Mohon tunggu...
Em Amir Nihat
Em Amir Nihat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Kecil-kecilan

Kunjungi saya di www.nihatera.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekolah Stempel Diri, Arus dan Orangtua

21 Maret 2019   19:14 Diperbarui: 21 Maret 2019   19:24 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Jangan begitu. Kamu harus bersyukur bisa kerja disini. Ingat lho.. masih banyak yang nganggur dan sibuk mencari pekerjaan. Problem kita kan hanya jenuh. Barangkali kamu kurang liburan atau kurang bersosial? Jangan dikamar terus? Atau mungkin cari pacar supaya bisa mengurangi rasa jenuhmu."

Alan pun membalas ucapan Joni, sementara Iqbal masih menyimak.

"Bukan itu. Bukan karena aku sudah jenuh. jenuh hal yang wajar karena pekerjaan kita memang monoton tetapi kita kan bisa mengakalinya. Ngelucu juga bisa menjadi tips supaya gak jenuh. Liburan atau main atau cari pacar juga bisa. Problem yang ingin aku sampaikan bukan di pekerjaannya tetapi saat kita sedang dipoles akan jadi apa. Sekolah STM adalah polesan pertama kita bahwa STM ternyata hanyalah ritual mencari ilmu yang goalnya hanyalah mencari ijazah untuk melamar pekerjaan. Di sekolah 90% adalah ilmu teori ilmiah dan hanya 10% yang masih relevan digunakan dikehidupan sehari-hari. Ilmu agama, ilmu sosial, ilmu permesinan. Itupun jika permesinan harus melamar pekerjaan. Membuka bengkel sendiri memang bisa tapi kebanyakan terkendala masalah dana. Sehingga ilmu permesinan itupun menjadi tumpukan buku-buku di rak atau menjadi hiasan di lemari. Bukan sekolah itu gak penting. Tetapi kita harus bertanya dulu. Kita sekolah atas kemauan kita atau atas kemauan ego orang tua? Sekolah atas kemauan sendiri sebab minat dan bakat atau kemauan karena ikut-ikutan teman? Inilah problemku. Aku sekolah atas keinginan orangtua yang menyangka dengan sekolah disana aku bisa sukses."

Tiba-tiba Iqbal langsung ikut berkomen,

"Benar, Lan. Sekolah adalah polesan yang menentukan masa depan. Jenjang STM ataupun kuliahan bisa jadi menjadi amunisi nasib seseorang. Jujur saja, aku menyesal tidak menjadi indepen waktu itu. Aku seperti bagian dari arus ikut-ikutan. Teman-teman hobi sepakbola aku ikutan main padahal aku lebih suka bulutangkis. Aku gak independen. Teman-teman banyak yang sekolah di STM aku ikutan sekolah di STM,aku bahkan belum mau mencermati minat dan bakatku. Aku terhanyut dalam arus tersebut. Dan kebanyakan dari kita seperti itu, bukan? Banyak yang hanya ikut-ikutan tanpa mau mencermati dirinya ini mau apa? Ini akan menimbulkan kegalauan jika sudah menjadi karyawan seperti kita. Aku mengalaminya sendiri. Aku sampai sekarang mencari bakatku sebab aku daridulu hanya ikut-ikutan saja."

Joni yang nasibnya sejalan dengan minat dan bakatnya memahami kegalauan teman-temannya. Dia pun sedikit menghibur kedua temannya itu.

"Dari kalian aku belajar banyak. Alan terhambat karena salah jurusan sedangkan Iqbal terhambat karena tidak independen. Maaf jika aku berucap seperti itu. Kalian berdua malah sebenarnya tidak independen. Tetapi inilah takdir. Nasi sudah menjadi bubur. Yang penting kita harus terus bersyukur masih diberi kesehatan badan dan nikmat iman. Bukankah dua nikmat itu merupakan nikmat yang besar. Tetapi mengapa banyak manusia sering lupa dengan nikmat ini. Yakni nikmat sehat badan dan nikmat keimanan. Misalnya saja saat ada pemadaman bergilir. Banyak yang gelisah dan susah tetapi jika lampu sudah menyala. Langsung berucap hamdallah. Padahal saat lampu masih menyala kita malah jarang mengucapnya. Justru harusnya saat lampu masih menyala kita langsung ingat dan bersyukur. Ini juga bisa menjadi pelajaran buat kita bersama bahwa saat menjadi orangtua kita harus mencermati bakat dan minat anak untuk kemudian kita arahkan kesitu. Kita juga tak boleh memaksa anak untuk bersekolah di STM ataupun SMA, biarlah anak yang menentukan sendiri. Tetapi kita juga harus memperisaiinya. Anak harus dipantau masa perkembangannya dan diluruskan jalannya jikalau menyimpang. Diajari yang benar kalau salah. Dididik supaya benar dan berperilaku sopan santun baik kepada orangtuanya maupun masyarakat sekitar."

Alan dan Iqbal sudah berniat mau resign. Terlepas dari apa masalahnya atau apa tujuannya itu merupakan hak setiap indifidu sehingga Joni pun tak bisa berbuat banyak.

"Jujur aku sangat kehilangan jika kalian akan resign. Tetapi kita memang punya tujuan masing-masing dan cita-cita masing-masing. Apapun itu kalian harus menjadi orang yang independen. Tidak mudah goyah jika dipengaruhi orang lain. Selalu menggali bakat dan minat dan lakukan itu semua dengan suka cita. Bukan karena terpaksa ataupun keinginan sesaat. Lakukan pekerjaan dengan perasaan cinta sehingga hasilnya pun InsyaAllah akan maksimal karena didasari perasaan cinta. Juga jangan mau ikut-ikutan jika memang kamu gak suka"

Alan dan Iqbal pun memutuskan jalan kehidupannya kelak.

"Aku akan resign. Dan akan sekolah di sekolah sastra. Aku meyakini sekolah ini cocok dengan apa yang aku gemari dan sukai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun