Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekolah Stempel Diri, Arus dan Orangtua

21 Maret 2019   19:14 Diperbarui: 21 Maret 2019   19:24 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini serasa sepi. Jam dinding yang berdetak hanyalah teman bersuaranya. Sementara angin malam yang semilir terus saja membuat bulu kuduk merinding. Kamar-kamar kos sebelah sudah sepi dan lampu juga sudah dimatikan tampaknya sudah pada tertidur lelap.

Alan, Joni dan Iqbal yang baru saja pulang kerja (sift sore) sedang obrol tentang masa depannya masing-masing. Cerita masalalu dan kenangan-kenangan yang indah juga tampak asyik untuk didiskusikan. Namun begitu, kenangan pahit juga perlu dijelaskan supaya menjadi pelajaran buat mengarungi kehidupan ke depannya.

Alan adalah anak orang yang tak punya. Orangtuanya miskin. Satu-satunya harapan akan perubahan hidup adalah masa depan Alan. Untuk hal itu maka Alan disekolahkan di STM. Orangtuanya pengin Alan menjadi orang sukses di Kota seperti pamannya. Pamannya dulu sekolah di STM dan sukses. Inspirasinya berangkat dari sini.

Namun ada yang luput dari orangtuanya, yakni minat dan bakat dari Alan. Sedari kecil Alan sangat menggemari dan tertarik dengan sastra. Dia bahkan pernah punya niat kuliah sastra. Tetapi karena sebab keuangan dan tak mau mengecewakan orang tua, Alan menempuh jalur sekolah STM. Tujuannya supaya lulus nanti bisa mendaftar di perusahaan besar. Gajinya juga lumayan.

Sampai akhirnya, Alan diterima diperusahaan besar. Dan bertemulah dia dengan Joni dan Iqbal.

Joni lain lagi, Joni adalah anak orang yang cukup berpunya. Orangtuanya tak memaksa dirinya untuk sekolah STM atau SMA, yang penting Joni nyaman dan sesuai minat dan bakatnya. Joni yang minat dan bakat dengan dunia permesinan sangat gembira bahwa pekerjaannya sesuai bakat dan minatnya, sampai akhirnya dia bersahabat dengan Alan dan Iqbal.

Dan Iqbal adalah anak orang yang tak punya. Orangtuanya memang tak miskin tetapi keseharian keluarganya sangat sederhana. Orang tuanya sudah memasrahkan masa depannya kepada Iqbal. Sekolah, tak sekolah, mondok, kerja atau apapun. Asalkan bukan pekerjaan haram, orangtuanya mendukung. Namun Iqbal bersekolah di STM bukan karena minat, bakat atau paksaan. Tetapi karena ikut-ikutan dengan teman yang lain. Temannya banyak yang di STM sehingga dia pun sekolah di STM. Iqbal tak menyadari bahwa ikut-ikutan tanpa menimbang bakat dan minat bisa menjadi bumerang dikemudian kelak. Bisa menjadi batu sandungan yang mengganggu kehidupannya. Sampai akhirnya dia bersahabat dan disatukan dalam pekerjaan dengan Joni dan Alan.

Tiga pemuda yang mempunyai latar belakang berbeda, kepentingan berbeda dan tujuan yang berbeda kini disatukan di dalam satu pekerjaan di perusahaan besar. Tampaknya mereka sedang curhat tentang jalan kehidupan yang mereka lalui.

Alan memulai curhatannya,

"Kita disatukan disini yang pertama karena takdir. Yang kedua karena pekerjaan. Kita dari latar belakang yang berbeda dan waktu sekolah pun kita tak pernah tahu bahwa senang atau tidak senang kita harus menerimanya. Kita tak tahu harus pekerjaan apa, kerja apa, kerja dimana. Inilah konsekuensinya dan kita harus menjalaninya. Kita punya kewajiban disitu. Tetapi aku hanya ingin flashback ke jaman kita masih sekolah dulu. Aku tak akan menyalahkan orangtuaku sebab aku disini. Walau aku lebih tertarik dunia sastra daripada permesinan. Mereka sudah maksimal ingin mensukseskanku. Tentunya dengan cara mereka yakni aku harus merantau seperti halnya pamanku yang lebih dulu sukses."

Joni tiba-tiba menyela pembicaraan,

"Jangan begitu. Kamu harus bersyukur bisa kerja disini. Ingat lho.. masih banyak yang nganggur dan sibuk mencari pekerjaan. Problem kita kan hanya jenuh. Barangkali kamu kurang liburan atau kurang bersosial? Jangan dikamar terus? Atau mungkin cari pacar supaya bisa mengurangi rasa jenuhmu."

Alan pun membalas ucapan Joni, sementara Iqbal masih menyimak.

"Bukan itu. Bukan karena aku sudah jenuh. jenuh hal yang wajar karena pekerjaan kita memang monoton tetapi kita kan bisa mengakalinya. Ngelucu juga bisa menjadi tips supaya gak jenuh. Liburan atau main atau cari pacar juga bisa. Problem yang ingin aku sampaikan bukan di pekerjaannya tetapi saat kita sedang dipoles akan jadi apa. Sekolah STM adalah polesan pertama kita bahwa STM ternyata hanyalah ritual mencari ilmu yang goalnya hanyalah mencari ijazah untuk melamar pekerjaan. Di sekolah 90% adalah ilmu teori ilmiah dan hanya 10% yang masih relevan digunakan dikehidupan sehari-hari. Ilmu agama, ilmu sosial, ilmu permesinan. Itupun jika permesinan harus melamar pekerjaan. Membuka bengkel sendiri memang bisa tapi kebanyakan terkendala masalah dana. Sehingga ilmu permesinan itupun menjadi tumpukan buku-buku di rak atau menjadi hiasan di lemari. Bukan sekolah itu gak penting. Tetapi kita harus bertanya dulu. Kita sekolah atas kemauan kita atau atas kemauan ego orang tua? Sekolah atas kemauan sendiri sebab minat dan bakat atau kemauan karena ikut-ikutan teman? Inilah problemku. Aku sekolah atas keinginan orangtua yang menyangka dengan sekolah disana aku bisa sukses."

Tiba-tiba Iqbal langsung ikut berkomen,

"Benar, Lan. Sekolah adalah polesan yang menentukan masa depan. Jenjang STM ataupun kuliahan bisa jadi menjadi amunisi nasib seseorang. Jujur saja, aku menyesal tidak menjadi indepen waktu itu. Aku seperti bagian dari arus ikut-ikutan. Teman-teman hobi sepakbola aku ikutan main padahal aku lebih suka bulutangkis. Aku gak independen. Teman-teman banyak yang sekolah di STM aku ikutan sekolah di STM,aku bahkan belum mau mencermati minat dan bakatku. Aku terhanyut dalam arus tersebut. Dan kebanyakan dari kita seperti itu, bukan? Banyak yang hanya ikut-ikutan tanpa mau mencermati dirinya ini mau apa? Ini akan menimbulkan kegalauan jika sudah menjadi karyawan seperti kita. Aku mengalaminya sendiri. Aku sampai sekarang mencari bakatku sebab aku daridulu hanya ikut-ikutan saja."

Joni yang nasibnya sejalan dengan minat dan bakatnya memahami kegalauan teman-temannya. Dia pun sedikit menghibur kedua temannya itu.

"Dari kalian aku belajar banyak. Alan terhambat karena salah jurusan sedangkan Iqbal terhambat karena tidak independen. Maaf jika aku berucap seperti itu. Kalian berdua malah sebenarnya tidak independen. Tetapi inilah takdir. Nasi sudah menjadi bubur. Yang penting kita harus terus bersyukur masih diberi kesehatan badan dan nikmat iman. Bukankah dua nikmat itu merupakan nikmat yang besar. Tetapi mengapa banyak manusia sering lupa dengan nikmat ini. Yakni nikmat sehat badan dan nikmat keimanan. Misalnya saja saat ada pemadaman bergilir. Banyak yang gelisah dan susah tetapi jika lampu sudah menyala. Langsung berucap hamdallah. Padahal saat lampu masih menyala kita malah jarang mengucapnya. Justru harusnya saat lampu masih menyala kita langsung ingat dan bersyukur. Ini juga bisa menjadi pelajaran buat kita bersama bahwa saat menjadi orangtua kita harus mencermati bakat dan minat anak untuk kemudian kita arahkan kesitu. Kita juga tak boleh memaksa anak untuk bersekolah di STM ataupun SMA, biarlah anak yang menentukan sendiri. Tetapi kita juga harus memperisaiinya. Anak harus dipantau masa perkembangannya dan diluruskan jalannya jikalau menyimpang. Diajari yang benar kalau salah. Dididik supaya benar dan berperilaku sopan santun baik kepada orangtuanya maupun masyarakat sekitar."

Alan dan Iqbal sudah berniat mau resign. Terlepas dari apa masalahnya atau apa tujuannya itu merupakan hak setiap indifidu sehingga Joni pun tak bisa berbuat banyak.

"Jujur aku sangat kehilangan jika kalian akan resign. Tetapi kita memang punya tujuan masing-masing dan cita-cita masing-masing. Apapun itu kalian harus menjadi orang yang independen. Tidak mudah goyah jika dipengaruhi orang lain. Selalu menggali bakat dan minat dan lakukan itu semua dengan suka cita. Bukan karena terpaksa ataupun keinginan sesaat. Lakukan pekerjaan dengan perasaan cinta sehingga hasilnya pun InsyaAllah akan maksimal karena didasari perasaan cinta. Juga jangan mau ikut-ikutan jika memang kamu gak suka"

Alan dan Iqbal pun memutuskan jalan kehidupannya kelak.

"Aku akan resign. Dan akan sekolah di sekolah sastra. Aku meyakini sekolah ini cocok dengan apa yang aku gemari dan sukai."

"Aku akan menjadi orang yang independen. Aku akan belajar tentang menyikapi independen. Kapan harus independen ? ada banyak pilihan dan kita harus menjadi diri kita sendiri."

"Aku akan melanjutkan bisnis jualan tas milik ayahku. Dan aku juga akan belajar menjadi manusia yang independen." Ujar Joni

Pertemanan mereka memang tidak berhenti tetapi seiiring waktu, mereka akan sadar sebuah konsekuensi kehidupan. Bahwa kelak ada masa dimana ada rindu mengenang. Mereka bak sedang menjalani akting dan peran yang digerakkan oleh sang maha sutradara kehidupan. Meskipun peran dan akting, mereka dituntut serius menjalaninya, bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun