Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serial Karantina Mandiri #1: Bagai Berada di Medan Perang

8 April 2020   12:28 Diperbarui: 10 April 2020   10:43 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini saya siapkan selama 14 hari berada dalam masa karantina mandiri seusai pulang dari perjalanan ke Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Saya menyadari betul bahwa bepergian di masa pandemi covid-19 bukanlah sebuah langkah bijak, maka, saya menunda mempublikasikan tulisan ini hingga karantina mandiri saya di rumah selesai dan saya serta keluarga berada dalam keadaan sehat.

Bandung

Tanggal 20 Maret dinihari, saya berangkat dari rumah di kawasan Cileunyi, Kabupaten Bandung menuju sebuah pool mobil travel menuju bandara Soekarno-Hatta Cengkareng di Jalan Dipenogoro, Bandung. Nyanyian tonggeret berbunyi dari arah pepohonan. Cileunyi hujan setiap hari. Udara dingin. Apalagi lepas tengah malam itu, ketika taksi daring menunggu di depan rumah.

Saya mengenakan kaos tangan panjang, mantel fleece panjang, celana jins, kaos kaki, dan sepatu. Tanpa masker wajah, tanpa penutup kepala.

Sehari sebelumnya, aplikasi Kawal Covid menayangkan jumlah korban Covid-19 di Indonesia: 309 orang. Kegelisahan masyarakat—terutama anggota keluarga saya—perlahan meningkat. Pemberitaan di media massa semakin intens. Saya tetap harus berangkat. Tiket sudah dibeli dan tidak bisa refund atau reschedule. Urusan pun menanti di tempat tujuan.

Cengkareng

Saya tiba di bandara Soekarno Hatta jauh lebih cepat dari perkiraan. Pesawat saya menuju bandara I Gusti Ngurah Rai, Denpasar berangkat pukul 08.20 WIB, sementara saya sudah tiba di bandara pada pukul 03.30 pagi. Di tengah pandemi, hal itu mencemaskan saya.

Bandara adalah sebuah gerbang. Orang-orang dengan berbagai riwayat perjalanan dan penyakit datang dan pergi, lalu-lalang di situ.

Saya memilih kursi panjang untuk tidur di terminal 1 B. Orang-orang terlihat aware tentang physical distancing. Kursi-kursi banyak dikosongkan untuk menghindari persentuhan antara satu orang dengan yang lainnya. Sebagian besar orang menggunakan masker, bahkan sebagian kecil menggunakan sarung tangan karet.

Selama menunggu, saya memanggil kembali seluruh ingatan tentang cara mencegah terkena droplet dari orang lain—yang saya cerna dari media massa. Pertama, tentu saja physical distancing. Jaga jarak aman. Tak perlu bersentuhan jika tak perlu.

Kedua, sesering mungkin saya pergi ke toilet untuk mencuci tangan. Meskipun saya menyimpan dua botol hand sanitizer, saya menghindari menggunakannya terlalu sering. Beberapa peneliti percaya bahwa penggunaan hand sanitizer secara berlebihan memungkinkan manusia kehilangan kemampuan untuk membangun resistensi terhadap bakteri. (Sumber).

Di samping itu, tipe kulit saya memang sudah kering sedari remaja. Mengolesinya terus dengan alkohol hanya akan membuatnya semakin buruk.

Kedua, saya menghindari memegang-megang wajah—yang sangat sulit bagi saya karena sudah kebiasaan. Kalau benar-benar sudah tak betah, saya mengusap atau menggaruk wajah dengan tisu.

Waktu pas untuk check-in penerbangan jadi terasa sangat lama. Tidur saya jadi tidak nyenyak.

Denpasar

Di bandara I Gusti Ngurah Rai, kecemasan saya agak lebih tinggi. Saya mengingat berita yang disiarkan beberapa hari terakhir tentang acara ijtima' dunia Jamaah Tabligh zona Asia 2020 di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang dibatalkan. Para peserta dengan jumlah ribuan yang sudah tiba di lokasi acara kemudian dipulangkan menuju daerah asal masing-masing. (Sumber)

Di bandara, saya berpapasan dengan beberapa kelompok jamaah. Beberapa oknum berdesakan—untuk tidak mengatakan mendesakkan tubuh—di counter lapor transit, tempat seharusnya kita mengantri dengan tertib. Saya bersikap tenang meski di hati agak dag dig dug. Di kepala, bermunculan informasi yang sudah saya dapatkan tentang betapa masifnya pasien covid-19 di beberapa negara di Asia sebelum Indonesia (belakangan muncul berita bahwa beberapa anggota jamaah terkonfirmasi covid-19 meninggal dunia).

Bandara I Gusti Ngurah Rai sudah mengatur physical distancing. Kursi-kursi diberi tanda silang untuk menjaga jarak duduk. Pengumuman disiarkan tiap beberapa menit sekali untuk mengingatkan para pelancong tentang kebersihan dan jaga jarak. Toko-toko juga menyediakan hand sanitizer di kasir.

Penerapan physical distancing di Bandara I Gusti Ngurah Rai 20 Maret 2020 | Dokumentasi pribadi
Penerapan physical distancing di Bandara I Gusti Ngurah Rai 20 Maret 2020 | Dokumentasi pribadi
“Saya seperti sedang berada di medan perang.” Ujar saya kepada Eka melalui pesan Whatsapp. Ketika itu, saya memang merasa bahwa kewaspadaan orang-orang meningkat.

Ada semacam perasaan terancam dan curiga terhadap manusia lain dan bahkan benda-benda.

Kita sedang menghadapi musuh yang tidak terlihat. Mereka bisa ada di mana saja, menyelusup ke tubuh kita dengan berbagai cara. Kehadiran manusia lain jadi bagaikan benalu, bikin risih. Menyedihkan.

Pesawat yang harusnya mengangkut saya delay berjam-jam. Pihak maskapai menyediakan makan siang yang dengan cemas dan buru-buru saya makan, supaya tak terpapar udara terlalu lama. Ya, memang coronavirus tidak dapat menular melalui udara—kecuali dalam beberapa tindakan medis, tetapi tetap saja, saya terpengaruh dengan cara orang-orang bergegas dan saling melirik curiga.

Maumere

“Kamu nggak bisa pulang, lho.” Kalimat sambutan pertama dari Eka. Sial. Bukan “hai” atau “halo”, melainkan itu….

“Kenapa?”

“Kami sudah lockdown.” Ketika itu , pemahaman kami mengenai istilah tersebut masih sangat sempit. Saya membayangkan tidak akan ada penerbangan pulang dan saya akan tertahan di Maumere untuk waktu yang lama. Hari itu ternyata, sudah ada himbauan dari pemerintah  untuk menutup tempat-tempat umum dan meliburkan sekolah serta kantor. (Sumber)

Datang ke rumah tinggal di bilangan Lokaria-Nairoa, dengan berat hati saya menunda bersalam-salaman dan bercengkrama dengan orang lain. Tempat yang pertama dituju adalah kamar mandi.

Eka menyiapkan seember kecil air panas dengan batang-batang pohon ai laga (legundi dalam bahasa Indonesia, Vitex trifolia dalam bahasa Latin). Saya sudah beberapa kali mendengar tentang betapa enaknya mandi dengan air dari rebusan tanaman itu.

Hampir satu jam saya berada di dalam kamar mandi. Menggosok anggota tubuh dengan cermat sembari menikmati air hangat dan aroma terapi yang menenangkan. 

Hari kedua, saya mengisi formulir dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka untuk pendataan ODP (Orang dalam Pengawasan) karena saya baru datang dari wilayah positif covid-19. Formulir itu berisi informasi umum (nama, usia, kontak), detil riwayat perjalanan, serta gejala-gejala sakit (jika ada).

Di Maumere, saya beberapa kali berbincang dengan salah satu anggota Dinas Kesehatan. Saya mendapat informasi tentang kesulitan penanganan covid-19. Setelah baru saja lepas dari lonjakan penderita Tuberculosis, KLB Demam Berdarah Dengue, Kabupaten Sikka seakan tidak berhenti kedatangan “tamu”. Dinas Kesehatan hampir cukup kelimpungan.

Meski hari ini Provinsi NTT masih 0 pasien positif covid-19 (sebelum kedatangan KM Lambelu kemarin), tetapi problem yang dihadapi sama saja dengan daerah lain: Alat Pelindung Diri (APD) yang terbatas dan tes yang masih harus mengandalkan alat di luar pulau. Ketika itu, hanya terhitung dua maskapai penerbangan yang memenuhi standar pengangkutan sampel (satu di antaranya tidak mungkin mendarat di Maumere karena landasan tak memadai).

Beberapa hari saja di Maumere, saya sempat mampir di pasar tradisional dan beberapa restoran. Kecemasan itu terasa. Pusat perbelanjaan sepi, sebagian bahkan tutup. Sebisa mungkin, orang-orang menjaga jarak aman, menggunakan masker, dan sedia hand sanitizer di tempat-tempat umum.

Saya melakukan perjalanan pulang tanggal 24 Maret 2020, ketika jumlah kasus positif covid-19 mencapai 685 orang.

Makassar

Dua lembar masker yang jadi persediaan saya sangatlah berharga. Di Maumere, ketersediaan masker sangat minim. Apotek-apotek kehabisan. Beberapa orang yang saya kenal akhirnya membuat sendiri masker dari saputangan dan tisu basah antiseptik yang dilubangi kedua ujungnya.

Pengetahuan tentang “masker hanya untuk orang sakit” yang saya yakini dengan teguh ketika berangkat sama sekali saya abaikan di perjalanan pulang. Istilah silent carrier mulai ramai dibicarakan dan dijadikan kewaspadaan belakangan itu, jadi, meski tidak nyaman, saya tetap mengenakan masker.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Dalam perjalanan pulang, saya harus transit di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Situasi bandara sangat lengang. Beberapa hari saja berlalu dan kewaspadaan masyarakat kian meningkat. Pos-pos pemeriksaan menerapkan physical distance dan mengharuskan tes suhu tubuh. Himbauan jaga kebersihan dan jarak diumumkan setiap beberapa menit sekali.

Untungnya, tak ada delay atau permasalahan yang berarti selama perjalanan. Saya bisa duduk dengan tenang di kursi pesawat yang sesekali berguncang ketika melaju di antara awan.

Cengkareng

Sungguh saya tidak ingin berlama-lama di bandara Soekarno-Hatta. Saya bergegas mendapatkan tiket bus pulang yang paling cepat. Hampir tengah malam ketika itu. Perhentian bus di terminal 2E masih ramai. Nuansa yang penuh kewaspadaan tenggelam oleh tatapan mata yang lelah, rindu, dan keinginan akan tempat aman untuk rebah. Persis seperti para tentara di medan perang dan ingatan mereka tentang rumah, keluarga, dan kekasih di film-film Holywood.

Bus yang saya tumpangi tiba pukul 23.00 pas. Bus sepi penumpang. Bangku 2-2 hanya terisi masing-masing 1 penumpang saja. Saya lega dan leluasa.

Ketika baru saja berangkat, saya mendengar obrolan supir dengan penumpang paling depan tentang covid-19 dan beberapa teori konspirasi. Saya melihat seorang bapak di kursi seberang makan crackers dengan masih menggunakan sarung tangan karetnya. Saya bergidik membayangkan benda-benda yang beliau pegang sebelum crackers: uang atau kartu, tiket bis, pintu gerbang besi di perhentian bus.

Foto seseorang yang masih menggunakan sarung tangan karetnya untuk makan | Dokumentasi pribadi
Foto seseorang yang masih menggunakan sarung tangan karetnya untuk makan | Dokumentasi pribadi
Satu pertanyaan terlintas di kepala:

Apakah kita terlalu sibuk mewaspadai virus, memuja APD, sehingga merasa tak perlu untuk mencari tahu tentang alasan sesungguhnya di balik semua itu?

Saya tertidur pulas sebelum mendapatkan jawabannya.

[Bersambung]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun