Saya melakukan perjalanan pulang tanggal 24 Maret 2020, ketika jumlah kasus positif covid-19 mencapai 685 orang.
Makassar
Dua lembar masker yang jadi persediaan saya sangatlah berharga. Di Maumere, ketersediaan masker sangat minim. Apotek-apotek kehabisan. Beberapa orang yang saya kenal akhirnya membuat sendiri masker dari saputangan dan tisu basah antiseptik yang dilubangi kedua ujungnya.
Pengetahuan tentang “masker hanya untuk orang sakit” yang saya yakini dengan teguh ketika berangkat sama sekali saya abaikan di perjalanan pulang. Istilah silent carrier mulai ramai dibicarakan dan dijadikan kewaspadaan belakangan itu, jadi, meski tidak nyaman, saya tetap mengenakan masker.
Dalam perjalanan pulang, saya harus transit di bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Situasi bandara sangat lengang. Beberapa hari saja berlalu dan kewaspadaan masyarakat kian meningkat. Pos-pos pemeriksaan menerapkan physical distance dan mengharuskan tes suhu tubuh. Himbauan jaga kebersihan dan jarak diumumkan setiap beberapa menit sekali.
Untungnya, tak ada delay atau permasalahan yang berarti selama perjalanan. Saya bisa duduk dengan tenang di kursi pesawat yang sesekali berguncang ketika melaju di antara awan.
Cengkareng
Sungguh saya tidak ingin berlama-lama di bandara Soekarno-Hatta. Saya bergegas mendapatkan tiket bus pulang yang paling cepat. Hampir tengah malam ketika itu. Perhentian bus di terminal 2E masih ramai. Nuansa yang penuh kewaspadaan tenggelam oleh tatapan mata yang lelah, rindu, dan keinginan akan tempat aman untuk rebah. Persis seperti para tentara di medan perang dan ingatan mereka tentang rumah, keluarga, dan kekasih di film-film Holywood.
Bus yang saya tumpangi tiba pukul 23.00 pas. Bus sepi penumpang. Bangku 2-2 hanya terisi masing-masing 1 penumpang saja. Saya lega dan leluasa.
Ketika baru saja berangkat, saya mendengar obrolan supir dengan penumpang paling depan tentang covid-19 dan beberapa teori konspirasi. Saya melihat seorang bapak di kursi seberang makan crackers dengan masih menggunakan sarung tangan karetnya. Saya bergidik membayangkan benda-benda yang beliau pegang sebelum crackers: uang atau kartu, tiket bis, pintu gerbang besi di perhentian bus.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!