Jika ada keberatan-keberatan mengenai tempat pembuatan mural dan izin dari pemilik lahan, tak ada salahnya kan pihak-pihak yang punya otoritas dan mudah menjangkau birokrasi membantu perizinannya? Sebab seni pun akan redup jika tidak disertai support system yang baik.
Pada saya, Lilu bercerita bahwa ia pernah tergerak menggambar ulang tembok Taman Kanak-Kanaknya di Madiun. Ketika itu, keadaan temboknya kusam, gambar-gambar memudar, tak ada keceriaan di situ. (Cerita Lilu bisa dibaca di tautan ini)
"Pulangnya, aku dimarahi Emakku, suruh ke guru TK minta maaf. Eh, di luar dugaan, guru TK-nya ternyata lewat pas siang itu aku gambar, tapi dia nggak nyapa, dibiarin aja. Dia malah bilang suruh lanjutin aja, soalnya nunggu cat dari pemerintah juga lama." Pengalaman Lilu itu bisa jadi satu contoh ketika seni dan aspek lain dalam kehidupan saling dukung dan harmonis. Mari lihat juga pengalaman Indra.
"Saya pernah bikin mural kemudian cekcok sama polisi, tapi ketika mural itu jadi malah masuk majalah pemerintah kota Malang karena di kotanya mau ada ICCC (Indonesia Creative Cities Conference, red.)"
Dari pengalaman teman-teman seniman visual, saya semakin percaya bahwa seni boleh mengamplifikasi apa saja yang ada di dalam kehidupan. Dalam hal ini, mural bisa jadi sebuah tawaran dalam melihat keberjayaan seni dan kebebasan mengutarakan pendapat di suatu wilayah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H