Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Serial Karantina Mandiri #1: Bagai Berada di Medan Perang

8 April 2020   12:28 Diperbarui: 10 April 2020   10:43 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya melakukan perjalanan pulang tanggal 24 Maret 2020, ketika jumlah kasus positif covid-19 mencapai 685 orang.

Makassar

Dua lembar masker yang jadi persediaan saya sangatlah berharga. Di Maumere, ketersediaan masker sangat minim. Apotek-apotek kehabisan. Beberapa orang yang saya kenal akhirnya membuat sendiri masker dari saputangan dan tisu basah antiseptik yang dilubangi kedua ujungnya.

Pengetahuan tentang “masker hanya untuk orang sakit” yang saya yakini dengan teguh ketika berangkat sama sekali saya abaikan di perjalanan pulang. Istilah silent carrier mulai ramai dibicarakan dan dijadikan kewaspadaan belakangan itu, jadi, meski tidak nyaman, saya tetap mengenakan masker.

dokumentasi pribadi
dokumentasi pribadi

Dalam perjalanan pulang, saya harus transit di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Situasi bandara sangat lengang. Beberapa hari saja berlalu dan kewaspadaan masyarakat kian meningkat. Pos-pos pemeriksaan menerapkan physical distance dan mengharuskan tes suhu tubuh. Himbauan jaga kebersihan dan jarak diumumkan setiap beberapa menit sekali.

Untungnya, tak ada delay atau permasalahan yang berarti selama perjalanan. Saya bisa duduk dengan tenang di kursi pesawat yang sesekali berguncang ketika melaju di antara awan.

Cengkareng

Sungguh saya tidak ingin berlama-lama di bandara Soekarno-Hatta. Saya bergegas mendapatkan tiket bus pulang yang paling cepat. Hampir tengah malam ketika itu. Perhentian bus di terminal 2E masih ramai. Nuansa yang penuh kewaspadaan tenggelam oleh tatapan mata yang lelah, rindu, dan keinginan akan tempat aman untuk rebah. Persis seperti para tentara di medan perang dan ingatan mereka tentang rumah, keluarga, dan kekasih di film-film Holywood.

Bus yang saya tumpangi tiba pukul 23.00 pas. Bus sepi penumpang. Bangku 2-2 hanya terisi masing-masing 1 penumpang saja. Saya lega dan leluasa.

Ketika baru saja berangkat, saya mendengar obrolan supir dengan penumpang paling depan tentang covid-19 dan beberapa teori konspirasi. Saya melihat seorang bapak di kursi seberang makan crackers dengan masih menggunakan sarung tangan karetnya. Saya bergidik membayangkan benda-benda yang beliau pegang sebelum crackers: uang atau kartu, tiket bis, pintu gerbang besi di perhentian bus.

Foto seseorang yang masih menggunakan sarung tangan karetnya untuk makan | Dokumentasi pribadi
Foto seseorang yang masih menggunakan sarung tangan karetnya untuk makan | Dokumentasi pribadi
Satu pertanyaan terlintas di kepala:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun