyum ? Aku tersenyum karena ternyata esok lusa ada tim santri yang akan mendakwahi mereka. Aku curhat ke Abah dan abah langsung respon. Kamu juga besok ikut di tim. Ada empat orang : aku, kamu, Gus Ali dan Kang Bidin." Jawab Nafiza
Azmi tercengang dengan jawaban Nafiza, dan itu membuat dirinya semakin jatuh cinta pada Nafiza.
Kebaikan hatinya yang tulus telah membuka pintu asmaranya yang selama ini tertutup rapat, sikap apa adanya membuat terpesona dan wajahnya yang indah bagai purnama yang memancar di kegelapan malam. Seperti payung hati yang meneduhkan pandangan yang melindungi dari perasaan resah dan gelisah.
Tiba-tiba ada cahaya senter mengarah ke tempat mereka. Satpam pondok mendapati mereka dan segera menangkap dan mengintrogasi mereka.
Bagaimana nasib mereka selanjutnya? Bagaimana kisah cinta mereka selanjutnya?