Edukasi antisipasi hoax pun dirasa kurang, media menjejali saban hari tanpa mau mengambil manfaat hanya fokus hasil. Masyarakat diombang ambingkan dengan berita kontroversi dan pro kontra yang terkadang justru memelas iba sehingga jari tanganpun tidak sungkan untuk membagi. Pemerintah pun memang menggalakan stop menyebarkan berita hoax tetapi ancaman atau siapa dalang pembuat hoax sampai kini tidak pernah dipenjarakan.
Kalau kentongan di gardu desa ditabuh per 1X, tanda ada pembunuhan. Per 2X Maling. Per 3X Rumah kebakaran. Per 4X banjir bandang, lindu atau bencana alam lainnya. Per 5X ada pencurian Lembu, Kerbau atau hewan lain.
 Kalau Doro Muluk , 1.7.1 keadaan aman.
Siapa saja yang dekat Gardu atau Cakruk, kalau mendengar teriakan " Banjir bandaaang...banjir bandaaaang... ", atau " Maliiing...maliiing... ", langsung menabuh kentongan. Tidak perlu konfirmasi, check and recheck. Sebab, momentum sangat penting dalam situasi darurat untuk secepatnya penduduk mengantisipasi atau menyelamatkan diri.
Kondisi tabuh kentonganpun mirip seperti kisah wanita tadi yakni adanya rasa untuk masyarakat yakni momentum situasi darurat. Pertanyaannya, sudahkah Pemerintah dan kepolisian menyadari hal ini? Bersediakah kepolisian untuk menangkap yang bikin hoax? Atau jangan-jangan memang para buzzer politik inilah kecenderungan yang membuat kagaduhan nasional?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H