Kasus Kebohongan yang dilakukan RS telah menyita perhatian banyak orang. Semua energi sibuk mengomentari suatu kasus yang nyatanya sudah selesai. Tetapi ibarat menyembunyikan bangkai tetap ketahuan juga, toh akhirnya RS mengaku dan meminta maaf.
Kondisi ini menjadi ramai dikarenakan ada salah satu paslon presiden lebih tepatnya yang didukung oleh RS telah dibohongi dan terlanjur membuat siaran pers. Walaupun akhirnya beliau juga meminta maaf karena terlanjur mempercayai tanpa cek and ricek.
Kegaduhan ini nyatanya terlanjur membuat energi untuk gempa Donggala dan Lombok terpecah. Kita mengomentari satu orang tetapi malah melupakan hal yang urgen yakni terkait gempa Donggala dan Lombok.
Kita pun melupakan kasus yang menurut penulis sangat penting untuk kita telaah dan pelajari yakni kasus Seorang perempuan di Sidoarjo, Jawa Timur, diperiksa polisi setelah menyebarkan informasi hoaks (hoax) melalui media sosial Facebook.
Perempuan warga kecamatan Krian tersebut sebelumnya menyebarkan informasi tentang gempa dahsyat berkekuatan 9,5 Skala Richter yang cukup membuat banyak orang resah.
Ibu rumah tangga ini menyebarkan informasi bohong itu menggunakan akun Facebooknya tak lama setelah musibah gempa bumi di Palu dan Donggala.
Dia menulis di akun tersebut tentang 'gempa maha dahsyat sampai 9,5 SR yang akan melanda Indonesia', serta 'LIPI memaswapadai akan terjadinya gempa dengan kekuatan skala besar khususnya di pulau Jawa beberapa waktu kedepannya.
Meminta penduduk Bandung utara, Jakarta, waspada serta menyiapkan perbekalan untuk mengantisipasi gempat tersebut.
Tersangka Uuf mengatakan memperoleh informasi itu dari group Whatsapp.
"Saya posting tulisan itu ke Facebook untuk mengingatkan masyarakat," ucapnya di Mapolda Jatim Rabu (3/10/2018).
Kapolda Jatim, Irjen Pol Luki Hermawan mengatakan kasus penindakan tersangka penyebar informasi Hoax itu merupakan tindaklanjut dari perintah Presiden Joko Widodo, terkait banyaknya Hoax pasca musibah gempa dan Tsunami di Palu dan Donggala Sulawesi Tengah.
"Dari hasil bukti terbukti tersangka melakukan, membuat menyebarkan berita bohong melalui akun Facebook," ujarnya.
Kasus ini menjadi penting karena ada kejanggalan dan keprihatinan bersama, sebab yang diproses bukan yang bikin berita hoax itu melainkan justru yang menyebarkan.
Padahal asas menyebarkan berita ada dua kemungkinan : tidak tahu bahwa itu hoax atau tahu tapi iseng. Kalau kemungkinan yg tidak tahu lalu ditangkap. Sama saja kita menangkap ekor tapi tidak tahu siapa kepalanya.
Edukasi antisipasi hoax pun dirasa kurang, media menjejali saban hari tanpa mau mengambil manfaat hanya fokus hasil. Masyarakat diombang ambingkan dengan berita kontroversi dan pro kontra yang terkadang justru memelas iba sehingga jari tanganpun tidak sungkan untuk membagi. Pemerintah pun memang menggalakan stop menyebarkan berita hoax tetapi ancaman atau siapa dalang pembuat hoax sampai kini tidak pernah dipenjarakan.
Kalau kentongan di gardu desa ditabuh per 1X, tanda ada pembunuhan. Per 2X Maling. Per 3X Rumah kebakaran. Per 4X banjir bandang, lindu atau bencana alam lainnya. Per 5X ada pencurian Lembu, Kerbau atau hewan lain.
 Kalau Doro Muluk , 1.7.1 keadaan aman.
Siapa saja yang dekat Gardu atau Cakruk, kalau mendengar teriakan " Banjir bandaaang...banjir bandaaaang... ", atau " Maliiing...maliiing... ", langsung menabuh kentongan. Tidak perlu konfirmasi, check and recheck. Sebab, momentum sangat penting dalam situasi darurat untuk secepatnya penduduk mengantisipasi atau menyelamatkan diri.
Kondisi tabuh kentonganpun mirip seperti kisah wanita tadi yakni adanya rasa untuk masyarakat yakni momentum situasi darurat. Pertanyaannya, sudahkah Pemerintah dan kepolisian menyadari hal ini? Bersediakah kepolisian untuk menangkap yang bikin hoax? Atau jangan-jangan memang para buzzer politik inilah kecenderungan yang membuat kagaduhan nasional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H