Berita sela. Baru saja, seorang purnawirawan, Samidi, 60 tahun, melarikan diri karena menembak membabi buta di wilayah hutan pinus miliknya. Tembakan itu menyebabkan 1 orang pekerja kritis, serta seekor beruang madu mati.
Rencana untuk segera pulang karena harus berangkat pagi buta esok hari, batal. Aku mengendarai mobil ke hutan pinus yang berjarak 5 kilometer dari proyek. Dadaku dipenuhi sesuatu yang kubayangkan seperti gas ungu. Mereka menari, meliuk, menyebar memenuhi seluruh rongga sehingga aku merasa sesak. Inikah waktu segalanya harus terhenti?
Kasus itu bermula siang hari, di jalan berbatu menuju hutan pinus. Purnawirawan itu dikawal Sengkot menuju rumah kayu menggunakan sepeda motor. Sebelum tiba, ia dihampiri dua orang tak dikenal. Mereka mengusir sang purnawirawan supaya pekerjaan mereka mengurai gulungan kabel dapat berjalan tanpa gangguan lalu lalang sepeda motor. Adu mulut tak dapat dielakkan. Sembari gemetar, Sengkot berusaha memisahkan.
Di tengah semua itu, sang purnawirawan melihat bahwa sebuah layar putih telah terpasang di antara dua bambu tinggi. Jajaran kursi juga terpasang di salah satu sudut lahannya. Dua pekerja, Franky dan Bob, yang sedang mengaturnya terkejut ketika didatangi purnawirawan yang berisik. Adu mulut berlangsung lagi. Tiba-tiba purnawirawan mengambil pistol yang tersembunyi di pinggangnya, di balik kaus, dan menembak membabi buta. Layar putih dan lampu tertembak. Batang pinus tertembak. Timah panas menembus paha kiri Franky. Kepala Bob tertembus pula.
Bob tewas tergeletak di tanah sebelum berubah menjadi seekor beruang madu yang pucat. Franky cuma bisa melihat ke langit senja. Ia seperti melihat kabut cahaya yang indah terbang mengangkasa sebelum akhirnya tak sadarkan diri. Purnawirawan yang panik kabur membawa sepeda motor. Sengkot pun lari entah ke mana.
Cukup lama aku menyelinap di antara pepohonan pinus. Cahaya remang. Aku menyipitkan mata sembari menyingkap lembar koran yang menutupi jasad korban. Aku kecewa melihat mata beruang itu. Bulat, hitam, sangat biasa saja. Tak ada lagi cahaya dan kehangatan di situ. Kurasa bahkan aku bisa berkaca dan melihat wajah kusamku di situ. Sebelum satu pun manusia menyadari ada yang hilang dari tempat kejadian perkara, aku sudah pergi.
Polisi mengejar purnawirawan itu. Aku mengetahuinya sebab polisi beberapa kali datang ke proyek dan menanyakan sederet pertanyaan padaku dan para tukang. Tiga hari kemudian, radio mengabarkan bahwa ia dibekuk. Purnawirawan itu terbukti melakukan pembunuhan berencana dan penganiayaan. Jaksa menuntutnya dihukum 14 tahun penjara, majelis hakim mengajukan hukuman penjara seumur hidup. Majelis mengabulkan banding yang diajukan. Ditambah beberapa remisi karena ia berlaku sopan dan rajin beribadah. Tentu hukuman itu tak terlalu berat untuknya.
Lepas dari penjara, beberapa kali aku datang ke rumahnya. Pertama kali datang, aku melihat kolam ikan yang kutata cantik sudah penuh lumpur. Aroma amis masuk ke dalam rumah melalui beranda dan pintu utama. Aku datang karena kelelahan. Para pekerja anyar yang belum mahir tapi sudah gemar berkonflik benar-benar menghisap emosi dan tenagaku. Aku berharap dapat menemui sosok beruang di ujung teropong.
Aku membawakan wedang ronde untuk purnawirawan yang mulai sakit-sakitan. Aku menyuapinya seolah-olah ia adalah bapakku sendiri.
"Rasanya memang begini, ya? Sepertinya ronde yang ini belum matang."
"Tidak apa-apa. Telan saja. Memang begitu. Mereka bilang itu varian baru. Ini, coba satu lagi." Aku tersenyum dalam ketika melihat ia mengernyit menggigit ronde yang butirannya lebih besar daripada yang lain.