Mohon tunggu...
Nur Hidayah
Nur Hidayah Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswi Psikologi

Belajar menjadi manusia dan memanusiakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Wayang Kulit dan Konsep Diri: Refleksi Psikologis melalui Seni Tradisional

10 Desember 2023   03:42 Diperbarui: 10 Desember 2023   04:27 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Wayang Kulit, seni tradisional yang unik dan penuh warna dari Pulau Jawa, tidak hanya sebuah pertunjukan teater rakyat yang mempesona, tetapi juga mencerminkan proses pembentukan konsep diri dalam psikologi. Dalam budaya Jawa, Wayang Kulit tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga menjadi sarana yang mendalam untuk merenung tentang identitas dan nilai-nilai yang membentuk diri manusia. Artikel ini akan mengeksplorasi bagaimana keterkaitan antara Wayang Kulit dan konsep pembentukan diri manusia, dengan memanfaatkan teori-teori dari para ahli psikologi sebagai landasan argumentasi.

Mengenali Wayang Kulit: Warisan Budaya yang Hidup

Wayang Kulit, seni tradisional yang kaya warisan budaya Indonesia, memiliki akar yang kuat di pulau Jawa. Pementasan yang menarik ini menghadirkan boneka kulit yang ditempelkan pada layar dan dihidupkan melalui bayangan yang tercipta oleh lampu, menciptakan pengalaman magis yang tak terlupakan. Dengan mengambil narasi epik Ramayana atau Mahabharata, Wayang Kulit bukan sekadar pertunjukan, melainkan perjalanan melintasi nilai-nilai moralitas yang melekat dalam kearifan lokal.

Konsep Diri dalam Kisah Epik

Salah satu aspek paling menarik dari Wayang Kulit adalah bagaimana cerita-cerita tersebut dapat meresap ke dalam jiwa penonton, membentuk dan memperkaya konsep diri mereka. Albert Bandura, seorang psikolog sosial, menyatakan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh proses sosial, observasi, dan identifikasi dengan orang lain. Karakter-karakter yang diperankan oleh wayang memiliki sifat dan konflik yang sering mencerminkan dinamika kompleks dalam kehidupan manusia. Contohnya, tokoh Arjuna dalam Mahabharata sering mewakili konflik batin antara kewajiban dan keinginan pribadi (id, ego, dan superego).

Simbolisme dan Makna

Dalam setiap pertunjukan Wayang Kulit, terdapat simbolisme yang mendalam yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa. Simbolisme dalam Wayang Kulit mencerminkan teori psikologi analitik Carl Gustav Jung, di mana simbol dianggap sebagai bahasa jiwa manusia. Jung mengatakan bahwa simbol memiliki kekuatan untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi di alam bawah sadar. Sebagai contoh, bayangan yang dihasilkan oleh wayang di layar menciptakan ilusi tentang keberadaan karakter dalam dunia nyata. Dalam psikologi, hal ini dapat diartikan sebagai refleksi bagaimana kita menciptakan citra diri di dalam pikiran kita sendiri.

Wayang Kulit sebagai Cermin Diri

Wayang Kulit dapat dianggap sebagai cermin yang memantulkan kehidupan dan nilai diri manusia. Dalam psikologi, konsep diri adalah cara individu melihat, menilai, dan mendefinisikan dirinya sendiri. Setiap tokoh wayang mewakili sisi berbeda dalam diri manusia, baik yang terang maupun gelap, moral dan amoral. Seiring penonton menyaksikan perjalanan karakter ini, mereka secara tidak langsung merenung tentang kompleksitas dan keragaman konsep diri manusia. Misalnya, ketika Srikandi dihadapkan pada dilema etis, di mana ia harus membunuh saudaranya sendiri, Bisma, dalam pertempuran. Konflik moral Srikandi dapat memicu pemirsa untuk merenungkan nilai dan identitas pribadi mereka dalam situasi sulit.

Ritual sebagai Simbol Pembentukan Konsep Diri

Upacara dan ritual seputar pertunjukan Wayang Kulit juga memainkan peran penting dalam pembentukan konsep diri masyarakat Jawa. Teori Erik Erikson, yang berfokus pada tahapan perkembangan psikososial, menyatakan bahwa individu menghadapi serangkaian krisis selama hidup mereka. Dalam upacara pernikahan dengan Wayang Kulit, calon pengantin dapat menemukan panduan moral dalam menjalani peran barunya sebagai suami istri. Selain itu, partisipasi dalam upacara ini menciptakan keterlibatan sosial dan kebersamaan yang dapat memperkaya konsep diri individu. Prosesi-prosesi dalam Wayang Kulit bukan hanya acara pertunjukan semata, tetapi juga memberikan pengaruh terhadap nilai-nilai masyarakat.

Pentingnya Dukungan Sosial

Wayang Kulit bukan hanya tentang penonton yang menyaksikan pertunjukan, tetapi juga tentang kebersamaan dan interaksi sosial yang terjadi selama acara. Teori keterlibatan sosial yang dikembangkan oleh Michael A. Hogg dan Dominic Abrams menekankan bahwa keikutsertaan dalam kelompok sosial dapat membentuk identitas pribadi. Partisipasi dalam acara-acara Wayang Kulit dapat memberikan individu perasaan terhubung dengan komunitas mereka dan mendorong rasa keterlibatan sosial. Hal ini dapat membentuk konsep diri dengan mengakui pentingnya ikatan dengan orang lain dan merasakan diri sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Kesimpulan

Dalam budaya Jawa, Wayang Kulit bukan hanya pertunjukan seni, melainkan juga bentuk kehidupan dan cermin bagi konsep diri. Dengan menggabungkan aspek-aspek budaya ini dengan konsep psikologi, terlihat bahwa Wayang Kulit dapat menjadi sarana yang kuat untuk merangsang pemikiran tentang diri dan membentuk identitas. Pada akhirnya, melalui cerita-cerita epik, simbolisme, dan ritual, Wayang Kulit memberikan kesempatan bagi individu untuk merenung tentang perjalanan kehidupan, menggali nilai-nilai batin, dan memahami hubungan mereka dengan dunia. Oleh karena itu, Wayang Kulit bukan hanya sebuah pertunjukan, tetapi juga sebuah perjalanan emosional dan spiritual yang mendalam menuju pemahaman yang lebih baik tentang konsep diri.

Referensi:

Bandura, A., & Evans, R. I. (2006). Albert Bandura. Insight Media.

Endraswara, S. (2017). Psikologi raos dalam wayang. Media Pressindo.

Hattie, J. (2014). Self-concept. Psychology Press.

Jung, C. G. (2015). Freud and Psychoanalysis, Vol. 4. Routledge.

Widick, C., Parker, C. A., & Knefelkamp, L. (1978). Erik Erikson and psychosocial development. New directions for student services, 1978(4), 1-17.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun