Mohon tunggu...
Aura
Aura Mohon Tunggu... Freelancer - Pekerja lepas

Menulis supaya tidak bingung. IG/Threads: aurayleigh

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tanggapan atas "Perempuan-perempuan (Ciptaan) Seno Gumira Ajidarma"

2 Juli 2017   12:56 Diperbarui: 4 Juli 2017   07:43 1535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

  Sabtu itu sungguh cerah. Saya baru saja usai membaca kolom kritik "Perempuan-perempuan Seno Gumira Ajidarma" yang ditulis Aminullah (Kompas 20/05/2017). Tiba-tiba saja, timbul sebuah bayangan mengerikan di kepala saya. Dalam bayangan itu, seluruh pengarang dalam sejarah sastra Indonesia berubah menjadi pengibul. Itu gawat!

Saya demikian gelisah karena menurut Aminullah, empat cerpen Seno Gumira Ajidarma (SGA) adalah cerpen-cerpen mengenai feminisme yang masih kental dengan subjektivitas penulis. Bagaimana saya tak gelisah? Seluruh karya sastra sudah tentu merupakan buah karya subjektivitas manusia yang berhadapan dengan dunia.

Aminullah berangkat dari teori seni Plato (mimesis mimesos) yang menyatakan bahwa sastra merupakan tiruan dari kehidupan. Pandangan Plato mengenai seni sebetulnya tak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang realitas. Pada pokoknya, dalam upaya kita memahami realitas dunia, ada dua jenis pengetahuan. Pertama, pengetahuan sensibel---yang dilandaskan pada panca indera: penglihatan, pendengaran, pembauan, peraba, pencecap. Kedua, pengetahuan intelligibel---yang bisa dipilah lagi menjadi pengetahuan matematis dan pengetahuan dialektis atau filosofis.

Pengetahuan sensibel hanya melandaskan diri pada bayang-bayang. Ini adalah tipe pengetahuan konjektural yang tak lain hanya merupakan dugaan. Dalam alegori goa Plato, ketika manusia melihat benda riil, pengetahuan indrawi masih berkubang di tingkat opini atau kepercayaan.

Sebelum mencapai level akhir, ketika pengetahuan manusia mencapai tingkat dialektis yang merupakan pengetahuan tertinggi jiwa, manusia tak dapat mencapai yang intelligibel, idea, atau yang illahi. Di dalam yang intelligibel, terdapat sebuah puncak, yaitu Kebaikan.

Dengan begitu berarti, seni merupakan tiruan dari realitas di tahap awal---yang tidak lain merupakan bayang-bayang. Hemat saya, memandang seni melalui kacamata filsafat Plato justru hanya akan membuat realitas semakin bersalut. Seni menyembunyikan realitas yang pada adanya hanyalah dugaan-dugaan belaka. Seni tidak menyingkap realitas nyata.

Di era ini, ketika banyak kebohongan di ruang publik---dari kebohongan-kebohongan 'sederhana' hingga korupsi yang memiskinkan---saya lebih memilih menggunakan cara pandang Richard Rorty---seorang filsuf neo-pragmatis---dalam memandang seni, khususnya karya sastra.

Bagi Rorty, orang-orang yang menjadi pahlawan kebudayaan di era posmodernisme adalah "seseorang yang puitis". Mereka adalah para penulis karya sastra. Rorty melihat bahwa sastra dapat menyingkap tabir praktik-praktik sosial dalam lembaga masyarakat. Ada banyak karya sastra yang membantu kita melihat realitas sosial. Termasuk pula menyadarkan manusia tentang realitas bahwa ada praktik-praktik sosial tertentu yang niscaya menjadikan kita makhluk yang kejam. Sastra mengungkap kenyataan yang mungkin terjadi. Mungkin dalam arti, kenyataan itu bukanlah sesuatu yang absolut.

Sebabnya, Rorty menolak kebenaran niscaya, objektif, kekal, dan a-historis. Kosakata akhir (final vocabulary) itu tidak ada. Dalam konteks penulisan, apa yang ditangkap pembaca tidak harus sama dengan apa yang ingin disampaikan pengarang. Apa yang hendak disampaikan pengarang dapat ditafsirkan secara bebas oleh pembaca.

Rorty sungguh yakin bahwa sastra akan selalu menjadi parasit bagi hal-hal berbau moral. Pengarang tidak mungkin membuat karakter yang berkesan dalam sebuah karya tanpa menciptakan anjuran tentang bagaimana pembaca sebaiknya harus bertindak.

Salah satu cerita pendek yang dibahas Aminullah, "Pelajaran Mengarang", tampak seperti apa yang dikatakan Rorty tentang penyingkapan tabir-tabir. "Pelajaran Mengarang" mengisahkan Sandra, anak kelas lima SD yang kebingungan di tengah pelajaran bahasa Indonesia. Ibu Guru Tati menawarkan tiga tema, "Keluarga Kami yang Berbahagia", "Liburan ke Rumah Nenek", dan "Ibu".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun