Suara lantunan bacaan sholat tarawih terdengar keras di telingaku. Aku sedang menyusuri jalanan malam bersama ibu dan adik kecilku yang digendong menggunakan jarit. Ibuku sangat lelah sekali terlihat dari raut mukanya yang penuh dengan keringat, kusam dan juga muram. Begitupun juga aku. Apalagi aku, sudah seminggu ini aku belum mandi. Kami menyusuri malam ini seperti malam-malam biasanya. Memulung.
"Im. Kita berhenti dulu disini ya. Ibu akan beli air minum. Jaga adik." Dengan melepas ikatan jaritnya dan memopohkan adik kepadaku, Ibu bergegas menuju toko pinggir jalan yang menjajakan minuman. Di tangannya tergenggam uang empat ribu lusuh. Ibu menggenggam sangat erat. Itu uang yang kami dapat sehari ini. Ibu berjalan dengan tertatih-tatih kesakitan. Sebelum pemberhentian, tidak sengaja kaki ibuku menendang batu bata yang nyasar. Entah siapa yang menaruh batu bata sebiji itu disana.
Sambil menunggu ibu beli air minum, aku ( Boim) bermain-main dengan adikku. Kami hanya bermain tebak-tebakan. Sebagai orang yang miskin ditengah kejamnya ibukota, kami sudah terbiasa belajar mencari kebahagiaan sendiri. Kami paham bagaimana menyulap tangis menjadi tawa. Bagaimana menyulap lapar menjadi kenyang.
"Coba tebak, Pron. Itu lantunan suara apa? Yang keras dengan moncong pengeras itu?"
"Itu suara orang sedang beribadah. Mereka khusyuk sekali. Senang melihat begituan kak." Jawab Sapron adikku
"Ibadah sih apa ya kak? Tapi melihat mereka berkumpul tampaknya mereka sedang menyembah sesuatu. Atau mereka sedang merapal supaya kehidupannnya berjalan lebih baik."
"Seperti dukun, Pron."
"Mungkin"
Kami buta dengan ibadah. Kami buta dengan Tuhan. Kami nihil keilmuan dan bodoh urusan agama. Sebab pertama kami tidak tahu kemana harus belajar. Sebab kedua mungkin tidak ada ulama yang mau dekat-dekat dengan orang kotor macam kami. Bahkan dalam kamus hidup kami, asal bisa makan dan minum hari ini itu adalah kebahagiaan yang sesungguhnya. Sejak kecil sampai sekarang, kami hanya seperti ini. Hidup di jalanan dan berharap kelak akan datang hari dimana kepahitan ini berakhir menjelma menjadi kebahagiaan.
Disela-sela tebak-tebakan, ada dua orang datang kepada kami. Satu bapak-bapak dan satunya lagi anak kecil sepertinya anak dari bapak itu. Mereka membawa bungkus nasi goreng, bagi kami itu enak sekali. Sayangnya anganku terlalu tinggi, anak kecil seusia adikku itu merogoh saku celananya dan aku melihat dua uang kertas. Satu uang dua ribuan dan satu lagi uang seratus ribuan. Kami dikasih yang dua ribuan. Meskipun begitu, kami sangat berterima kasih.
Sudah sepuluh menit semenjak ibu mau beli air minum tetapi kini ibu menghilang. Kemana ibuku? Padahal tadi aku masih melihat beliau sedang tawar-menawar dengan penjual air minum. Tetapi kini kemana beliau? Aku bingung dan ketakutan. Apalagi adik kecilku, Sapron. Dia malah menangis. Menambah runyam masalah.