Rahasia tulisan ada pada pikiran. Pikiran siapa? Pikiran penulis dan pembacanya. Bagaimana penjelasannya?
Sebelum tulisan dituangkan, ia telah terlebih dulu melampaui proses panjang. Sespontan apa pun suatu tulisan dihasilkan, tak sespontan itu ia dihasilkan. Baik di sisi penulis maupun pembaca, tulisan yang spontan dihasilkan dan pesan yang spontan dibaca telah melalui proses yang panjang, berlapis, dan kompleks.
Kita liat dari sisi penulisnya. Sebelum penulis berhasil memulai dan menyelesaikan tulisan, ia telah melampaui tahap-tahap ini:
Pertama, pencarian ide
Pertanyaan yang lazim berkecamuk di benak orang yang mau menulis adalah, “Mau menulis apa ya?” Saat pertanyaan itu diajukan, pikirannya bekerja mencari. Ia akan menjelajah ingatan secara inderawi: apa yang pernah dan sedang dilihat, apa yang pernah dan sedang didengar, apa yang pernah dan sedang dirasakan, apa yang pernah dan sedang dikerjakan, dan apa yang pernah dan sedang dipikirkan. Inderawinya menuntun penjelajahan ke dimensi masa lalu dan kini.
Untuk menambah jangkauan jelajah, pikiran juga menuntun untuk mencari ke bilik pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ia akan membuka perpustakaan di benaknya: apa yang sudah ia ketahui, apa yang sudah ia pahami, apa yang ia ahli. Ia pun akan membuka rekam jejak dirinya: apa yang sudah menjadi keahliannya. Ia pun menengok kembali garis tebal di syaraf-syarafnya: mana yang masih ia lakukan secara hafalan, mana yang sudah menjadi kebiasaan, dan mana yang sudah otomatis.
Kedua, penemuan ide
Penjelajahan panjang di pikiran itu sampai kepada pilihan. Awalnya masih terpajang banyak pilihan ide. Saking banyaknya, banyak orang urung menulis. Merasa terlalu banyak ide, tak tahu bagaimana memilihnya. Selain itu, ide yang pertama-tama ditemukan acapkali masih samar-samar, alias belum jelas wujud, ukuran, dan warnanya. Masih abstrak. Saat kita bersorak, “Nah, aku ada ide,” sejatinya kegembiraan itu masih di awang-awang. Pikiran kita masih memrosesnya sampai benar-benar jelas wujudnya.
Ketiga, penakaran ide
Besar-kecil, berat-ringan, dan berbobot-entengnya ide belum terukur pada mulanya. Saat spontan mencuat, ide masih terasa enteng, menyenangkan, dan bakal mudah diwujudkan. Efek “wow” hanya membawa pikiran kita kepada optimisme bahwa secara imajinatif ide itu sederhana. Nyatanya apakah sesederhana itu?
Maka, pada fase ini, pikiran kita mulai menakar ide tersebut. Pikiran akan menimbang-nimbang apakah untuk menulis artikel ide tersebut sudah cukup ringan, apakah untuk menulis buku ide tersebut cukup padat untuk diuraikan... Acap terjadi, mau menulis buku ide yang muncul hanya cukup untuk menulis artikel. Atau sebaliknya, mau menulis artikel namun muatan idenya terlalu kompleks seperti mau menulis buku.
Keempat, penyusunan ide
Susah itu hanya ada dua: nihil ide atau banjir ide. Jika nihil maka jelas: tak bisa menulis. Jika banjir: bagaimana mengorganisasi ide? Pesan, supaya sampai dengan selamat di penerimanya maka mesti disusun sedemikian rupa. Bukan saya supaya efektif, melainkan juga supaya menarik.
Di seberang, pembaca menanti. Salah penyusunan menyebabkan pembaca enggan membongkarnya. Mereka tentu hanya akan mau membuka ide seturut dengan apa yang mereka inginkan. Untuk itu, tugas penulis adalah menyusun idenya sesuai dengan apa yang dimaui pembaca. Gunakan pintu masuk pembaca supaya pembaca mau keluar lewat pintu kita.
Dinamika ini yang berlangsung seru ketika menyusun ide sebagai tulisan. Lantas muncul sederet pertanyaan ini: lead seperti apa yang menarik, metafora apa yang sebaiknya disisipkan untuk mempermudah pengertian, di alinea ke berapa pesan inti mulai disampaikan, dan bagaimana menutup tulisan supaya pembaca nyaman...
Jadi, saat anda membaca tulisan yang runtut, bisa jadi tulisan itu disusun oleh penulis sambil menahan kentut!
Kelima, pengukuran ide
Di era digital dan media sosial, mengukur apakah tulisan kita berterima atau tidak begitu mudah. Kita tinggal mengunggah tulisan kita ke akun media sosial untuk mendapatkan respon dari pembaca. Unggah berulang-ulang untuk temukan polanya; mana tulisan yang diminati dan mana tulisan yang tak digubris.
Saya selalu melakukan ini. Sampai-sampai saya bisa menebak, ide menarik yang saya tulis ini, iya yang anda baca ini, pasti tidak banyak mendapatkan respon dari teman-teman di media sosial. Lho, padahal ini topik yang bagus, kan? Bukan soal bagus-jelek, namun topik seperti ini tergolong berat untuk mendapatkan komentar ringan sebatas, “Menarik, Mas....”
Beda dengan tulisan remeh-temeh seputar wisata kuliner, jalan-jalan, lelucon, dan sejenisnya, pasti lebih banyak yang berkomentar. Tapi mengapa saya tetap menuliskannya? Karena sudah telanjur!
Bali, 21 Maret 2017
@AAKuntoA
CoachWriter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H